Tuesday, December 20, 2011

AKSI TEROR DAN KRISIS GLOBAL Oleh: Joseph H. Gunawan

SUARA PEMBARUAN DAILY

26 September 2011

AKSI TEROR DAN KRISIS GLOBAL

Joseph Henricus Gunawan

Pada Ahad 25 September 2011, Indonesia kembali dikejutkan aksi teror dengan bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo. Ledakan bom ini makin memperpanjang daftar ledakan bom di Indonesia.

Pada 1 Agustus 2000, bom meledak di Kedubes Filipina memakan korban 2 orang tewas dan 21 luka-luka. Pada 13 September 2000, peledakan di Bursa Efek Indonesia dengan 15 orang tewas dan puluhan terluka. Pada 24 Desember 2000, serangkaian bom meledak pada perayaan Natal di beberapa kota, 17 orang tewas dan sekitar 100 terluka. Pada 22 Juli 2001, peledakan di Gereja Santa Anna dan Gereja HKBP di kawasan Kalimalang, 5 korban tewas. Pada 12 Oktober 2002, dua bom meledak di Paddy’s Pub dan Sari Club, Kuta menewaskan 202 orang dan 209 orang terluka berat maupun ringan. Pada 5 Desember 2002, peledakan di restoran McDonald’s, Makassar menewaskan 3 orang.

Pada 5 Agustus 2003, bom meledak di kawasan Hotel J. W. Marriott menewaskan 12 orang dan 150 orang terluka. Pada 10 Januari 2004, bom meledak di Kafe Karoke, Palopo dengan 4 orang tewas. Pada 9 September 2004, bom meledak di Kedubes Australia menewaskan 10 orang dan 100 orang terluka. Pada 13 Nopember 2004, bom meledak di kantor polisi, Sulawesi dengan 5 orang tewas dan 4 orang terluka. Pada 28 Mei 2005, bom meledak di Tentena, Poso dengan 22 orang tewas. Pada 1 Oktober 2005, peledakan di Kuta menewaskan 23 orang dan 196 luka-luka. Pada 17 Juli 2009, bom meledak di Hotel J. W. Marriott dan Hotel Ritz-Carlton, 9 orang tewas dan 53 orang terluka terdiri dari 37 WNI dan 16 WNA. Pada 15 April 2011, bom bunuh diri meledak di Masjid Azzikra Mapolresta Cirebon yang melukai Kapolresta Cirebon, AKBP Herukoco.

Kemiskinan dan Krisis Global

Meminjam pandangan dari Francis Fukuyama, seorang profesor ekonomi politik dan filsuf Amerika Serikat bahwa kemiskinan, stagnasi ekonomi dan politik otoritarian berintegrasi menciptakan potensi lahan bagi terorisme. Menurut Jurgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog Jerman, terorisme timbul dari peningkatan ketidaksetaraan yang disebabkan oleh akselerasi efek trauma modernisasi yang telah menyebar ke seluruh dunia.

Masalah kemiskinan masih tetap sangat krusial. Pada tahun 2011, BPS menghitung jumlah penduduk hampir miskin tahun 2011 bertambah 5 juta jiwa dibandingkan tahun 2010 yang terdiri atas 1 juta jiwa yang ”naik status” dari miskin ke hampir miskin sedangkan 4 juta jiwa ”turun status” dari tidak miskin ke hampir miskin menjadi total 27,12 juta jiwa atau 10,28% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237.556.363 jiwa berdasarkan sensus penduduk tahun 2010. Padahal pada tahun 2009, mengacu data BPS, jumlah penduduk hampir miskin ”hanya” sebanyak 20,66 juta jiwa atau 8,99%. Bagi Habermas, globalisasi berperan krusial dan signifikan vis a vis terorisme. Globalisasi telah mempercepat reaksi defensif dibarengi rasa takut. Habermas mendefinisikannya sebagai pencabutan cara-cara hidup tradisional dengan jalan kekerasan yang disebabkan oleh modernisasi.

Jacques Derrida (1930-2004), seorang filsuf Perancis dalam pemikirannya, terorisme merupakan reaksi mekanisme defensif yang muncul dari modernisasi dan suatu gejala elemen traumatis yang intrinsik dan kekacauan otoimun yang mengancam kehidupan demokrasi partisipatoris, sistem hukum yang menanggungnya, serta pemisahan dimensi agama dan sekuler secara tajam.

Aksi teror ledakan bom bunuh diri di Solo membuktikan de-radikalisme belum efektif dan pudarnya nilai-nilai Pancasila seperti nilai-nilai kehidupan kebersamaan, sikap tepa selira, kerukunan, nasionalisme, tenggang rasa, pluralisme, multikulturalisme serta toleransi beragama di Indonesia dalam mengantisipasi aksi teror dan radikalisme dalam bentuk, motif, dan alasan apapun.

Lebarnya perbedaan ketimpangan ekonomi antara kelompok miskin dan kaya yang menyolok menimbulkan dan menciptakan lingkungan yang dapat membangkitkan dan menyebabkan kekerasan diantara kalangan ekonomi masyarakat lainnya. Adalah fakta bahwa disparitas itulah yang menambah daya penarik bagi teroris untuk mengorganisir pemberontakan dengan kekerasan yang dilaksanakan oleh kelompok miskin (Lee Griffith, The War on Terrorism and the Terror of God, 247).

Aksi teror ledakan bom bunuh diri di Solo dikhawatirkan akan mengancam serta mengurangi kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia dengan realokasi investasi. Selama ini Indonesia dijadikan sebagai pasar yang paling potensial di kawasan ASEAN dan membuktikan iklim investasi yang kurang kondusif di tanah air. Apalagi saat ini Indonesia tengah bersiap mengantisipasi dampak berantai krisis global di zona euro dan AS yang disebut krisis sistemik oleh Presiden Otoritas Pasar Uang Perancis, Jean-Pierre Jouyet. Krisis sistemik yang berakar dari posisi utang Jepang yang mencapai 200% dari Produk Domestik Bruto (PDB), disusul buruknya ”krisis utang kembar” melanda AS dan zona euro yang diperparah penurunan peringkat bank-bank di Yunani, Italia, Spanyol, dan Slovenia di mana tingkat utang melonjak ke level tertinggi dalam 14 tahun terakhir yang berpotensi menimbulkan efek domino di Uni Eropa.

Pasal 28A, Pasal 28D ayat 2, Pasal 28H ayat 1, Pasal 28H ayat 2, dan Pasal 34 UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa negara menangani kelompok-kelompok miskin tersebut. Selain peraturan perundangan tertinggi negara tersebut di atas, juga terdapat peraturan-peraturan yang telah disepakati yang mengatur tentang keberadaan kelompok miskin ini. Dalam kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.11 Tahun 2005 Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2.

Indonesia memerlukan pembangunan secara terarah, terfokus, terpadu, dan terintegrasi untuk lebih memacu pertumbuhan ekonomi. Keamanan merupakan salah satu aspek signifikan dalam menjamin kenyamanan dan menarik investor melihat prospek perekonomian global yang masih suram. Dalam dunia bisnis dan investasi yang diperlukan adalah rasa aman, stabilitas, dan iklim investasi yang baik yang bisa dimanfaatkan untuk menangkap peluang bisnis dan menarik investasi langsung yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja secara masif.

Program pembangunan yang mencakup program pengentasan kemiskinan perlu perhatian dan penanganan serius dari pemerintah dan berfokus pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Seharusnya hidup layak sejahtera lahir dan batin merupakan hak seluruh rakyat Indonesia sesuai diamanatkan Pembukaan UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum. Ini mempunyai konsekuensi yaitu negara harus menyelenggarakan dan memfasilitasi seluruh rakyat Indonesia untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan kesempatan untuk mencari nafkah tentunya melalui pekerjaan yang dipilih dan diterimanya secara bebas.

Hendaknya, tetap diingat janji, komitmen, dan konsistensi pada waktu kampanye pileg maupun pilpres yang mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform partai politik karena kemiskinan merupakan lahan subur munculnya terorisme. Mempersempit jurang kemiskinan adalah juga memberantas bibit terorisme.

Penulis adalah Pemerhati Sosial Ekonomi; Alumnus University of Southern Queensland (USQ), Australia

Wednesday, November 9, 2011

Lagi-lagi soal Perbatasan Oleh: Hikmahanto Juwana

KOMPAS

12 Oktober 2011

Lagi-lagi soal Perbatasan

Oleh HIKMAHANTO JUWANA

Isu perbatasan Indonesia-Malaysia kembali merebak. Kali ini yang jadi pokok persoalan adalah batas darat yang berada di Provinsi Kalimantan Barat.

Dusun Camar Bulan, satu dari dua dusun di wilayah Desa Temajuk, kini mencuat namanya. Demikian pula Tanjung Datu yang berada di Kabupaten Sambas.

TB Hasanuddin, anggota DPR, mengindikasikan, di dua lokasi tersebut patok bergeser. Indonesia pun diargumentasikan telah kehilangan kedaulatan. Berbagai wacana pun muncul.

Tiga isu pokok

Apabila mencermati berbagai wacana yang berkembang. Ada tiga isu pokok yang dapat dipilah dan bisa jadi tidak berkaitan, tetapi dikait-kaitkan.

Isu pertama menyangkut penentuan titik perbatasan. Meski telah mengadopsi dan mengakui perjanjian perbatasan Inggris dan Belanda di Borneo pada 1891, di sejumlah titik Indonesia-Malaysia masih saling klaim. Saling klaim ini disebut outstanding boundary problems (OBP).

Ada 10 titik OBP di perbatasan Kalimantan, salah satunya disebut sebagai OBP Tanjung Datu. Di sanalah lokasi Dusun Camar Bulan berada.

Permasalahan OBP Tanjung Datu muncul karena Komisi I DPR mempermasalahkan titik yang lebih berpihak ke Malaysia. Titik itu telah disetujui Indonesia dan Malaysia, dituangkan dalam nota kesepahaman (MOU) pada pertemuan di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1978.

MOU 1978 dipermasalahkan karena pengertian batas-batas alam (watershed) dalam Perjanjian 1891 dan identifikasinya di lapangan. Tim Indonesia-Malaysia ketika mencari watershed tak menemukannya. Namun, ketika metode diubah, barulah watershed ditemukan. Sayangnya, watershed yang ditemukan jauh memasuki wilayah Indonesia. Lebih disayangkan lagi ternyata watershed inilah yang kemudian disepakati pada tahun 1978.

