Monday, December 6, 2010

Negara Harus Bertindak Oleh: Benny Susetyo

SEPUTAR INDONESIA

16 September 2010

Negara Harus Bertindak

Oleh: Benny Susetyo

Kasus penganiayaan terhadap pendeta dan anggota Majelis Gereja HKBP Ciketing, Bekasi, Minggu (12/9), membuktikan negara absen dalam hal kebebasan beragama. Pemerintah selama ini menganggap sepi masalah kehidupan beragama, terutama diskriminasi yang dialami kelompok minoritas. Demikian pendapat yang diungkapkan para tokoh saat menanggapi kasus pemukulan dan penusukan yang mengakibatkan Luspida Simanjuntak luka dan Asia Sihombing Lumbantoruan dirawat di rumah sakit karena mengalami luka tusukan di lambung. Luspida adalah pendeta Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah (PTI) Ciketing, Bekasi, sedangkan Asia Sihombing adalah penatua (anggota majelis) gereja tersebut. Keduanya diserang sekelompok orang tak dikenal. Saat itu Luspida dan Asia sedang berjalan bersama jemaat HKBP untuk beribadah.

Kasus harus dilihat dalam kacamata yang lebih mendalam, bukan sekadar kriminal murni semata-mata. Ada masalah di dalam masyarakat di akar rumput gejala intoleransi yang bisa membahayakan keutuhan Republik Indonesia. Hal ini bisa tercermin dalam hasil penelitian Setara Institute yang menunjukkan sejak memasuki 2010, eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah khususnya terhadap jemaat Kristiani terus meningkat jika dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada 2008 terdapat 17 tindakan, pada 2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran-pelanggaran yang menyasar jemaat Kristiani dalam berbagai bentuk, dan pada 2010 sejak Juni-Juli sebagaimana dalam reviu tematik ini tercatat 28 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

Ini menunjukkan ada masalah di tingkat masyarakat mengenai pemahaman mengenai cita-cita bersama Republik Indonesia yang didirikan bukan berdasarkan kesukuan, keagamaan, kedaerahan. Cita bersama semua berhak tinggal di Bumi Pertiwi ini untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Persoalan saat ini ada yang hilang pada ruh Bhinneka Tunggal Ika yang kian lama redup karena ketidakjelasan visi hidup berbangsa dan bernegara. Ini membuat meningkatnya intoleransi di masyarakat karena visi mengenai keindonesiaan tidak jelas lagi ditegakkan dengan pranata hukum yang tegas. Akibatnya terjadi kekosongan hukum di lapisan masyarakat karena pelaku kekerasan kebal hukum.

Langkah Taktis

Saat ini Presiden, DPR, dan politikus perlu untuk melakukan evaluasi terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006. Presiden Republik Indonesia bisa mengambil langkah dan terobosan dalam rangka memfasilitasi pendirian-pendirian rumah ibadah yang mengalami penolakan baik penolakan oleh masyarakat, penolakan perolehan IMB, dan ketidaktersediaan lahan. Presiden dapat memerintahkan bupati/wali kota untuk memberikan penanganan yang cepat bagi penyediaan rumah ibadah.

DPR RI juga sudah seharusnya memberikan perhatian kepada berbagai pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan mengefektifkan peran pengawasan, khususnya kepada menteri agama, menteri hukum dan HAM, menteri dalam negeri, jaksa agung, dan Polri. Selain mengintegrasikan isu pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam kinerja pengawasan, Dewan juga dapat membentuk Kelompok Kerja Parlemen untuk Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk mendorong legislasi yang konstruktif bagi jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan. Polri harus melakukan penindakan terhadap pelaku-pelaku kekerasan dan perusakan tempat ibadah. Polri harus memiliki panduan kerja bagi aparat kepolisian di lapangan dalam penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

Jika langkah ini dilakukan, kasus seperti ini tidak akan terulang kembali. Dalam hal ini pemerintah agak kurang serius memperhatikan bagaimana kerukunan hidup beragama itu bisa menjadi modal dasar untuk membangun sebuah cara pandang, cara merasa, dan cara perilaku sesuai dengan kemanusiaan dan keadilan. Dengan cara seperti itu, agama dalam masyarakat adalah ruh dan semangat untuk membangun dan bukan agama sebagai tujuan yang dilegalformalkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Agama akan menjadi ruh pembebas masyarakat dari ketakutan akan represi negara maupun ketertindasan eksploitasi ekonomi.

Fungsi Agama

Agama tidak menjadi orientasi hidup, tapi untuk menjadikan hidup ini lebih berorientasi pada kemanusiaan. Itulah sekiranya tujuan terpenting beragama yang sering terselewengkan dalam perjalanan kita sebagai bangsa, yakni ketika agama dijadikan sebagai manifesto simbolik yang harus ditegakkan dengan pedang daripada dijadikan pewarna kehidupan kita untuk memperkuat semangat. Kualitas kerukunan beragama amatlah ditentukan oleh masyarakat sendiri, sejauh politik tidak menggunakan agama sebagai aspirasi. Masalahnya, di Indonesia ini agama sering dijadikan instrument kekuasaan daripada sebagai pewarna dan pengarah. Inilah yang membuat agama sering mandul dalam diri para pengkhotbah dan para pemeluknya sebab ia tidak pernah dibatinkan dalam perilaku, tetapi lebih dijadikan komoditas politik dan ekonomi untuk kepentingan jangka pendek dan amat sempit.