Pertanyaannya, apakah MOU 1978 telah mengikat bagi Indonesia? Apakah kesepakatan tersebut tidak dapat dibatalkan?

Secara hukum internasional, titik itu belum mengikat kedua negara. Pertama, karena titik-titik dalam OBP belum dituangkan dalam perjanjian perbatasan Indonesia dan Malaysia. Kedua, berdasarkan Pasal 10 Huruf (b) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, perjanjian yang menyangkut penetapan batas harus disahkan DPR. Ketiga, dalam perundingan perbatasan, apa pun kesepakatan oleh tim teknis sewaktu-waktu dapat dibatalkan jika tak diterima lembaga tinggi setiap negara. Kesepakatan teknis tak dapat mengesampingkan alasan politis kedua negara.

Oleh karena itu, jika MOU 1978 tak bisa diterima pemerintah saat ini, sebaiknya proses lanjutan untuk dituangkan dalam perjanjian internasional tidak diteruskan. Namun, apabila pemerintah bersikukuh menghormati MOU 1978, DPR dapat tidak mengesahkan perjanjian perbatasan yang diajukan.

Isu kedua terkait Camar Bulan dan Tanjung Datu adalah bergesernya patok-patok yang pernah ada. Masalahnya siapa pihak yang memindahkan patok ini? Apakah pemindahan itu oleh pemerintah dan otoritas Malaysia? Sepertinya tak mungkin karena perbatasan antarnegara ditentukan oleh koordinat-koordinat yang dituangkan dalam dokumen tertulis, termasuk perjanjian perbatasan. Selain itu, foto udara dan satelit dengan mudah mengidentifikasi apabila ada pergeseran.

Pergeseran patok diduga dilakukan oknum aparat ataupun warga demi keuntungan finansial. Tujuannya sederhana, yakni untuk mengelabui aparat yang berpatroli di perbatasan. Bagi mereka yang berniat jahat berupa penebangan kayu ilegal, mengelabui aparat jadi penting. Harapan mereka patroli Indonesia akan mengira penebangan hutan dilakukan di wilayah Malaysia, bukan di Indonesia.

Isu ketiga terkait ketakpuasan warga di perbatasan yang merasa diabaikan. Meski tak langsung terkait sengketa tumpang tindih antara Indonesia dan Malaysia di Tanjung Datu, ada warga yang terdorong untuk menggeser patok-patok di desa mereka agar wilayah mereka masuk Malaysia dan, karena itu, mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Untuk masalah ini, pemerintah harus lebih memperhatikan kesejahteraan warga masyarakat yang ada di perbatasan.

Segera direspons

Menghadapi mencuatnya masalah perbatasan, pemerintah seolah tak punya prosedur tetap dalam merespons publik yang sangat kritis, utamanya apabila berhadapan dengan Malaysia. Pemerintah seolah tidak belajar dari pengalaman sebelumnya yang rutin datang setiap tahun.

Pemerintah seharusnya cepat mengidentifikasi yang jadi isu dan secara cepat melakukan verifikasi dan mendapatkan data. Selanjutnya, pemerintah harus segera berbicara kepada publik terkait berbagai segi dari masalah perbatasan yang muncul.

Satu hal yang perlu dihindari oleh pemerintah adalah publik marah kepada pemerintah bahkan kepada Pemerintah Malaysia atas data dan informasi yang kurang akurat. Ini tentu akan merepotkan posisi pemerintah, terutama ketika harus berhadapan dengan Malaysia.

HIKMAHANTO JUWANA
Guru Besar Hukum Internasional UI

Tuesday, October 4, 2011

Gelar Raja dan Tragedi Buruh Migran Oleh: Anis Hidayah

KOMPAS

6 September 2011

Gelar Raja dan Tragedi Buruh Migran

Oleh Anis Hidayah

Penganugerahan gelar doktor honoris causa oleh Universitas Indonesia kepada Raja Arab Saudi Abdullah terus disoroti. Gelar kehormatan yang diantar langsung ke Istana Al-Safa pada 21 Agustus lalu itu terus melukai nurani kita yang selalu dipaksa bersedih dan menderita.

Hanya selang dua bulan setelah Ruyati tak mampu membela diri hingga dihukum pancung (18/6), sang raja bangsa yang suka memperbudak manusia itu mendapat gelar doktor kehormatan di bidang kemanusiaan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Gelar itu justru datang dari institusi pendidikan terkemuka dari sebuah bangsa yang rakyatnya banyak jadi korban di negeri sang raja.

Wajarlah berkembang pendapat bahwa penganugerahan gelar itu sama dengan pembenaran semua pelanggaran dan penistaan hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di sana. Jalan pikiran inilah yang telah diteriakkan anak Ruyati yang hingga kini tak mendapat pembelaan.

Lazim memang dalam dunia akademik memberi gelar kehormatan kepada individu yang dinilai patut dan layak menerimanya. Namun, harus ada pertimbangan sosial, politik, ataupun ekonomi yang mungkin ditimbulkannya. Dalam hal ini, sang rektor tentu tak berdiri sendiri di atas dua kakinya. Ada senat universitas yang selalu mengelilingi dia untuk mengatur arah kebijakan kampus. Patutlah kita terbelalak: mata nurani yang buta sedang menghinggapi akademisi UI.

Ketika sebagian besar warga negeri ini meradang dengan pemberian gelar itu, Rektor UI yang menggadaikan martabat bangsa ini di hadapan penguasa petrodollar justru menyarankan kita agar tak meributkannya sebab, menurut sang rektor, pemberian gelar itu dapat membuka akses pendanaan membantu universitas mengembangkan diri.

Kontroversi serupa pernah terjadi ketika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang kala itu gencar membangun universitas setelah konversi dari IAIN, memberi gelar kehormatan kepada PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi di bidang pemikiran Islam. Badawi yang mengaku sebagai penggagas konsep Islam Hadhari, yaitu Islam yang lebih beradab, modern, dan progresif, dipandang layak menerima gelar itu (24/6/2006).

Migrant CARE, yang merasa Pemerintah Malaysia tak memperlakukan buruh migran Indonesia secara layak, memprotes keras pemberian gelar itu. Sangat disayangkan, UI membuat sejarah yang sama dengan UIN Syarif Hidayatullah ketika gencar menuju universitas kelas dunia.

Tragedi buruh migran

Arab Saudi adalah tujuan terbesar kedua buruh migran Indonesia setelah Malaysia. Saat ini hampir 1,2 juta buruh migran Indonesia bekerja di sana. Sebagian besar di antaranya adalah pekerja rumah tangga migran. Menurut catatan Migrant CARE, dalam kurun waktu 2006-2010, setidaknya 1.105 buruh migran Indonesia meninggal dunia di Arab Saudi: sebagian meninggal karena penyiksaan. Selain itu, ribuan pekerja rumah tangga migran Indonesia juga mengalami pemerkosaan, penyiksaan, dan praktik perbudakan.

Di luar semua praktik pelanggaran HAM terhadap buruh migran di Arab Saudi, akses terhadap keadilan bagi korban juga sangat terbatas. Sepanjang tahun 2004-2011, pekerja rumah tangga migran korban di Arab Saudi tak mendapat keadilan dalam proses hukum, bahkan sering kali korban dikriminalisasi.

Motivasi di balik perbuatan pidana itu pun tak pernah terungkap dalam proses peradilan. Contohnya, kasus Nurmiyati yang merupakan korban penyiksaan hingga lumpuh tetapi justru dipenjarakan dengan dakwaan memberi keterangan palsu (2006). Nasib yang sama menimpa empat pekerja rumah tangga migran (Susmiyati, Tari, Rumini, dan Siti Tarwiyah) yang disiksa hingga dua di antaranya meninggal seketika. Yang masih hidup dan cacat permanen justru dipenjarakan dengan dakwaan melakukan sihir (2007).

Masih hangat dalam ingatan kita, kasus Sumiyati dan Kikim Komalasari. Hingga kini majikan Sumiyati dan Kikim Komalasari belum juga dijerat hukum atas penyiksaan yang mereka lakukan. Sekadar mengingatkan, Sumiyati disiksa: bibirnya digunting sekaligus disetrika; sementara jenazah Kikim Komalasari ditemukan di tong sampah dan merupakan korban penyiksaan.

Tragedi buruh migran Indonesia di Arab Saudi hingga kini masih terjadi. Setidaknya kasus Ernawati Bt Sudjono, yang saat ini ditangani Migrant CARE menjadi bukti status quo pelanggaran HAM di sana. Menurut keterangan resmi rumah sakit Arab, Ernawati dinyatakan meninggal karena minum racun tikus. Namun, hasil otopsi RSCM (19/8) menerangkan bahwa terdapat banyak memar di wajah, lengan, dan dada Ernawati.

Dari kasus Ernawati dan kasus sebelumnya, patut diindikasikan dengan kuat bahwa Arab Saudi tak hanya jadi ladang pembantaian pekerja rumah tangga migran Indonesia, juga secara sistematis menutup-nutupi praktik penistaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan buruh migran.

Jadi, penganugerahan gelar doktor honoris causa bagi Raja Abdullah sungguh mengabaikan nurani dan martabat bangsa ini, terutama para buruh migran Indonesia yang telah dengan nyata berkontribusi pada devisa negara dengan keringat, darah, bahkan tak jarang dengan taruhan nyawa. Sungguh mereka lebih bermartabat dan terhormat daripada para akademisi yang telah dengan sadar memereteli integritasnya dan menginjak-injak harga diri bangsa sendiri.

UI harus segera mencabut gelar kehormatan itu dan menyatakan telah melakukan kesalahan dengan memberi gelar kehormatan kepada pribadi yang tidak tepat.

ANIS HIDAYAH
Direktur Eksekutif Migrant CARE

Wednesday, September 28, 2011

Tumbangnya Para “Pancilok” Oleh: Ahmad Syafii Maarif

KOMPAS

8 Maret 2011

Tumbangnya Para “Pancilok”

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

Karena perkataan thugtatorship baru bagi saya, maka perlu sedikit penjelasan. Perkataan thug berasal dari bahasa Hindi, thag, yang berarti penipu.

Di India, thugees adalah komplotan kriminal terorganisasi yang kerjanya merampok, menjarah, mancilok (Minang: mencuri), dan perbuatan jahat lain. Ada perbedaan mendasar antara thugtatorship dan demokrasi, seperti yang dapat dibaca dalam artikel Prof. Alemayehu G Mariam, Thugtatorship: The Highest Stage of African Dictatorship (28 Februari 2011).

Jika demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, thugogracy adalah pemerintahan dari pancilok, oleh pancilok, dan untuk pancilok. Sengaja ungkapan Minang dipakai agar terasa lebih tajam dalam menggambarkan sosok penjahat yang dimaksud.

Daftar panjang para “pancilok”

Mariam membuat daftar panjang para thugtator (pancilok) Afrika yang telah merampok kekayaan negara dalam jumlah miliaran dollar AS untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kroni mereka. Hasil rampokan ini disimpan di bank-bank Eropa dan Afrika.

Dalam daftar itu ada Khadafy (Libya), Laurent Gbagbo (Pantai Gading), Meles Zenawi (Etiopia), Omar al-Bashir (Sudan), Mamadau Tanja (Niger), Robert Mugabe (Zimbabwe), Hosni Mubarak (Mesir), Zine al-Abidine Ben Ali (Tunisia), Ibrahim Babangida (Niger), Lansana Conte (Guinea), Gnassingbe Eyadema (Togo), Omar Bongo (Gabon), Obiang Nguema (Guinea-Ekuatorial), Blaise Campore (Burkina Faso), Denis Sassou Nguesso (Kongo), dan sederet yang lain.

Mereka ini tak peduli apa pun agama dan aliran politiknya adalah penguasa pancilok sambil menindas rakyatnya sendiri dan membiarkan mereka hidup dalam kemiskinan yang parah. Korupsi adalah bisnis utama mereka. Luar biasa, bukan?

Tipe manusia semacam ini juga berkeliaran di Indonesia, dari pusat sampai ke kawasan pedalaman, dalam ukurannya masing-masing. Bangsa ini memang sedang berlumur kultur hitam dan kumuh itu, sementara pemerintah tidak serius memeranginya, kecuali dalam kata dan perintah. Kita tidak tahu persis berapa jumlah anak (mantan) penguasa yang punya kekayaan triliunan. Dari mana asal uang itu? Tentu tak sulit diterka: bertalian dengan bisnis dalam sistem thugogracy.

Sebagian data berikut kian memperjelas betapa gawat bisnis korupsi itu dijalankan. Pada 2010, Mugabe berencana menjual perhiasan berliannya seharga 1,7 miliar dollar AS. Tidak tanggung-tanggung, Mugabe termasuk istrinya, Grace Mugabe telah merampok bantuan asing sebesar 4,5 juta poundsterling yang sebenarnya ditujukan untuk perbaikan nasib rakyat yang sangat menderita.

Mantan Presiden Nigeria Sani Abacha juga telah mancilok kekayaan negaranya 500 juta dollar AS. Ben Ali dan Mubarak juga berbuat serupa dalam jumlah ratusan juta dollar AS, yang sekarang dibekukan di bank Swiss dan di bank-bank lain. Rezim Khadafy kabarnya punya aset cair di London sebesar 20 miliar poundsterling dan ratusan juta dollar AS lain di Swiss. Omar al-Bashir yang Muslim tidak saja mencuri uang negara, tetapi juga telah melakukan kejahatan kemanusiaan di Darfur yang sebagian besar berpenduduk Muslim.

Sikap Barat

Justru yang aneh bin ajaib adalah sikap negara-negara Barat terhadap penguasa pancilok ini. Selama kepentingan Barat terjamin, penguasa-penguasa itu dibiarkan menindas dan membunuh rakyatnya.

Ben Ali dan Mubarak sebelum tumbang adalah sahabat-sahabat setia Barat. Namun, begitu tanda-tanda kejatuhan penguasa korup itu terlihat dan tak mungkin ditolong lagi, Barat dengan “semau gue” berputar haluan.

Anda tentu masih ingat dulu ketika diktator Shah Iran Reza Pahlevi berada di puncak kekuasaannya, Barat selalu memujinya sebagai penguasa reformis dan rezimnya dikatakan sebagai yang paling stabil di tengah-tengah gelombang yang mengempas. Namun, karena Iran tetap membangkang Barat, melalui berbagai cara, negara ini selalu ingin dilumpuhkan, terlepas dari penilaian apakah penguasa Teheran ini berbuat adil terhadap rakyatnya atau sebaliknya.

Saddam Hussein pernah dipuji dan dibantu ketika meletus perang antara Irak dan Iran. Tak terkecuali rezim Saudi yang despotik juga sahabat Amerika yang setia, demi minyak. Oleh sebab itu, teriakan Gedung Putih tentang demokrasi dan hak-hak asasi manusia tidak berlaku untuk thugtator yang membela kepentingan bisnis dan politik Amerika.

Namun, apabila kepentingan itu dirasakan terancam, serta-merta mereka dikategorikan musuh yang harus ditumbangkan. Ironisnya, dunia Islam khususnya, belum juga pandai belajar dari pengalaman serba pahit dan menipu itu. Amat disayangkan!

Kita tidak dapat mengatakan berapa lama lagi dunia Islam ini akan dipimpin oleh manusia-manusia merdeka dan berdaulat dengan misi utama: terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyatnya. Apakah pengalaman revolusi Afrika yang belum usai ini belum juga menyadarkan mereka bahwa setiap kekuasaan absolut dan korup pasti, lambat atau cepat, digugat oleh rakyatnya sendiri untuk diganti.

Peringatan Gandhi

Filosofi anti-kekerasan Mahatma Gandhi untuk perubahan telah jadi legenda dalam literatur dunia sekalipun tidak mudah diwujudkan. Penguasa kejam yang tak mau juga keluar dari istananya setelah puluhan tahun berada di sana, sedang rakyat sudah muak dengan kelakuannya, untuk sebuah perubahan tidak jarang mengundang pertumpahan darah, sesuatu yang tak diinginkan terjadi oleh Gandhi.

Namun, sebagai sesuatu yang ideal, filosofi anti kekerasan itu akan selalu relevan sebagai sumber renungan yang tak dimakan musim. Inilah inti ajaran Gandhi itu: “Saat aku patah harap, aku senantiasa ingat segalanya bahwa melalu jendela sejarah, jalan kebenaran dan cinta selalu menang. Di sana banyak tiran dan pembunuh, dan untuk sementara mereka tampak tak terkalahkan, tetapi di ujung perjalanan, mereka selalu tumbang Renungkan ini, senantiasa.”

Dengan mengacu pada filosofi Gandhi ini, setiap pejuang kebenaran tidak boleh kehilangan asa kapan pun dan di mana pun sebab kebenaran dan keadilan pasti jaya dan menang. Kepalsuan dan kedurjanaan pada akhirnya pasti hancur. Yang selalu dituntut adalah tersedianya stamina spiritual yang pantang menyerah. Inilah makna hidup perjuangan yang terdalam dan tak tergoyahkan sepanjang zaman.

AHMAD SYAFII MAARIF
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Friday, August 5, 2011

RUU JAMINAN PRODUK HALAL: OTORITAS NEGARA DALAM IBADAH AGAMA? Oleh: Tobias Basuki

SUARA PEMBARUAN DAILY

28 Juni 2011

RUU JAMINAN PRODUK HALAL:
OTORITAS NEGARA DALAM IBADAH AGAMA?

Oleh Tobias Basuki

Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal yang sedang dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan RUU yang sekilas nampak positif namun sebenarnya mengandung beberapa permasalahan. Pengajuan RUU Jaminan Produk Halal mengacu kepada hak konstitusional warga untuk beribadah dan mengamalkan agamanya. Namun bisa dikatakan justru hak ini terganggu bila negara ikut mencampurinya.

Secara konstitusional negara memang wajib melindungi kebebasan beribadah warganya, seperti disebutkan dalam pasal 28(E) UUD 45: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,…”

Namun menjamin dan memfasilitasi hak beribadah bukan berarti mengatur pelaksanaan ibadah itu sendiri. Masyarakat justru harus diberikan kebebasan untuk melaksanakan hak ibadahnya secara mandiri, sesuai agamanya masing-masing. Dalam hal ini, pemerintah dapat memfasilitasi agar upaya umat beragama untuk memperoleh produk yang halal menurut ajaran agamanya tidak dianggap melanggar hukum. Pemerintah dapat memberikan kepastian hukum ini, tetapi karena negara bukan otoritas agama, maka pemerintah tidak berwenang untuk ikut mendefinisikan dan mengesahkan apa yang halal bagi umat beragama tersebut.

Seperti dikatakan Max Weber, pada saat otoritas negara dan agama bercampur, agama akan selalu terkooptasi/terkorupsi politik. Dus kemurnian ibadat agama, seperti halnya masalah halal, dapat terkontaminasi. Dalam memfasilitasi ibadah agama, pemerintah dapat berperan untuk memastikan proses penyelenggaraan label jaminan produk halal dilaksanakan dengan baik, tanpa merugikan publik, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku umum.

Misalnya, menindak pemalsuan label jaminan produk halal dan mencegah penyelenggaraan sertifikasi produk halal yang justru melanggar hak-hak warga negara atau merugikan publik. Peran ini dapat dilakukan dengan menegakkan peraturan yang sudah ada, seperti KUHP. Dengan demikian, negara memberikan kepastian hukum agar umat beragama dapat mengupayakan sertifikasi produk halal tanpa dianggap melanggar hukum, serta menindak apabila upaya tersebut justru membatasi hak ibadah umat beragama tersebut atau mengganggu kepentingan publik. Pemerintah dapat melakukan semua ini tanpa ikut mencampuri proses sertifikasi itu sendiri.

Selain permasalahan filosofis diadakannya pengaturan jaminan produk halal, permasalahan lebih teknis pun masih banyak. Pengertian halal secara umum mungkin cukup jelas, tapi aplikasinya dalam industri amat sulit. Banyak faktor dalam suatu proses halal amat berbeda dari satu tempat ke tempat lain, antara lain pakan ternak, cara menyembelih, pengemasan, dan masalah logistik lainnya. Standardisasi dan sentralisasi otoritas jaminan produk halal amat sulit dilakukan, seperi diungkapkan dalam World Halal Forum.