Orientasi beragama justru bukan untuk mengembangkan keadaban public, melainkan lebih pada bentuk lahiriahnya saja. Pada akhirnya umat beragama hanya mencari identitas diri di bawah simbol-simbol perlawanan yang berdarah, bukan perlawanan terhadap kemiskinan dan ketidakadilan. Persoalan identitas yang simbolistik inilah yang membuat kerukunan kita hanya semu. Orientasi beragama sekadar to have religion bukan to be religion. Agama kehilangan jati diri dan nuraninya sebagai entitas pembawa kedamaian dan keadilan. Agama hanya dipahami parsial lewat ketakutan dan dihilangkan unsur rasionalitasnya. Kalau politik seperti ini yang dikembangkan, kerukunan agama tidak akan lestari karena ia akan mudah diledakkan menjadi konflik laten.

Kualitas beragama bisa diukur bila kesalehan tidak sekadar bermakna individual, tapi sosial. Kesalehan sosial akan melahirkan sikap-sikap kemanusiaan dalam berbagai kebijakan politik maupun ekonomi. Seharusnya yang dipentingkan bukan hanya jumlah rumah ibadatnya, melainkan pada orientasi hidup yang bernilai pemekaran pada nilai kebersamaan, solidaritas, dan kesetiakawanan. Nilai-nilai ini hanya bisa ditumbuhkan bila agama menjadi inspirasi batin. Tetapi, tampaknya hal ini belum terwujud secara optimal karena kerukunan agama hanya dalam wacana belaka dan belum menjadi habitus bangsa. Pluralitas yang seharusnya menjadi modal utama untuk pembentukan karakter masih belum terinternalisasi.

Hal ini seharusnya dikembangkan oleh pemerintah dengan mendorong agama menjadi inspirasi batin tegaknya nilai kejujuran, kemanusiaan, kebersamaan, dan keadilan. Hal ini dijadikan politik etis dalam pembangunan karakter masalah intoleransi di masyarakat Indonesia bisa dipersempit ruangan geraknya.

Masalahnya, saat ini kita kehilangan negarawan yang berani memberikan jiwa raga demi cita-cita pendiri bangsa. Semoga lewat kejadian ini kita disadarkan pentingnya negara bertindak untuk mengembalikan keadaban publik.

Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Hak KWI dan Dewan Nasional Setara.

Tuesday, November 2, 2010

Tusuk, Apa Lagi? Oleh: Franz Magnis Suseno

SUARA PEMBARUAN DAILY

23 September 2010

Tusuk, Apa Lagi?

Oleh : Franz Magnis Suseno

Penusukan dan pemukulan terhadap pendeta dan penatua jemaat HKBP Pondok Indah Timur pada tanggal 12 September yang lalu menimbulkan reaksi sangat ramai di media.
Pantas demikian. Penusukan itu hanyalah puncak ketegangan dan kekerasan yang mendahuluinya dan sebenarnya sudah dapat diramalkan. Yang menjadi masalah serius: Situasi yang mirip terjadi juga di sekian tempat lain. Sudah bertahun-tahun masalah tempat ibadah mengganggu, bahkan cenderung meracuni hubungan baik antara umat beragama di Indonesia. Apa kita akan menunggu sampai di situasi di lain tempat juga meledak dalam kekerasan?
Dalam situasi ini pimpinan nasional harus membuktikan diri. Dari mereka diharapkan kejernihan visi dan keberanian untuk bicara kepada masyarakat. Tetapi yang kita dapat hanyalah strategi burung onta: tidak melihat, tidak mendengar, paling-paling beberapa sabda basa-basi. Ancaman dan kekerasan tidak ditindak dengan tegas, tak ada keberanian moral untuk meminta seluruh bangsa untuk menghormati para minoritas, untuk menjamin keamanan mereka yang berbeda ibadatnya. Sedangkan administrasi lokal, terus terang saja, umumnya tidak mampu menangani situasi semacam itu. Apa kita lantas heran kalau masyarakat menjadi bingung, lalu emosi, kecurigaan dan prasangka-prasangka lama meracuni hati mereka?

Masalahnya Bukan Masyarakat
Padahal dapat kita andaikan bahwa sebenarnya masyarakat, juga masyarakat lokal, juga masyarakat di Bekasi Timur, ingin hidup bersama dengan damai, bahwa mereka pada prinsipnya tidak menolak jemaat-jemaat lain beribadat. Semua sebenarnya tahu bahwa benci, marah, dendam bukan sikap yang dikehendaki Allah. Modal sosial itu seharusnya diakses dan dipergunakan.
Masalahnya juga tidak pertama-tama terletak pada para pimpinan umat beragama yang bersangkutan. Pada umumnya mereka mau bertanggung jawab, ingin agar semua umat beragama dapat beribadat tanpa takut. KWI, pimpinan umat Katolik, begitu juga pimpinan Kristen Protestan di PGI, apalagi para pimpinan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, mereka sungguh-sungguh menginginkan hubungan antar umat beragama yang berdamai dan fair.
Lalu bagaimana? Seharusnya kita menerima fakta bahwa keagamaan Indonesia majemuk, bahwa orang Indonesia merantau ke seluruh Nusantara, dan bahwa, karena itu, di semua daerah yang pernah homogen, lama-kelamaan akan muncul keanekaan jemaat dan kelompok beragama. Satu tugas kita bersama adalah mempersiapkan masyarakat atas kenyataan itu. Ucapan seperti “jangan membangun rumah ibadat di tengah-tengah umat beragama lain” adalah nonsense: Bagaimana minoritas bisa beribadat kecuali di tengah-tengah mayoritas? Sebetulnya di banyak daerah masyarakat sejak lama biasa hidup bersama dalam kemajemukan.
Apakah toleransi masyarakat berkurang? Yang tidak tersangkal adalah pengaruh penghasutan. Bisa misalnya masyarakat sudah menyetujui pembangunan sebuah gereja, tetapi mendadak persetujuan ditarik. Hasutan dari luar?
Perlawanan terhadap hasutan jahat harus datang dari para tokoh agama yang bersangkutan. Mereka yang mesti mendidik umat-umat mereka: Bahwa mayoritas justru bertanggungjawab atas keamanan dan kebebasan minoritas, bahwa minoritas perlu tahu diri, komunikatif, tidak provokatif, sabar dan bersedia berkompromis.

Negara
Dari seorang pimpinan negara saya mengharapkan keberanian untuk menantang bangsa agar mau membangun sikap-sikap yang perlu demi harkat kemanusiaannya dan kemajuannya. Mengapa saya sepertinya tak pernah mendengar kata-kata seperti ini: “Mari kita terima semua saudara dan saudari sebangsa dengan lapang hati. Boleh saja kita menolak cara beribadat mereka. Tetapi mari kita tetap menghormati hak mereka untuk beribadat menurut suara hati mereka, mari kita membuat mereka merasa aman di antara kita” Kalau pimpinan nasional mengatakannya, bangsa akan mengerti dan pengaruh para penghasut akan tumpul.
Di sini saya mau bertanya pada menteri agama: How low can you go? Karena Anda, penganut agama mayoritas menurut mazhab mayoritas, tidak dapat menyetujui pengertian sebuah minoritas (itu hak Anda!), Anda sebagai menteri RI mau melarang mereka? Pfui! Yang Mulia, Anda menyabotase 65 tahun negara Pancasila.
Masalah SKB 2006 bukan pada apa yang dimaksud, melainkan bahwa SKB itu tumpul. Tentu, negara berwenang menata hal rumah ibadat. Betul, sikap mayoritas setempat tak boleh diabaikan. Tetapi FKUB misalnya sering tidak berfungsi. Bahkan ada kasus pemerasan. Syarat 60 tanda tangan jemaat mayoritas rawan dimanipulasi. Berulang kali terjadi bahwa 60 tanda tangan sudah diberikan, tetapi kemudian ditarik kembali karena ada hasutan, lalu semuanya mubazir lagi.
Itulah yang perlu dibahas bersama dalam merevisi SKB. Sangat perlu juga administrasi lokal diberi latihan bagaimana menangani pluralitas keagamaan di wilayah tanggung jawab mereka.
Tusukan beberapa hari lalu merupakan wake up call bagi kita semua. Kita sebagai bangsa harusnya merasa ditantang olehnya. Kita semua harus tahu apa yang benar, dan sekaligus tahu diri. Ketegasan maupun kesabaran dituntut dari kita. Negara harus memberi zero tolerance terhadap kekerasan bernuansa agama. Para pemimpin harus menunjukkan keberanian moral untuk menyatakan komitmen mereka pada hak yang sama para minoritas untuk beribadat. Mereka yang memerlukan tempat ibadat perlu sabar dan mampu merebut hati masyarakat setempat. Untuk itu kita pasti akan mendapat dukungan masyarakat.

Penulis adalah guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Monday, October 11, 2010

Kekerasan Beragama, Demokrasi, dan Proses Sosial Budaya Oleh: Laode Ida

SUARA PEMBARUAN DAILY

20 September 2010

Kekerasan Beragama, Demokrasi, dan Proses Sosial Budaya

Oleh : Laode Ida

"Kelompok-kelompok sosial, budaya dan agama, tidak boleh dibiarkan terus memelihara jarak (eksklusif) yang berimplikasi adanya saling curiga satu sama lain

Kekerasan fisik yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan memakai simbol-simbol Islam nyaris menelan korban jiwa pihak jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di kawasan Ciketing, Kota Bekasi, Jawa Barat. Asia Sihombing, seorang jemaat, harus dirawat di rumah sakit akibat mengalami luka tertusuk senjata tajam oleh anggota kelompok itu, dan seorang lainnya mengalami luka di bagian muka sehingga harus dibalut dengan perban.
Peristiwa kekerasan itu sungguh ironis dan keterlaluan. Soalnya dilakukan secara sepihak tanpa perlawanan dari pihak jemaat HKBP oleh sekelompok orang yang terindikasi membawa simbol-simbol Islam, sehingga kembali memberi kesan bahwa agama tersebut “menghalalkan kekerasan”. Prosesnya pun seolah terjadi sekonyong-konyong sehingga mungkin saja komunitas Kristen yang akan menuju lokasi tanah untuk beribadah itu tidak menduga, alias tidak memiliki persiapan untuk mengantisipasinya. Para jemaat HKBP itu akhirnya pasrah saja saat dianiaya.
Menanggapi kejadian itu, pihak kepolisian menyatakan “sebagai kriminal murni”. Benarkah? Saya kira tidak. Meskipun hingga artikel ini ditulis, pihak polisi menyatakan belum memastikan motif penusukan itu, namun kalau mau jujur diakui, pernyataan itu sebenarnya bersifat psiko-politis, untuk sekadar membuat rasa nyaman sementara agar tidak menimbulkan kesan terbuka bahwa telah terjadi benturan antara dua komunitas dengan keyakinan agama yang berbeda. Pihak HKBP pun niscayalah sudah mengetahui semua itu, karena fenomenanya sudah berulang, bahkan sebulan yang lalu pernah terjadi ketegangan yang sudah menjurus pada kekerasan; hanya saja masih beruntung karena aparat keamanan mampu mengatasinya secara baik.