Aplikasi definisi halal dalam industri produk konsumen menjadi rumit ketika menyangkut hal-hal teknis, misalnya kesulitan standarisasi gelatin, pewarna dan perasa makanan, enzim hewani, atau metode penyembelihan mekanik, stunning, penggunaan thoracic stick. Ada banyak perbedaan fatwa mengenai hal-hal tersebut dari satu negara ke negara lain, dan juga dari satu sumber otoritas ke yang lain.

Pertimbangan Serius

Melihat kerumitan tersebut, tidaklah tepat apabila negara memaksakan pemusatan otoritas sertifikasi halal pada satu lembaga, apalagi pada lembaga pemerintah (misalnya, Departemen Agama) yang bukan merupakan lembaga keagamaan.

Penyelenggara sertifikasi produk halal yang transparan oleh umat beragama itu sendiri yang memang memiliki otoritas dan kompetensi dalam bidang tersebut akan lebih efektif dan efisien, tanpa intervensi birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, dalam rangka penyelenggaraan sertifikasi produk halal yang efektif dan efisien, beberapa hal patut menjadi pertimbangan serius mengenai diperlukan atau tidaknya perundang-undangan mengenai jaminan produk Halal.

Pertama, sebenarnya Undang-Undang khusus untuk Jaminan Produk Halal tidak lagi diperlukan karena ketentuan mengenai produk halal sudah ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No.7 tahun 1996 tentang Pangan, UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta berbagai peraturan pemerintah (PP), dan juga SK Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM). RUU Jaminan Produk Halal ini berpotensi tumpang tindih, atau bahkan bertentangan dengan undang-undang lain yang sudah ada. Contohnya dalam UU Pangan sertifikasi halal bersifat sukarela, tapi ada usulan awal RUU Jaminan Produk Halal untuk mewajibkan sertifikasi halal bagi setiap produk. Kontradiksi semacam ini tentu akan menimbulkan kerumitan dalam pelaksanaan.

Kedua, pelaksanaan RUU Jaminan Produk Halal dapat mempersulit usaha kecil. Usaha kecil dan menengah seperti penjual makanan jalanan dan pasar akan kesulitan mendapatkan sertifikasi halal seperti yang ditetapkan dalam RUU ini. Produsen kecil dan menengah akan terbebani kewajiban untuk menyediakan fasilitas kompleks yang ditentukan RUU ini mengenai teknis proses produksi, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, dan penyajian produk dan lain sebagainya. Sektor usaha kecil dan menengah yang mencapai 60 persen di Indonesia menjadi penanggung utama beban RUU ini.

Ketiga, RUU Jaminan Produk Halal memperbesar potensi penyalahgunaan wewenang dan korupsi, sebagai akibat pemusatan wewenang di satu instansi saja. Lord Acton mengingatkan, “Kekuasaan cenderung menjadi korup” (Power tends to corrupt). Wewenang untuk memberikan sertifikasi halal merupakan kewenangan yang amat penting, yang dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk dalam hal finansial. Di samping itu, apabila ditangani satu badan saja, kemampuan verifikasi produk halal akan sulit mengikuti perkembangan zaman yang metode produksinya terus berubah.

Keempat, privatisasi pemberi sertifikasi halal justru dapat melindungi umat Islam secara lebih komprehensif dan berkualitas. Pemberian sertifikasi melalui badan – badan privat akan meningkatkan kualitas dan standar halal yang bersaing. Apalagi mengingat akan ada begitu banyak produk yang masih harus diteliti, lebih banyak badan sertifikasi akan memastikan standar pengecekan dan pemastiannya akan lebih komprehensif. Dengan adanya lembaga-lembaga independen yang bersaing dalam memproses sertifikasi halal, justru tingkat keseriusan dan kualitas memproses sertifikasi halal akan makin tinggi.

Pada akhirnya, para legislator perlu mempertimbangkan secara lebih mendalam apakah pengaturan jaminan produk Halal akan berdampak positif bagi masyarakat luas dan ibadah umat Islam secara spesifik. Di atas permukaan dan berdasar labelnya, RUU ini nampak sangat baik, akan tetapi apakah sekadar norma positif ini dapat melampaui permasalahan dan potensi permasalahan yang ada?

PENULIS ADALAH ALUMNI DEPARTEMEN ILMU POLITIK, NORTHERN ILLINOIS UNIVERSITY (A.S.)
PENELITI (RESEARCH ASSOCIATE) INSTITUT LEIMENA

Monday, July 4, 2011

Polisi dan Setetes Rasa Aman Oleh: Victor Silaen

Investor Daily

11-12 Juni 2011

Polisi dan Setetes Rasa Aman

Oleh Victor Silaen

Prof Robert I Rotberg, direktur Program Konflik John F Kennedy School of Government, Harvard University, dalam sebuah seminar di Jakarta, beberapa waktu silam pernah mengingatkan bahwa Indonesia akan menghadapi masa-masa sulit dalam beberapa tahun mendatang. Salah satu penyebab kesulitan tersebut adalah lemahnya sistem penegakan hukum.

Indonesia, menurut Robert I Rotberg, berada dalam zona bahaya dari sebuah negara bangsa lemah yang bergerak menuju negara bangsa gagal. Indonesia akan selamat dan terlindungi dari bahaya tersebut jika memiliki kepemimpinan yang kuat dan visioner serta ada komitmen dari dunia internasional untuk membantu Indonesia dalam bidang ekonomi dan rekonstruksi sosial, khususnya dalam upaya penegakan hukum.

Rotberg menyebut indikator negara kuat, antara lain, tingkat keamanan dan kebebasan yang tinggi, perlindungan lingkungan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi, sejahtera, dan damai. Sebaliknya, negara-negara yang disebut gagal cenderung menghadapi konflik berkepanjangan, selalu ada rasa tidak aman, adanya kekerasan komunal maupun kekerasan negara, permusuhan karena etnik, agama, ataupun bahasa, teror, jalan-jalan atau infrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak.

Lebih tegas lagi, dalam bukunya, The Nature of Nation State Failure (2002), Rotberg menyebutkan negara gagal berindikasi, antara lain, keamanan rakyat yang tak bisa dijaga, konflik etnis dan agama yang tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus menipis, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri.

Praktik Radikalisme

Pertanyaannya, layakkah Indonesia dikategorikan sebagai negara gagal? Selama ini banyak pihak membantahnya, meski sebagian besar kriteria di atas relatif terpenuhi.

Baiklah, Indonesia kini memang jauh lebih baik dalam hal pembangunan ekonomi dan kestabilan politik. Tapi, Indonesia terbukti belum bersungguh-sungguh dalam menegakkan supremasi hukum. Di lapangan masih sering kita jumpai praktik oknum aparat polisi yang melakukan pembiaran di saat-saat rakyat membutuhkan perlindungan.

Harus kita akui selama ini polisi hebat dalam memburu para teroris dan mengawal demo-demo para mahasiswa maupun aktivis pro-demokrasi dan HAM. Yang teraktual, polisi juga sigap melacak siapa pengirim layanan pesan singkat (SMS) fitnah terhadap Presiden SBY.

Profesional sekali. Tapi herannya, mengapa polisi lesu darah untuk menindaklanjuti pengaduan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, 12 Februari 2010, soal dugaan pemalsuan surat MK oleh mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati?

Mengapa pula di saat-saat menghadapi kelompok warga yang gemar melakukan kekerasan (vigilante), polisi malah nyaris tak berdaya?

Fenomena itulah yang terjadi di Cirebon baru-baru ini. Ceritanya sekelompok massa radikal yang menamakan dirinya Gerakan Anti Permurtadan dan Anti Penyesatan (GAPAS) memaksa umat kristiani yang hendak merayakan Paskah dan syukuran kelulusan siswa di Gedung Gratia, 16 Mei lalu, untuk membatalkan niatnya. Padahal, pihak panitia sudah mengantungi surat izin resmi dari kepolisian setempat. Namun, demi alasan keamanan, Kapolres Cirebon Kota Asep Edi Suheri yang datang ke lokasi meminta agar acara tersebut dibubarkan.

Inilah yang patut kita sesalkan. Ini bukan untuk pertama kali. Polisi kerap bersikap tak konsekuen sekaligus tak menghargai keputusan (surat izin) yang mereka buat. Bagaimana bisa menjadi aparat penegak hukum yang baik jika keputusan sendiri tak dihargai.

Sebaliknya, kerap kita jumpai di lapangan di mana aparat membiarkan saja sebuah acara berlangsung demi melayani tuntutan sekelompok massa yang bertentangan dengan hukum. Bagaimana mungkin menjadi aparat penegak hukum yang baik kalau kebenaran dilecehkan secara sengaja.

Tak pelak, Setara Institute mengecam keras sikap polisi yang teramat lunak terhadap kelompok radikalis itu. Ketua Badan Pengurus Setara Hendardi menyatakan, ketundukan polisi pada kelompok vigilante untuk kesekian kalinya telah merendahkan martabat aparat penegak hukum dan melembagakan impunitas pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

Padahal, radikalisme semacam itu hanya membutuhkan satu langkah lagi menuju terorisme. Pembiaran radikalisme niscaya melahirkan kelompok yang dengan penuh keyakinan melakukan terorisme. Bentuk radikalisme seperti itu nyata eksis di sekitar kita. Pembiaran oleh negara sama saja dengan menyemai bibit-bibit baru kelompok radikalisme tumbuh dan berkembang.

Melecehkan Kebenaran

Kita menyesali kebenaran yang telah kerap dilecehkan di negara ini. Tanpa kebenaran, keadilan sejati tak mungkin tercapai. Teolog Dorothy Marx dalam bukunya, Kebenaran Meninggikan Derajat Bangsa (2006), menulis demikian, “Saya merasa the loss of truth merupakan problema dunia yang paling besar, bahkan juga merupakan problema Indonesia yang paling berat.”