Tidak Sederhana
Tentu saja peristiwa ini sangat memprihatinkan. Betapa tidak. Suatu kelompok penganut agama (HKBP) pastilah tidak akan pernah merasa nyaman dalam menjalankan kewajiban agamanya akibat dari penghalangan oleh sekelompok orang yang belakangan secara tega melakukannya dengan intimidasi fisik itu. Parahnya lagi, pemerintah tampaknya belum menemukan cara jitu untuk menyelesaikan konflik antarkomunitas agama itu.
Konflik seperti ini, memang, sungguh tidak sederhana penyelesaiannya. Mengapa? Pertama, terkait dengan hak dan keyakinan dari masing-masing pihak yang. Pihak HKBP sudah pasti memiliki hak untuk beribadah yang dijamin oleh konstitusi. Dapat dipahami kalau pihak HKBP terus-menerus memaksa untuk mendirikan rumah ibadah, termasuk beribadah di lapangan terbuka seraya menunggu proses keluarnya izin yang tak kunjung diperoleh meski sudah sekian tahun dalam pengurusan.
Sementara pihak komunitas yang menghalangi (dalam wadah Forum Umat Islam/FUI dan atau Front Pembela Islam/FPI) merasa memiliki dukungan sosial lokal yang memperoleh legitimasi dari kebijakan pemerintah – di mana pembangunan rumah ibadat HKBP itu belum memperoleh izin. Bagi pihak komunitas Islam lokal di sekitar lokasi peribadatan jemaat HKBP itu, termasuk pihak FUI/FPI, mungkin juga menganggap bahwa pendirian rumah ibadah itu merupakan bentuk dari syiar budaya Kristen yang harus dicegah.
Kecurigaan pihak komunitas Islam lokal di Bekasi ini juga tak bisa disalahkan, karena menganggap harus menjaga komunitas dan anak-anak (generasi pewaris) mereka dari keterpengaruhan langsung budaya atau agama lain; di mana kalau mau jujur diakui, sikap yang sama juga melekat pada komunitas agama di luar Islam. Mereka kerap tidak menyadari bahwa komunitas agama yang lain itu, meskipun dari segi kuantitas minoritas, memiliki hak untuk menjalani ajaran agamanya.
Kedua, terkait dengan hubungan antar komunitas budaya, di mana antara komunitas HKBP dengan komunitas lokal khususnya di sekitar rencana pembangunan rumah ibadah itu masih memiliki jarak sosial, sehingga menjadikan segala urusan terkait pendirian rumah ibadah terbengkalai akibat tidak memperoleh dukungan dari komunitas lokal. Belum lagi kalau masih melekat pemahaman budaya secara sempit bahwa pihak HKBP adalah kelompok pendatang dengan bawaan misi agamanya, maka bukan mustahil dicurigai akan mempengaruhi komunitas dan generasi sekitarnya dengan keyakinan agama yang berbeda.

Memaksakan Kehendak
Pertanyaan yang sedikit mengganggu adalah, mengapa suatu kelompok masyarakat tertentu, selalu berupaya memaksakan kehendak untuk mendirikan suatu rumah ibadah dengan hanya mengedepankan “hak untuk beribadah” dengan “mengabaikan proses” yang seharusnya sebagai awal dari suatu pendekatan sosial untuk saling memberikan pemahaman di antara sesama komunitas yang berbeda keyakinan? Pertanyaan ini penting untuk direnungkan, karena kondisi hubungan antarkomunitas yang berjarak, memang, selalu potensial untuk menimbulkan konflik. Apalagi terkait dengan keyakinan agama. Sikap saling ngotot di antara pihak-pihak penganut agama yang berbeda, justru akan menimbulkan kecurigaan yang lebih besar, sehingga tinggal menunggu saatnya untuk meletup menjadi konflik terbuka, termasuk seperti yang baru saja terjadi di Bekasi itu.
Ketiga, pihak aparat keamanan, termasuk pemerintah, pastilah berada pada posisi yang dilematis. Setidaknya, sangat tidak mudah untuk mengiyakan keinginan salah satu pihak. Rencana pembangunan rumah ibadah HKBP yang kurang memperoleh respons positif oleh komunitas Islam di tingkat lokal, tidak mungkin akan dipaksakan oleh pemerintah atas nama ‘kewenangan negara’. Sebab: (1) akan melanggar aturan proses perizinan yang dibuat sendiri; dan (2) bukan mustahil juga akan menimbulkan instabilitas lantaran pemerintah, oleh komunitas Islam lokal, akan dianggap sebagai “memaksakan kehendaknya” untuk memberi ruang misi budaya kepada kelompok agama tertentu.
Fenomena seperti ini memang memungkinkan untuk selalu terjadi di era demokrasi sekarang ini. Pemerintah sekarang tidak seperti era Orde Baru yang bisa mengambil kebijakan secara sepihak, lalu memaksakannya untuk diterima oleh pihak yang lain. Tetapi bukan berarti pula bahwa elemen-elemen masyarakat bisa secara bebas melakukan intimidasi atau tindakan kekerasan.
Apa yang harus dilakukan adalah membangun peradaban pluralisme melalui proses-proses sosial budaya dalam bingkai dan nilai-nilai demokrasi lokal. Kelompok-kelompok sosial, budaya dan agama, tidak boleh dibiarkan terus memelihara jarak (eksklusif) yang berimplikasi adanya saling curiga satu sama lain, melainkan diupayakan untuk memiliki hubungan-hubungan yang cair (inklusif), yang pada akhirnya akan menjadi modal sosial (social capital) bagi bangsa ini.
Dalam konteks ini, pemerintah sebagai representasi negara menjadi fasilitator untuk membangun rasa saling percaya di antara stakeholders bangsa ini. Proses-proses dimaksud haruslah dimulai dari tingkat akar rumput hingga di aras nasional, termasuk menyelesaikan kasus di Bekasi itu.

Penulis adalah Sosiolog, Wakil Ketua DPD RI

Saturday, September 18, 2010

Belajar Toleransi Agama dari Amerika Serikat Oleh: Albertus Patty

SUARA PEMBARUAN DAILY

16 September 2010

Belajar Toleransi Agama dari Amerika Serikat

Oleh : Albertus Patty

"Para pejabat harus belajar membatinkan sikap toleran sebagai bukti kesetiaannya terhadap moto bangsa Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan konstitusi
bangsa (UUD 1945).

Aksi kekerasan dan penusukan terhadap pendeta dan penatua gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Ciketing, Bekasi pada hari Minggu, 12 September 2010, bisa saja timbul dari berbagai motif. Tetapi, akar utamanya pasti intoleransi agama. Tidak seorang pun bisa menyangkal bahwa aksi anarki itu adalah lanjutan dari aksi intoleransi yang terjadi di hampir setiap hari Minggu terhadap warga jemaat ini. Yang pasti, tragedi kekerasan itu menunjukkan bahwa tsunami intoleransi agama telah menerjang pekarangan rumah kita.
Intoleransi menjadi persoalan lokal yang membutuhkan respons kita yang sama seriusnya ketika kita, terutama pejabat publik, merespons persoalan intoleransi yang terjadi di negeri orang. Langkah pertama keseriusan itu adalah mengakui bahwa intoleransi agama adalah patologi sosial yang mulai ada di tengah bangsa ini dan yang mulai menggergaji tiang-tiang penyangga kebhinekaan bangsa.

Dwi Wajah Agama
Aksi kekerasan dan penyerangan yang terjadi terhadap jemaat gereja HKBP Ciketing, rencana jahat pembakaran Alquran serta aksi perobekan Alquran, adalah sebagian kecil dari ceceran sampah busuk kebiadaban yang bernama intoleransi agama. Intoleransi itu telah mengotori wajah agama dan wajah kemanusiaan kita di sepanjang sejarah dunia. Rentetan kebiadaban ini mengingatkan kita pada satu bahaya yang sangat serius, yaitu bahwa manusia bisa memoles agama sesuai dengan kepentingannya. Agama pun tampil dalam dwi wajah. Agama yang seharusnya menjadi perekat dan pembawa rahmat bagi kemanusiaan kadang dipelintir menjadi pemicu intoleransi. Sabda Allah berubah menjadi sabda manusia!
Dalam wajah yang santun, agama menolong umat membuka diri terhadap kemajuan peradaban serta mendorong umat untuk merangkul sang liyan dalam semangat cinta dan persaudaraan. Dalam tampilan lain, agama bertampang garang. Umat diindoktrinasi untuk menegakkan yang diyakininya dengan cara apa pun termasuk dengan cara kekerasan. Tampilan agama dengan wajah seperti ini, kata Buya Syafii Maarif, berpotensi mempercepat kiamat peradaban.
Realitas ini membelah respons umat dalam dua kutub. Kutub pertama adalah para perangkul agama berwajah manusiawi yang menilai penyerangan, penusukan dan berbagai tindakan intoleransi lainnya sebagai aib yang bertentangan dengan nilai-nilai agama manapun dan nilai-nilai kemanusiaan. Kutub lain berisi kaum sektarian-fundamentalistik yang menyeringai menyaksikan sang korban kekerasan meregang nyawa dalam genangan darah. Kenyataan terakhir ini mestinya membangkitkan pertanyaan: kalau agama itu menakutkan dan menimbulkan kekerasan, untuk apa ada agama?