Selanjutnya, dia menambahkan, setiap bangsa yang mengalpakan atau menyepelekan fakta tersebut (padahal mereka ingin maju dalam pembangunan negaranya; terutama ekonomi dan derajat pendidikannya, dengan memperketat militer serta pengamanannya, meningkatkan efisiensi hukum, HAM, dan keadilan), harus ingat, bahwa tanpa hal yang paling utama, yaitu dasar kebenaran dan keadilan, negara tersebut pasti akan mengalami banyak kekecewaan, frustrasi, dan kesulitan. Bahkan diperkirakan kesulitan akan terus meningkat.

Sementara itu, filsuf terkemuka Santo Agustinus, pernah berkata, “Apalah artinya negara yang tak memiliki keadilan selain hanya gerombolan perampok di mana-mana.”

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan

Friday, June 17, 2011

Nurani Agamawan Berbicara Oleh: Benny Susetyo

SINAR HARAPAN

17 Januari 2011

Nurani Agamawan Berbicara

Oleh BENNY SUSETYO

Kebijakan ekonomi pemerintah memang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,8 persen dan meningkatkan pendapatan per kapita menjadi US$ 3.000 pada 2011, tetapi gagal dalam pemerataan kesejahteraan. Masih banyak warga Indonesia yang menderita gizi buruk, tidak mendapat pelayanan kesehatan seperti seharusnya, dan juga putus sekolah.

Kenyataan tersebut menggugah para tokoh agama untuk ikut mendesak pemerintah agar kembali serius memikirkan kesejahteraan dengan memanfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tanpa adanya keseriusan pemerintah untuk menangani berbagai masalah kebangsaan dan kemanusiaan, pemerintah rentan melakukan pengingkaran terhadap konstitusi. Hal itu dapat dikatakan sebab sejauh ini pemerintah dinilai gagal dalam menjalankan berbagai amanat konstitusi untuk kesejahteraan dan keadilan.

Keadilan Kian Meredup

Berbagai kasus hukum yang menimpa rakyat kecil di negeri kita akhir-akhir ini merupakan fenomena paling buruk bagi kita dalam menegakkan hukum. Hukum menjadi gamang dengan roh keadilannya yang semakin menjauh dari rakyat kecil.

Rasa keadilan di negeri ini benar-benar sedang diuji. Berbagai contoh nyata yang hadir di hadapan kita memberikan petunjuk bahwa keadilan sedang berada di titik nadir. Apakah berbagai fakta ketidakadilan ini bisa dibaca dengan hati nurani oleh para elite negeri ini? Fakta-fakta itu sangat bertentangan di pihak lain, ketika pencurian dan perampokan harta kekayaan negara semakin membabi buta, mengerikan, dan dilakukan dengan beragam cara.

Di pihak lain justru hadir mereka yang terang-terangan di mata publik melukai hati nurani karena mengoyak-ngoyak hukum, menyuap, dan mempermainkannya. Para penegak hukum justru ragu menegakkan keadilan, seolah tidak memiliki kepekaan yang mendalam atas apa yang terjadi. Kini rakyat betul-betul merasa dipermainkan dengan situasi yang kalut seperti ini. Rakyat kecil dipermainkan dengan berbagai kebohongan para elite. Sudah lama di negeri ini kita susah membedakan antara kebohongan dan kebenaran. Yang bohong sering dianggap sebagai kebenaran dan yang benar sering dianggap kebohongan.

Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang. Juga, sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini. Keadilan tidak untuk semua, melainkan untuk sebagian (yang bisa membelinya). Keadilan adalah milik penguasa dan si empunya uang.

Hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan sering seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, otot, dan uang) yang menceraikannya.

Keadilan di negeri ini amat langkah diperoleh karena keadilan tak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, dan berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat mendapat pendidikan utama bahwa keadilan di negeri ini: adalah sebuah bayang-bayang kamuflase. Para penguasa dan penegak hukum kita tidak memiliki gugus insting yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua. Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal di depan cengkeraman kekuasaan dan “orang kuat” hukum tak lagi memiliki taring. Hukum mandul karena hanya mampu menginjak ke bawah dan mengangkat yang di atas. Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini.

Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita. Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai negara hukum sering kali hanya sebagai pemanis mulut. Apa yang kita ajarkan kepada anak cucu kita tentang “kedaulatan hukum” adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan. Keadilan tidak manifes dalam kenyataan. Das sein yang manifes di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang, dan segala hal yang berkomprador dengannya.

Hukum dan keadilan bagaikan dua sisi mata uang. Didamba selalu berdekatan, tetapi tak pernah menyatu. Bahkan bertemu sekali pun tak pernah. Keduanya menghadap sisi-sisi yang lain dari realitas hidup warga. Keadilan hanya alat untuk memanis-maniskan realitas kehidupan yang demikian pahit. Ironis, sebab hukum dan keadilan merupakan (sekadar) hiburan bagi rakyat kecil.

Hukum gagal ditegakkan di atas prinsip-prinsip keadilan sosial, sebab lebih memandang kekuatan hukum formal, dan permainan pasal-pasal. Akibatnya, hukum belum mampu memegang teguh apa yang disebut sebagai kesederajatan (equality) dan menghindarkan diskriminasi. Ini semua masih soal pelajaran bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara.

Janganlah kita terus-menerus mendidik rakyat dengan berbagai fakta ketidakadilan bahwa seseorang bisa memiliki kekebalan hukum karena mereka memiliki jabatan. Di negara yang mengagung-agungkan hukum sebagai payung (rechstaat), imunitas terhadap hukum tidak berlaku. Semua berkewajiban dan memiliki hak sama.

Yang sedang dipertontonkan hari ini adalah bagaimana hukum tumpul menghukum para orang kuat, mantan pejabat, dan koruptor, tetapi tajam beringas menghukum pesakitan hukum kelas teri dan mereka yang serius ingin menciptakan bangsa yang bersih. Maling ayam mendapatkan hukuman berat dan koruptor kelas kakap justru mendapatkan kesempatan menikmati keistimewaan.

Kesederajatan dalam hukum mulai dipunahkan oleh sikap arogan kekuasaan. Karena kekuasaan yang menjadi acuan, kita tak sanggup untuk melihat hati nurani. Karena kekuasaan yang menentukan hitam putih hukum, mata hati kita tumpul. Keadilan sosial yang ingin ditegakkan lalu diabaikan.

Elite Politik dan Kebohongan

Jurgen Habermas pernah menyatakan die Normativitaet des Faktischen. Dalam kehidupan para politikus sering melahirkan kecenderungan untuk membolak-balik fakta dan norma. Terdapat kecenderungan agar suatu kenyataan faktual bisa membenarkan dirinya secara normatif, dan bukannya benar dalam pengertian norma-norma yang berlaku. Tidak peduli bahwa itu dirasakan sebagai kebohongan atau tidak. Di tengah suasana serba materialistis, pertimbangan pengambilan keputusan dalam berbagai areal kehidupan hanya diwarnai dengan pertimbangan untung-rugi, bukan pertimbangan benar-salah. Suatu tindakan bisa jadi menguntungkan walaupun secara moral salah, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, sulit bagi kita untuk menemukan mana yang dusta dan mana yang jujur. Kriteria politikus jujur dan politikus penuh dusta sulit diberikan karena yang sering digunakan adalah pertimbangan untung-rugi. Akibatnya, orang yang sedang berdusta bahkan sering dianggap sebagai orang jujur yang sedang berkhotbah.

Batasannya makin kabur dan sumir. Dusta dan kejujuran hanya dipisahkan oleh sehelai rasa yang sering kita sebut sebagai hati nurani. Karena itulah banyak politikus berdusta dalam khotbah-khotbah yang tampak di depan mata sebagai “jujur”.

Budaya ini berkembang luas di kalangan politikus dan yakinlah, ini masalah serius yang dihadapi bangsa ini. Sesuatu hal baru dianggap melanggar etika dan hukum justru bila sudah diketahui dan dikritik oleh publik. Korupsi dianggap sah-sah saja dilakukan jika tidak diketahui publik. Menaikkan gaji di tengah penderitaan adalah cermin dari pengkhianatan, dan merupakan bagian dari korupsi moral yang sangat serius. Para elite politikus bangsa selama ini gagal menumbuhkan budaya malu dalam dirinya sendiri, bahwa korupsi, diketahui ataupun tidak, adalah tindakan melanggar aturan. Menghabiskan dan memboroskan uang rakyat untuk berfoya-foya adalah pelanggaran etika berbangsa. Ini disebut pelanggaran baru bila publik menolaknya. Budaya malu terhadap diri sendiri tidak tumbuh dalam diri politikus, karena demikian hancurnya etika politik dewasa ini.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial

Wednesday, May 4, 2011

Toleransi yang Tercederai Oleh: Victor Silaen

INVESTOR DAILY

9-10 April 2011

Toleransi yang Tercederai

Oleh Victor Silaen

Dunia mengenal Indonesia sebagai negara pluralis dengan semangat toleransi yang mengagumkan. Namun, eskalasi kekerasan atas nama agama yang terjadi belakangan ini tampaknya mengharuskan kita untuk merevitalisasi semangat toleransi selama ini.

Sebanyak 27 anggota Kongres Amerika Serikat (AS) pada medio Maret lalu mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait masalah yang dihadapi oleh jemaah Ahmadiyah. Mereka menyatakan prihatin melihat eskalasi kekerasan yang dialami jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Keprihatinan ke-27 anggota Kongres AS itu jelas bertolak belakang dengan rasa kagum Presiden AS Barack Obama yang berkunjung ke Indonesia pada November tahun lalu. Dalam pidatonya di kampus UI Depok, Obama memuji semangat toleransi di Indonesia.

Ia kagum bahwa semangat toleransi tidak hanya tertuang dalam konstitusi, tapi terlihat jelas dalam kehidupan nyata. Kita bisa dengan mudah melihat masjid, gereja, dan kuil yang berdiri bersebelahan satu dengan yang lain. Selain itu, Indonesia memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu. Semua ini adalah kekayaan negara Indonesia yang dapat dijadikan contoh untuk dunia.

Hadapi Ujian Berat

Namun, dalam hari-hari belakangan ini, Indonesia seperti sudah tak lagi menghargai pluralisme. Toleransi mulai terusik oleh tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok orang yang membawa-bawa label agama. Demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) kini sedang mendapat ujian paling berat. Ancaman dan gangguan terhadap kebebasan beragama dan beribadah begitu kerapnya terjadi. Anehnya, pemerintah dan aparat keamanan seolah tak berdaya menghadapi semua itu.