Penyakit Kronis
Baik pada aras lokal maupun pada aras global, kuantitas dan kualitas kebiadaban yang menggunakan simbol-simbol agama makin meningkat. Kenyataan ini telah menjadi berita yang kita santap hampir setiap hari melalui berbagai media. Berbagai lembaga penelitian seperti Setara Institut dan Wahid Institut sudah berkali-kali memperingatkan tentang ini. Kapolri pun mengakui fakta buruk ini.
Fakta itu memamerkan dengan telak bahwa intoleransi agama di mana pun, termasuk di Indonesia, telah menjadi penyakit kronis yang membutuhkan penanganan serius. Celakanya, dalam kasus Indonesia, virus intoleransi agama telah menjadi pendemik yang menyerang bukan saja umat, tetapi juga para pejabat.
Misalnya dalam kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin. Meski warga jemaat sudah mengantongi surat izin pembangunan dan meski pembangunan rumah ibadahnya sudah dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Umum Negara, Wali Kota Bogor tetap tidak mengeluarkan izin bagi umat GKI Taman Yasmin untuk beribadah di sana. Sang Wali Kota bukan saja telah mengangkangi hukum, tetapi juga telah memamerkan intoleransi beribadah dan beragama.
Kasus intoleransi lainnya menimpa warga Ahmadiyah. Pembiaran kebiadaban yang terjadi terhadap jemaah Ahmadiyah di Manislor, Kuningan dan di Lombok menunjukkan betapa hukum telah diinjak-injak di hadapan aparat keamanan. Yang ironis dalam kasus Ahmadiyah ini adalah sikap Menteri Agama. Sebagai pejabat yang diberi tanggung jawab memelihara dan menjaga kebebasan beribadah dan beragama, Menteri Agama seharusnya membantu umat Ahmadiyah yang telah menjadi korban intoleransi. Yang terjadi justru sebaliknya. Menteri Agama justru menyemburkan kata-kata intoleran, yaitu ancaman untuk membubarkan komunitas Ahmadiyah. Padahal, komunitas ini sudah eksis di sini sejak tahun 1926, jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Ada apa dengan pejabat publik di negeri ini?
Para pejabat kita harus belajar tentang toleransi dari Presiden Barack Obama atau dari Wali Kota New York, Bloomberg, yang dengan tegas, atas nama toleransi beragama, membela kepentingan minoritas Islam yang hendak membangun rumah ibadah di dekat WTC. Intoleransi agama sebagai pendemik sosial ini tidak perlu disangkal apalagi ditutup-tutupi. Semakin disangkal, semakin menimbulkan kesan bahwa para pejabat kita tidak terlalu serius menangani persoalan ini. Semakin fakta intoleransi ini ditutupi, semakin memperkuat kesan bahwa intoleransi agama telah membebat aparat keamanan dan elite politik kita.
Patologi sosial ini tidak boleh diremehkan. Ketika kasus seperti ini diremehkan, ia berpotensi menimbulkan ledakan sosial seperti yang terjadi dalam konflik Ambon. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh terlambat meresponsnya. Aparat keamanan harus berani bertindak tegas. Suatu strategi kebudayaan lengkap dengan komitmen penegakan sistem hukum yang menjamin terciptanya toleransi yang sehat dan harmonis di negara ini harus segera disiapkan. Para pejabat harus belajar membatinkan sikap toleran sebagai bukti kesetiaannya terhadap moto bangsa Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan konstitusi bangsa (UUD 1945).
Masyarakat harus semakin kritis terhadap para pejabat publik yang intoleran. Para pemimpin agama harus semakin mempererat relasi mereka sambil terus-menerus membangun dialog dan kerjasama antar umat beragama dalam semua aspek kehidupan. Intoleransi agama adalah penyakit yang sangat serius. Keterlambatan meresponnya bisa menempatkan kita dalam situasi chaos seperti yang terjadi di Irak. Atau lebih parah dari itu, bisa memicu merobek-robek eksistensi bangsa seperti yang pernah dialami oleh Yugoslavia, India, dan Uni Soviet.
Ada aspek yang patut kita syukuri dalam kasus kekerasan yang dialami oleh warga HKBP Ciketing ini. Aspek itu adalah respons para pemuka berbagai agama yang mengecam, bahkan mengutuk aksi kekerasan dan intoleransi agama dalam bentuk apa pun. Sikap positif mereka menunjukkan bahwa agama sebagai sumber kekuatan moral dan kekuatan cinta masih menyala di dalam dada sebagian besar anak bangsa ini.

Penulis adalah Aktivis Masyarakat Dialog Antar Agama/Rohaniawan

Tuesday, August 3, 2010

Bertuhan dan Beragama dengan Nalar Oleh: Daoed Joeosoef

SUARA PEMBARUAN DAILY
26 Juni 2010

Bertuhan dan Beragama dengan Nalar

Oleh : Daoed Joeosoef

Pernyataan Menkominfo, Tifatul Sembiring yang menganalogikan video asusila mirip tokoh selebriti tertentu dengan penyaliban Nabi Isa atau Yesus Kristus, pantas disesalkan. Apalagi berasal dari pikiran seorang beragama yang juga orang sekolahan. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa orang yang bersekolah tidak dengan sendirinya menjadi orang terdidik. Biar bagaimanapun persekolahan (schooling) tidak identik dengan pendidikan (education).
Di harian ini, sudah berkali-kali diberitakan tentang gangguan yang dilakukan oleh orang-orang Muslim terhadap kaum Kristiani dalam membangun rumah ibadahnya. Para pengganggu itu lupa, atau sengaja melupakan bahwa baik Kristiani maupun Islam adalah agama yang sama-sama datang dari Tuhan Yang Maha Esa pada waktu yang berbeda, tetapi secara esensial tetap berkesinambungan, untuk menuntun makhluk manusia menempuh jalan Ilahiah, jalan yang benar.
Di negeri kita yang serbamajemuk, ada Pancasila yang secara formal-politis diakui menjadi pegangan bersama dalam kehidupan nasional yang bertekad berbineka tunggal ika. Di dasar filosofis negara kita itu, “Ketuhanan Yang Maha Esa” ditetapkan menjadi sila yang pertama.
Sila pertama tersebut mengingatkan kita bahwa orang bisa saja menjadi ateis, mungkin pula tidak tahu apakah Tuhan eksis atau tidak, atau mengapa, tetapi toh percaya bahwa manusia tidak hidup dalam keadaan liar, bagai binatang di rimba tetapi dalam sejarah. Sejarah ini, kita semua tahu, dimulai dari Kristus dan sebagai dasarnya adalah ajaran-ajaran religiusnya (gospel).
Apakah sejarah ini? Ia adalah eksplorasi sistematik selama berabad-abad mengenai teka-teki kematian. Rupanya begitu menyadari bahwa dirinya dilahirkan untuk hidup, kesadaran manusia yang kedua langsung mengacu pada lawan kehidupan, yaitu kematian. Maka eksplorasi tersebut tadi sebenarnya bertujuan untuk mengatasi kematian itu. Itulah sebabnya orang menemukan mathematical infinity dan gelombang elektromagnetik, menciptakan simfoni dan terus menyempurnakan means dalam usaha menguasai potensi yang tersembunyi di dalam alam.
Nah, kita tidak akan dapat melangkah maju ke arah itu tanpa suatu keyakinan tertentu. Kita tidak akan mampu membuat penemuan-penemuan tanpa perlengkapan spiritual. Dan unsur-unsur dasar dari perlengkapan itu ada dalam ajaran-ajaran Kristus (gospel).
Apakah ajaran-ajaran itu? Pertama adalah cinta tetangga dan damai di antara sesama manusia, yang dalam dirinya merupakan bentuk suprima dari energi vital. Begitu ia mengisi hati-nurani manusia, ia akan melimpah ruah dengan kekuatannya sendiri. Kedua, berupa dua ideal dasar dari manusia modern, yaitu ide tentang free personality dan ide tentang hidup sebagai suatu pengorbanan. Tujuh abad kemudian kedua ideal dasar itu diperkokoh oleh ide penggunaan nalar (akal) dan buahnya, ilmu pengetahuan, sebagai daya kesinambungan, yang berasal dari ajaran-ajaran Islam. Tanpa ketiga ideal dasar tersebut, modern man is unthinkable.
Semua itu perlu kiranya dikemukakan secara eksplisit karena ia pernah tidak ada. Tidak pernah ada sejarah dalam makna ini di kalangan makhluk manusia purba. Yang ada adalah permusuhan, pertarungan berdarah, saling memangsa, nyaris tidak berbeda dengan kehidupan binatang buas di rimba belantara. Baru setelah kedatangan Kristus waktu dan manusia dapat bernapas bebas. Baru sesudah Dia manusia mulai hidup ke arah masa depan. Berbeda dengan tikus, manusia tidak mati di dalam got, tetapi di rumah dalam sejarah. Sementara usaha mengatasi kematian kian marak, efektif, ekstensif dan intensif, dia mati ketika berpartisipasi dalam usaha tersebut.
Nalar atau ‘aqala atau reason dalam konteks sejarah bukanlah otak, tetapi bekerjanya otak, yaitu daya berpikir dalam diri manusia, daya yang dengan memperhatikan alam sekitar memperoleh pengetahuan. Maka kata-kata yang berasal dari ‘aqala, dalam Al Quran, Kitab Suci Islam, dijumpai dalam lebih dari 30 ayat, yang mengandung perintah Allah agar manusia menggunakan nalar dan daya pikirnya.
Sama halnya dengan nalar, Al Quran memberikan tempat kedudukan yang terhormat pada ilmu pengetahuan. Melalui surat Taha, Allah mengajarkan Rasullah Muhammad SAW untuk mengatakan kepada-Nya: “Wakur rabbi zidni ilman’ – Katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku tambahlah ilmu pengetahuanku.
Sebagai ulasan terhadap bunyi ayat ini, pujangga Al Qurtubi berkomentar: “Bila masih ada lagi sesuatu yang jauh lebih terhormat daripada ilmu pengetahuan, Tuhan pasti akan memerintahkan Rasul-Nya untuk meminta lebih banyak lagi sesuatu tersebut, sama halnya dengan Dia memerintahkan Rasul-Nya untuk meminta lebih banyak lagi ilmu pengetahuan”.