Mengapa semua jadi begini? Banyak faktor yang menyebabkan toleransi kini nyaris mati. Salah satu faktor adalah penghayatan agama yang terlalu eksklusif dan cenderung ekstrem. Bukankah sejak kecil kita sering diajarkan oleh orangtua, guru, kiai, pendeta, pastor, untuk menghormati ajaran agama-agama lain?

Jelas, agama yang satu dan agama yang lain itu tak sama. Bahkan hampir setiap agama melahirkan beberapa denominasi atau sempalan akibat perbedaan internal. Selebihnya kita hanya harus menghormati kebenaran-kebenaran yang mereka imani. Dengan begitulah kita niscaya mampu bertoleransi, juga berempati kepada sesama yang berbeda. Itulah yang bisa menumbuhkan kearifan di tengah kebersamaan hidup yang dipenuhi pusparagam.

Faktor kedua adalah negara yang selama ini tak pernah tegas terhadap kaum pembunuh pluralisme. Tak adanya sikap tegas dari aparat keamanan membuat para vigilante (kelompok warga sipil yang gemar melakukan kekerasan demi tujuan tertentu dan mengambil alih peran aparat penegak hukum) pun kian menjadi-jadi.

Pasca tewasnya tiga warga Ahmadiyah dalam tragedi berdarah Cikeusik, apakah sudah ada langkah nyata yang dilakukan pemerintah terhadap para pelaku aksi brutal itu? Ternyata tidak juga. Instruksi Presiden SBY dengan mencari jalan legal untuk membubarkan organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) yang sering menimbulkan keresahan pun seperti angin lalu saja.

Setelah lebih dari sebulan, alih-alih ada ormas anarkistis yang dibubarkan, justru Ahmadiyah kian dilucuti. Bukannya semakin dilindungi, Ahmadiyah malah diperlakukan lebih diskriminatif melalui peraturan yang dikeluarkan oleh beberapa pemerintah daerah provinsi (sudah lebih dari 16 provinsi) maupun kabupaten/kota.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah prosesi “penobatan” para pengikut Ahmadiyah melalui sebuah operasi yang disebut Operasi Sajadah. Jadi, bukannya langkah hukum yang perlu diambil untuk menindak para pelaku kekerasan, malah Ahmadiyah dikambinghitamkan sebagai biang keroknya. Inilah yang disebut viktimisasi korban.

Hal yang sama juga terjadi di Bogor. Di kota itu, jemaat GKI Taman Yasmin mengalami ketidakpastian bertahun-tahun lamanya untuk dapat membangun rumah ibadah sampai-sampai harus beribadah di trotoar sebanyak 11 kali. Itu pun sulit dan kerap dihalang-halangi karena dianggap mengganggu ketertiban. Buka tutup gembok gereja juga telah dialami berkali-kali. Pernah segel gereja dicabut, tapi hanya berumur 1x24 jam, karena kemudian disegel kembali akibat tekanan pihak tertentu. Ironis, pemerintah kalah oleh kehendak segelintir orang.

Semua langkah hukum telah dilakukan pihak GKI Taman Yasmin, mulai dari upaya sosialisasi, negosiasi, proses peradilan, pelaporan kepada Komnas HAM, Ombudsman RI, Presiden RI, Komnas HAM Asean hingga PBB, dan upaya mengampanyekannya di media lokal, nasional dan internasional. Namun, hingga kini, mereka masih harus berjuang untuk memperoleh hak beribadah.

Pihak Pemkot Bogor malah terkesan tak peduli terhadap putusan Mahkamah Agung No.127 PK/TUN/2009 yang menyatakan bahwa surat izin mendirikan bangunan (IMB) yang dimiliki pihak GKI Taman Yasmin sah. Menurut pengacara GKI Taman Yasmin, Pemkot Bogor akan membatalkan IMB GKI Taman Yasmin dan akan membayar kerugian pengurusan IMB dan merelokasi dan membeli tanah serta bangunan GKI Taman Yasmin. Hal ini sangat berbeda dengan pernyataan mereka sebelumnya bahwa Pemkot Bogor akan membuka gembok segel gereja dan siap melaksanakan keputusan MA.

Agak mengherankan bahwa Pemkot Bogor sepertinya tidak ikhlas bila warga gereja GKI Taman Yasmin beribadah di sana. Ada apa gerangan?

UU Kebebasan Beragama

Kasus yang menimpa Ahmadiyah dan GKI Taman Yasmin hanyalah contoh betapa semangat toleransi kian memudar di tengah masyarakat yang pluralistis ini. Ini persoalan serius yang tak bisa diselesaikan hanya dengan sebuah instruksi presiden, yang terbukti tak sepenuhnya diikuti oleh aparat di bawahnya.

Ke depan kita tidak memerlukan UU Kerukunan Beragama, sebab kerukunan tak perlu diatur secara kaku. Kita justru lebih membutuhkan UU Kebebasan Beragama. Kebebasan beragama dan menjalankan ibadah keagamaan adalah hak asasi yang harus dilindungi oleh hukum. Tak seorang pun berhak merebut hak asasi ini dari tangannya.

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan

Friday, April 8, 2011

Demokrasi yang Terancam Oleh: Ridho Imawan Hanafi

SINAR HARAPAN

7 April 2011

Demokrasi yang Terancam

Oleh Ridho Imawan Hanafi

Bulan Maret 2011 lalu, rentetan kasus teror paket bom buku mengguncang Republik. Paket ditujukan kepada aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional Komjen Pol Gories Mere, Ketua Umum Partai Patriot Yapto Soerjosoemarno, dan artis Ahmad Dhani.

Setelah itu teror juga diikuti oleh ancaman serupa di beberapa daerah. Secara luas teror kekerasan itu tidak hanya menyasar perorangan dan masyarakat, lebih jauh dapat mengancam bangunan demokrasi.

Demokrasi sendiri mensyaratkan kebebasan berpendapat dan kemerdekaan berpikir. Jika kita cermati, paket bom yang pertama-tama ditujukan kepada Ulil, ada setidaknya beberapa sebab.

Pertama, Ulil selama ini dikenal sebagai salah satu orang yang menyuarakan nilai-nilai demokrasi ditegakkan. Untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis, nilai-nilai seperti kebebasan (freedom) dan toleransi (tolerance) tidak boleh ditimbun. Pada sudut yang lebih fokus, Ulil menekankan pentingnya kebebasan beragama yang akhir-akhir ini mengalami titik kritis: meningkatnya intoleransi yang dibarengi dengan kekerasan berlatar agama. Urusan beragama dan berkeyakinan adalah hak paling asasi yang harus dijamin dan dilindungi negara. Untuk ini, segala cara kekerasan maupun persekusi tidak dibenarkan.

Kedua, seiring pandangannya mengenai demokrasi Ulil juga aktivis JIL. Di JIL, Ulil mengembangkan kebebasan berpendapat dan memperjuangkan penafsiran Islam yang menekankan kebebasan atau otonomisasi individu, sekaligus membebaskannya dari struktur sosial politik yang menindas. Upaya yang ditempuh untuk melakukan hal tersebut adalah membuka ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme penafsiran. Kebenaran penafsiran dianggap terbuka dengan segala kemungkinan benar salah, dan terus menerus bisa berubah dalam ruang dan masa yang tidak ajeg.

Dalam dua hal tersebut, Ulil memang tidak sendirian. Namun ketika Ulil juga disangkutpautkan sebagai aktivis JIL, Ulil menanggung risiko ganda: berhadapan dengan kelompok antidemokrasi sekaligus anti Islam liberal. Selama ini persepsi orang, terutama dari kelompok berpaham radikal yang memegang penafsiran agama secara literal an sich, JIL dianggap “merusak Islam” dan layak untuk diperangi. Ini karena Ulil lama sebagai koordinator JIL, Ulil pun kerap menjadi target. Inilah mengapa alamat teror bom ditujukan di markas JIL di Utan Kayu.

Sebab ketiga, selain sebagai penyuara demokrasi dan aktivis JIL, Ulil sekarang juga bernaung di bendera Partai Demokrat dengan duduk sebagai Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan. Dengan bergabung bersama partai yang dipimpin Anas Urbaningrum itu, Ulil kini tidak saja bergerak dalam wilayah pemikiran sosial agama, melainkan juga politik. Dengan kata lain, jangkauan gerak dan relasinya kian meluas, sekaligus menambah beban ancaman terhadapnya.

Di bidang pengembangan strategi dan kebijakan partai, sumbangsih pemikiran Ulil, terutama dalam bidang keagamaan, memungkinkan peluang untuk menerjemahkan segala pemikirannya dalam tindakan politik dan kebijakan partai. Apalagi Partai Demokrat adalah partai yang sedang berkuasa saat ini. Pemikiran liberal Ulil tidak menutup kemungkinan sebagai bahan masukan atau kerangka rujukan untuk kebijakan partai, terutama seperti saat bangsa Indonesia sekarang dilanda maraknya kekerasan atas nama agama.

Bagi kelompok-kelompok yang sebelumnya sudah memiliki pembawaan bersinggungan dengan Ulil, duduknya Ulil di bagian strategis partai penguasa bisa jadi dianggap sebagai ancaman tersendiri. Pemikiran Ulil yang sebelumnya mungkin dinilai hanya bergentayangan di alam pemikiran dan wacana, melalui partai politik dapat ditransformasikan dalam kebijakan praktis. Aliran transformasi inilah yang harus dicegat, salah satunya dengan mengirim bom.

Menimpa Siapa Pun

Jika melihat sebaran ancaman bom di Jakarta yang tidak mengarah pada Ulil semata, sebenarnya teror dapat menimpa siapa pun. Ulil bisa dianggap hanya sebagai pintu untuk membuka pintu-pintu berikutnya. Dalam situasi demikian, teror menjadi ancaman serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekaligus ancaman terhadap sistem politik demokrasi itu sendiri. Hak hidup aman dan tenang masyarakat sempat dicekam suasana ketakutan dan berbagai benih traumatik. Teror telah berhasil menciptakan situasi ketika masyarakat diliputi ketegangan di mana-mana. Ruang publik menjadi sempit disesaki oleh aneka teror.

Dengan teror, demokrasi sebagai sebuah sistem yang melindungi kebebasan setiap warga negara digeser untuk tidak lagi mendapat tempat. Demokrasi yang juga diidentikkan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat lalu dijawab dengan kekerasan, bukan dengan kesediaan melakukan komunikasi atau dialog. Di sini, benar apa yang dikatakan Hannah Arendt bahwa kekerasan sebagai komunikasi bisu par excellence. Argumentasi telah habis, komunikasi buntu, dan teror pun ditebar.

Ketika kekerasan telah menjadi lahan subur bagi pelampiasan kebencian dan perbedaan, sistem politik demokrasi juga tertantang untuk menunjukkan kemampuannya dalam penyelesaian beragam konflik yang disebabkan perbedaan pendapat secara damai (peaceful conflict resolution). Menargetkan Ulil dan lainnya sebagai sasaran bom merupakan salah satu ujian bagi kelangsungan nasib demokrasi. Cita-cita maupun ikhtiar dalam melanggengkan demokrasi dan kemerdekaan berpikir tidak boleh surut oleh teror apa pun.

Melihat ancaman yang nyata itu, segala aksi teror kekerasan harus dilawan. Itu tidak boleh didiamkan, apalagi hanya dengan sekadar ucapan keprihatinan. Di sini peran negara diperlukan sebagai pelindung masyarakat. Di saat skala kekerasan sudah massif, tiada cara lain lagi bagi pemerintah selain menunjukkan ketegasannya dalam menindak setiap pelaku kekerasan dan sekaligus menutup ruang bagi segala benih kekerasan yang akan tumbuh.

Ketidakmampuan pemerintah dalam bersikap tegas terhadap pelaku kekerasan hanya memunculkan anggapan bahwa kekerasan telah membanal (kekerasan sudah menjadi hal yang biasa) dan melakukan teror bukanlah sesuatu yang diharamkan di negeri ini. Negara tidak boleh kalah dalam menghadapi ancaman seperti itu.

Penulis adalah peneliti di Soegeng Sarjadi Syndicate

Monday, March 7, 2011

Temanggung Dulu dan Kini Oleh: Tri Agus Susanto

KORAN JAKARTA

11 Februari 2011

Temanggung Dulu dan Kini

Oleh TRI AGUS SUSANTO

Membeku hati dalam perjalanan//tinggalkan kampung halaman//Alam yang sejuk penuh kedamaian//kini harus kutinggalkan//Temanggung//Temanggung//Temanggung sayang.

Tahun lalu, di sebuah akun situs jaringan sosial Facebook yang dimiliki orang Temanggung, terjadi diskusi menarik. Diskusi dimulai sebuah pertanyaan: Apa yang terlintas saat pertama mendengar kata “Temanggung”? Jawaban tentu beragam tergantung siapa yang menjawab. Dari kota yang bersih, indah dan sejuk sampai kekhasan warganya. Namun ada tiga jawaban dominan yaitu: tembakau, Titiek Puspa, dan teroris.

Tembakau merupakan tanaman yang menghidupi kabupaten di lereng gunung Sumbing dan Sindoro tersebut. Titiek Puspa? Tak lain karena artis tiga zaman ini masa kecilnya di kota ini dan turut memopulerkan daerahnya. Namun ada pula yang tanpa ragu-ragu menjawab sarang teroris!

Diskusi di Facebook tadi dilakukan usai Densus 88 berhasil menewaskan Ibrahim, sebelumnya diduga Noordin M Top, di Kedu, Temanggung. Jika kini pertanyaan sama diajukan tentu akan banyak yang menjawab: pembakaran dan perusakan gereja!

Edan tenan, Temanggung menjadi sarang teroris dan warganya anti perbedaan. Benarkah? Kalau dilihat secara geografis, Temanggung memang cocok untuk bersembunyi para teroris karena letaknya cukup terpencil dan terdapat banyak bukit-bukit di bawah lereng tiga gunung, Sumbing, Sindoro, dan Prahu. Namun kalau diamati keberadaan masyarakat Temanggung, tampaknya hampir tak percaya, kok bisa-bisanya mereka bergaul dengan teroris.

Temanggung sejak dulu penuh kedamaian. Tidak ada pertikaian antarpenduduk yang merisaukan. Tidak pernah ada huru-hara yang serius kecuali saat ada rembetan kerusuhan anti China di Solo awal 80-an.

Orang Temanggung terkenal santun. Tidak galak, apalagi terhadap pimpinannya. Mereka orang-orang yang guyub dan patuh. Keguyuban dan kepatuhan itu pernah terbukti dengan disabetnya predikat Temanggung sebagai kota terbersih di Indonesia ketika wilayah itu dipimpin Bupati Masjchun Sofwan dan H Jacob.

Nama Masjchun Sofwan yang kemudian menjadi Gubernur Jambi, sangat melegenda bagi warga Temanggung. Masjchun Sofwan adalah salah satu contoh bagaimana seharusnya bupati memimpin rakyat. Dia memerintah bukan dengan kalimat perintah, tapi dengan teladan.

Di bawah bupati berikutnya yaitu H Jacob, Sri Soebagjo dan HM Sardjono, masyarakat Temanggung tetap santun dan guyub dan tetap me-nyengkuyung para pemimpinnya. Namun ketika bupati dijabat Totok Ary Prabowo, anak muda yang mencuri uang rakyat alias korupsi, maka watak asli orang Temanggung muncul. Warga Temanggung, termasuk di perantauan, bertekad bulat: Totok Harus Titik!

Terjadilah demonstrasi dan pembangkangan sosial yang dilakukan para lurah, camat, dan PNS dan tentu saja didukung warga untuk menekan Totok. Demonstrasi besar menduduki kantor bupati berlangsung sekitar seminggu yang berakhir menendang Totok dari kantor bupati dan mengirimnya ke penjara. Dalam aksi yang masif itu tak ada perusakan fasilitas publik apalagi tempat ibadah.

Demonstrasi besar kedua saat bupati saat ini Hasyim Afandi adalah soal tembakau. Masyarakat menentang RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan (RUU PDPTK). Aksi massa di alun-alun, depan rumah jabatan bupati Temanggung mencapai 30.000 karena juga dihadiri petani dari kabupaten tetangga. Dari bupati, ulama, sampai petani bersatu padu menolak pembatasan produk tembakau. Tak ada satu pun perusakan terhadap fasilitas umum.

Temanggung memang sudah berubah. Tak seramah dulu. Tak seguyub dulu. Kini sekat-sekat yang memisahkan warga yang secara SARA makin kentara. Kini makin banyak warga karena alasan keyakinan berlaku eksklusif dan menganggap paling baik atau paling suci di antara sesama warga. Pendek kata, slogan Temanggung Bersenyum: bersih, sehat, nyaman untuk masyarakat, sudah tak berarti lagi.

Ketika simbol-simbol keyakinan mulai dipertontonkan secara vulgar pada awal 90-an dan makin banyak berdiri lembaga berlatar belakang keyakinan pascareformasi 1998, maka lengkaplah sudah fragmentasi warga dalam masyarakat kita. Dari fasadnya kita bisa melihat seorang berkeyakinan seperti apa, bagaimana ia menjalankan keyakinannya dan sebagainya. Dengan penampilan luar tersebut muncullah jarak. Mereka yang berpenampilan khusus akan bersalam dan bersalaman dengan yang berpenampilan khusus pula. Mereka yang berpakaian khusus akan hangat berjabat, berpelukan hingga berciuman pipi hanya dengan yang berpenampilan khusus.

Sebaliknya, terhadap mereka yang bukan in group, mereka mengambil jarak. Jangankan bersalaman, bersalam saja mereka enggan. Hubungan antargender yang sebelumnya hangat sesuai kultur Jawa, kini berjarak karena tak bersentuhan. Sungguh kehangatan masa lalu yang nJawani sudah luntur bahkan makin punah. Masyarakat kian akrab dengan istilah impor dari Timur Tengah sementara produk budaya sendiri kian ditinggalkan. Tak heran jika saat ada hajatan di kampung-kampung, seperti pernikahan atau sunatan, kita dapat menyaksikan Temanggung tak ubahnya seperti di tanah Arab.

Bisa saja penampilan luar hanya masalah fashion, tak menggambarkan ideologi di kepalanya. Namun kejadian penyerbuan Densus 88 dan penyerangan gereja (8/2) menunjukkan ini bukan sekadar fashion. Teroris akan nyaman berada di tengah masyarakat yang mendukung ideologi teroris tersebut atau pada masyarakat yang cuek terhadap keamanan negara. Jika diibaratkan teroris itu ikan, maka masyarakatlah yang menjadi air atau blumbangnya. Tampaknya makin banyak blumbang di Temanggung.

Secara perlahan namun pasti, Temanggung telah berubah. Temanggung kian tak ramah. Temanggung makin tak nJawani. Temanggung tak lagi ngangeni seperti dulu. Tak terdengar lagi tembang Temanggung Sayang, sebuah lagu tema Temanggung tempo dulu. Temanggung malah makin medeni!

Penulis adalah
alumnus Magister Managemen Komunikasi Politik UI, dan anak daerah Temanggung

Monday, February 14, 2011

Lindungi Kebebasan Beragama Oleh: Hendardi

SUARA PEMBARUAN DAILY

22 Desember 2010

Lindungi Kebebasan Beragama

Oleh: HENDARDI

Sepanjang tahun 2010, negara (state) Republik Indonesia bukan saja masih dihadapkan pada persoalan kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), tapi lebih jauh lagi adalah kewajiban untuk melindungi (obligation to protect) terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan (freedom of religion or belief).

Berdasarkan persoalan itulah, kiranya evaluasi terhadap kinerja negara, khususnya pemerintah (pusat dan daerah) serta aparat penegak hukum (law enforcement officials) untuk melindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan, patut dilakukan agar bisa ditemukan jalan untuk memperbaikinya di tahun-tahun mendatang.

Mengapa hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan perlu dilindungi? Dalam kerangka hukum hak asasi manusia (HAM) internasional, semua negara dibebankan kewajiban umum (generic obligation) untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak dan kebebasan setiap orang.

Kewajiban itu sebagai konsekuensi negara-negara yang berjanji terhadap hak-hak dan kebebasan dasar manusia (human rights and fundamental freedom) sebagaimana tertuang dalam deklarasi dan konvensi HAM internasional. Negara Republik Indonesia pun telah meratifikasi konvensi/kovenan menjadi bagian dalam hukum nasional.

Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama atau berkeyakinan, negara hanya menjalankan dua kewajiban, yaitu menghormati dan melindungi. Sementara kewajiban ketiga tak diperlukan, sehingga negara tak perlu pula menggelar program bagi pemenuhan kebebasan itu.

Kewajiban menghormati disebut juga kewajiban negatif (negative obligation) tak memerlukan campur tangan negara, karena sifat kebebasan itu akan terganggu jika ada pihak yang mencampurinya. Kebebasan memerlukan otonomi setiap orang untuk menikmatinya. Hanya kewajiban melindungi (positive obligation) diperlukan intervensi negara secara terbatas hingga keadilan/kesetaraan dipulihkan.

Realitas sosial-budaya selalu ditandai dengan keanekaragaman agama atau keyakinan. Kemajuan ini hanya dapat dicapai jika setiap orang atau golongan bersikap toleran, hidup berdampingan secara damai, lebih jauh lagi saling membantu dalam memajukan diri sebagai satu kebangsaan.

Tapi masalahnya, ruang keanekaragaman (pluralisme) yang bersifat publik itu juga tak selalu diisi sesuai dengan harapan dalam pencapaian kemajuan bersama. Sehingga pandangan eksklusif, intoleran dan diskriminasi mempengaruhi sikap dan perilaku mereka, serta diekspresikan menjadi ancaman bagi kebebasan orang atau golongan agama lain.

Banyak peristiwa intoleransi dan aksi kekerasan bahkan kriminal telah berlangsung dalam beragama. Sejumlah komunitas Kristen, Ahmadiyah dan golongan keyakinan lainnya yang dituduh sesat, telah menjadi sasaran intoleransi dan kekerasan. Lebih parah lagi, para korban ini diperlakukan diskriminatif oleh negara, sehingga merasa seperti hidup di negeri orang.

Negara Wajib Melindungi

Ancaman intoleransi itu juga dialami beberapa kelompok usaha, seiring kerap dilakukan aksi sweeping yang dilakukan golongan yang menyatakan anti maksiat atau menjaga kesucian bulan puasa. Operasi misi suci ini bukan saja menimbulkan gangguan, tapi juga beberapa lama korban kehilangan pekerjaan dan penghasilan.

Karena itulah, negara perlu diingatkan kembali mengenai kewajibannya untuk melindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan maupun kebebasan berusaha sejauh tak ada kaitannya dengan pelanggaran hukum atau membahayakan keselamatan, kesehatan, ketertiban dan moral umum.

Pertama, negara berkewajiban melindungi golongan-golongan yang menjadi sasaran intoleransi itu dengan melakukan intervensi untuk mencegah timbulnya gangguan, ancaman atau intimidasi, atau kekerasan dari pihak ketiga yang berwatak intoleran. Dalam kaitan ini, polisi wajib melindungi golongan yang diancam, dengan mencegah ancaman itu.

Jika sesuai dengan hukum HAM, dan hukum yang berlaku pun tak membolehkan diskriminasi sebagaimana prinsip kesetaraan di muka hukum (equality before the law), maka setiap ancaman yang mengintimidasi golongan yang diancam harus dicegah oleh aparat keamanan dan penegak hukum.

Kedua, negara berkewajiban melindungi orang-orang yang telah menjadi korban kekerasan dan kriminal. Aksi-aksi perusakan rumah ibadat atau rumah golongan agama atau keyakinan maupun pemilik tempat usaha, jelas menimbulkan kerugian material. Hak milik mereka hilang, beberapa lainnya kehilangan penghasilan atau pekerjaan.

Dalam peristiwa lainnya, beberapa di antara korban justru menderita luka-luka, bahkan lebih mengenaskan mengalami kematian. Kasus-kasus ini karena tindak penganiayaan atau pengeroyokan secara massal yang dilakukan golongan intoleran dengan agenda anti pemurtadan dan aliran sesat.

Ketika peristiwa kekerasan dan kriminal terjadi, aparat penegak hukum wajib melindungi korban dengan menyeret para pelaku ke muka pengadilan agar korban mendapatkan keadilan. Aparat penegak hukum tak boleh membiarkannya, kecuali akan dituduh sebagai penegak hukum yang gagal, sehingga melanggengkan impunity.

Sudah seyogianya, pemerintah dan parlemen golongan-golongan koalisi di dalamnya tak memainkan isu-isu eksklusif itu demi kepentingan politiknya. Begitu juga, polisi tak perlu ikut-ikutan politik yang justru menodai fungsi dan otoritasnya sebagai aparat keamanan dan penegak hukum.

Negara khususnya pemerintah dan penegak hukum haruslah menegakkan wibawanya. Sangat memalukan jika mereka dituduh disfungsional ketika menghadapi kasus-kasus seperti itu. Lebih malu lagi ketika otoritas mereka terkesan diambil alih oleh golongan swasta, seolah-olah polisi tak berkutik.

Lemahnya perlindungan negara terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan seolah menjadi peluang golongan intoleransi untuk unjuk gigi. Karena itu, komitmen pemerintah dan tugas penegak hukum haruslah diperbaiki.

Penulis adalah KETUA BADAN PENGURUS SETARA INSTITUTE

Thursday, January 6, 2011

Ikrar Memerangi Kemiskinan Oleh: Joseph H. Gunawan

SUARA PEMBARUAN DAILY
Ikrar Memerangi Kemiskinan

Joseph Henricus Gunawan

Pada 28 Oktober, kita memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-81. Ironisnya, yang namanya masyarakat miskin tetap ada di negeri ini. Masalah kemiskinan terus berkelanjutan. Upaya apa yang harus dilakukan agar angka kemiskinan bisa diminimalisasi setiap tahun?

Esensi permasalahan sesungguhnya mengarah pada faktor kemiskinan sebagai penyakit sosial dan sumber dari implikasi krisis global, yang belum sepenuhnya pulih. Senandung pilu rakyat miskin masih sering dijumpai. Potret buram tentang kemiskinan di berbagai tempat.

Kemiskinan tetap merupakan salah satu persoalan bangsa Indonesia, yang ditandai dengan masih banyaknya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mengacu data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), jumlah penduduk miskin pada 2007 mencapai 37,2 juta atau sekitar 16,58 % dari total penduduk Indonesia. Pada 2008, sebanyak 41,70 juta penduduk miskin. LIPI memprediksi angka kemiskinan 2009 pada level 43 juta jiwa atau 22%.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2009 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin, sebanyak 2,43 juta, menjadi 32,53 juta jiwa atau 14,15%, Sedangkan sebelumnya, Maret 2008, jumlah penduduk miskin 34,96 juta atau 15,42%. Menurut data versi BPS, pada 2009 total populasi Indonesia sudah mencapai 240,2 juta jiwa dengan posisi di peringkat keempat dunia.

Strategi untuk mengatasi kemiskinan tidak dapat hanya ditinjau dari satu dimensi, melainkan memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal. Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, kabupaten/kota, maupun komunitas. Dalam proses pengambilan kebijakan dibutuhkan adanya indikator-indikator yang realistis, yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.

Meminjam pemikiran dari Michael Eugene Porter, profesor administrasi bisnis di Harvard Business School, hal itu suatu konsep dan alat analitis yang bervariasi dengan efektif dan efisien dalam menciptakan dan mempertahankan keunggulan bersaing. Porter melihat faktor penentu biaya memainkan peran signifikan dalam menentukan kesuksesan strategi diferensiasi dan mempunyai sejumlah implikasi bersaing yang krusial dan signifikan. Apabila para pesaing berada pada kedudukan relatif terhadap faktor penentu biaya yang signifikan, akan memengaruhi biaya mencapai keunikan dalam kegiatan kerja terkait.

Inovasi Signifikan

Porter mengungkapkan, untuk menghadapi pesaing, harus menjadi unik dalam kegiatan kerja menghasilkan produk yang sebelumnya dianggap tidak disukai. Porter menyakini bahwa dalam bersaing harus terjadi inovasi signifikan yang belum dilaksanakan para pesaing, seperti proses penemuan baru, alat inovatif, metode baru atau gagasan bersifat kreasi baru yang memperbarui, memperkenalkan, menampilkan sesuatu produk yang baru, menurunkan dan memotong biaya serta meningkatkan kualitas produk. Porter juga percaya, menghadapi pesaing harus sepenuhnya memanfaatkan peluang untuk mengurangil biaya.

Oleh karena itu, Porter menegaskan betapa pentingnya sektor swasta bersama pemerintah menciptakan produk dengan tingkat keunikan yang tinggi agar dapat bersaing dalam pasar dunia. Jika masih tetap ingin masuk pada pasaran produk yang sama, Indonesia pasti akan terlempar dari peta persaingan.

Strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah berupaya meningkatkan daya saing di pasar internasional dengan harapan mendorong ekonomi Indonesia melalui peningkatan investasi, ekspor, perluasan kesempatan berusaha, kesempatan kerja, dan penciptaan lapangan kerja. Pemerintah harus berupaya menciptakan industri yang layak atau yang bisa diandalkan untuk bersaing di kancah internasional.

Perlu segera ditetapkan kebijakan percepatan dalam pengentasan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja melalui konsolidasi program-program penanggulangan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Untuk menekan angka kemiskinan diperlukan program padat karya serta memberdayakan pelaku ekonomi dari kelompok usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Hendaknya, program pengentasan kemiskinan bukan memberikan ikan melainkan menyiapkan kail, yang dimasukkan dalam agenda 100 hari pertama KIB II, sehingga ada harapan angka kemiskinan dapat dikurangi. Rakyat Indonesia harus bersatu padu mengimplementasikan kebijakan program pengentasan kemiskinan. Kobarkan kembali semangat "Sumpah Pemuda" untuk melahirkan tekad memerangi kemiskinan. Kiranya, peringatan Hari Sumpah Pemuda ini dijadikan momentum untuk memerangi kemiskinan.

Penulis adalah Alumnus University of Southern Queensland (USQ), Australia

Last modified: 29/10/09