Ilmu Pengetahuan
Mengingat di dalam keseluruhan Al Quran, Allah menyuruh Muhammad hanya meminta lebih banyak ilmu pengetahuan dan bukan supaya meminta lebih banyak lagi hal-hal yang lain, dapat dikatakan kiranya bahwa dalam anggapan Tuhan tidak ada yang lebih bernilai daripada ilmu pengetahuan itu. Itulah sebabnya mengapa Rasullah, menurut Ibn ‘Abd a-Barr, menyamakan tinta yang digunakan oleh sarjana dengan darah seorang pahlawan.
Selain untuk mendapatkan pemahaman yang baik mengenai makna dari ajaran-ajaran Ilahiah, ilmu pengetahuan sangat dipujikan dalam Al Quran karena ia melatih orang berpikir abstrak. Sedangkan kemampuan berpikir abstrak ini diperlukan untuk pembinaan kesadaran ber-Tuhan berhubung konsep ketuhanan menurut Islam adalah abstrak. Keabstrakan eksistensi dan kehadiran Tuhan inilah yang kiranya menjadi sebab utama mengapa kita lihat adanya kemunafikan dan kepura-puraan di kalangan para pemeluk Islam. Mereka bersandiwara terhadap Tuhan karena mereka lebih takut kepada sesama manusia yang dapat dilihat sehari-hari daripada kepada Tuhan itu sendiri.
Yang kita puja adalah Tuhan Yang Maha Esa, bukan agama. Agama yang kita anut sebagai petunjuk ke Tuhan yang dipuji itu tidak dengan sendirinya tambah mencerahkan melalui ejekan pada agama orang lain. Tuhan sendiri tidak merendahkan dan mengecilkan manusia. Dia mengingatkan supaya para pemeluk agama bertoleransi terhadap satu sama lain dengan mengatakan; “La ikraha fiddin” – tidak ada paksaan dalam beragama (A.Q, 2:256). Dia akan menimpakan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang tidak menggunakan akal (Surat Yunus, ayat 100).
Suatu perbuatan adalah temporal atau profan bila ia dilakukan dengan semangat yang mengabaikan sama sekali kompleksitas yang tak terhingga dari kehidupan (sejarah) yang merupakan latar belakangnya. Sebaliknya suatu perbuatan adalah spiritual bila ia diilhami oleh kompleksitas tersebut.
Menurut Islamologis dari Hyderabad dan guru besar di Universitas Istambul serta penterjemah Al Quran ke dalam bahasa Perancis, Muhammad Hamidullah, Surat Al Baqarah ayat 285 menunjukkan bahwa Al Quran memerintahkan orang Islam untuk percaya pada semua Kitab yang diturunkan oleh Tuhan kepada semua Rasul sejak Adam sampai Muhammad. Jadi Taurat tidak hanya Kitab dari kaum Yahudi, Al Kitab (Injil) tidak hanya Kitab dari umat Kristiani. Andai ada Kitab dari Adam atau dari Ibrahim, semua ini akan menjadi Kitab-Kitab yang diakui Islam sebagai Kitab Tuhan untuk semua umat manusia.
Dalam bukunya yang mengenai dan berjudul “Sejarah Hidup Muhammad”, Muhammad Husain Haekal, dengan mengutip karya Dermenghem tentang Isra’ dan Mi’raj mengatakan bahwa dalam perjalanan malam itu Rasullah tidak lupa singgah di Gunung Sinai – tempat Tuhan berbicara dengan Musa – dan di Betlehem, tempat Isa dilahirkan. Setibanya di Yerusalem, sebelum naik ke langit menemui Tuhan, dia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan Isa di puing-puing kuil Sulaiman. Di langit inilah, sebelum menghadap Tuhan, dia memberi hormat kepada Adam dan kemudian berturut-turut bertemu dengan Nuh, Harun, Musa, Ibrahim, Daud, Sulaiman, Idris, Yahya dan Isa. Pertemuan Rasulullah dengan para Nabi yang telah mendahuluinya ini kiranya dapat ditafsirkan sebagai perlambang dari kesinambungan dalam kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus dalam toleransi dan kerukunan beragama.
Dalam sejarah tercatat dukungan, bahkan kesediaan membela dari orang-orang yang beragama Kristiani pada Muhammad. Ada perlindungan dari Raja Habsyi (Etiopia) kepada para pengikut Nabi yang pergi menyelamatkan diri ke kerajaan di Afrika itu, sedang sang Raja adalah seorang Kristiani. Kemudian pengungsian Rasullah itu sendiri ke Kota Madinah. Jumlah pemeluk agama Islam yang hijrah dari Makkah ke Madinah kira-kira 500 orang. Penduduk Kota Madinah ketika itu diperhitungkan sejumlah 10.000 orang dan bagian terbesar bukan pemeluk agama Islam. Namun keseluruhan penduduk Madinah menerima kedatangan Rasulullah dan para pengikutnya dengan tangan terbuka.
Sewaktu dulu Islam untuk pertama kalinya masuk Indonesia, tidak ada catatan sejarah yang mengatakan ada perlawanan sengit terhadapnya dari penduduk setempat yang sudah menganut keyakinan religius lain. So, sesudah kini Islam tumbuh menjadi mayoritas mengapa lalu ada penganutnya yang menjadi takabur?

Penulis adalah alumnus Universite’ Pluridisciplinaires Pantheon’-Sorbonne

Monday, July 5, 2010

Pernyataan Menteri Tifatul Tidak Bijak Oleh: Andreas Anangguru Yewangoe

SUARA PEMBARUAN DAILY
23 Juni 2010


Pernyataan Menteri Tifatul Tidak Bijak

Oleh : Andreas A. Yewangoe

Heboh video porno yang ditengarai sebagai mirip dengan beberapa figur publik memenuhi udara negeri ini. Di mana-mana ada demam, seolah-olah kerusakan akhlak anak bangsa dibebankan kepada peristiwa dua-tiga orang public figure ini. Sementara tidak menafikan kenyataan yang memang memalukan ini, sudilah kita ingat bahwa apa yang disebut moral dan moralitas tidak dapat dibatasi hanya pada persoalan-persoalan seperti itu.
Masih banyak persoalan-persoalan besar yang menandakan, bahwa bangsa kita sedang terjebak dalam persoalan moral yang menguatirkan. Ambillah sebagai contoh persoalan korupsi yang tidak habis-habisnya itu.
Demikian juga hal kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, yang mestinya mengganggu rasa keadilan kita. Tulisan ini tidak akan masuk lebih dalam ke dalam persoalan video atau siapapun yang berada di belakangnya, sebab masih banyak hal yang tidak jelas.
Dalam tulisan ini, kita hanya ingin menyoroti pernyataan Menteri Tifatul Sembiring, yang dalam penilaian kami tidak bijak. Pernyataan beliau yang dengan agak simpel menganalogikan hal “kemiripan” gambar di dalam video dengan artis-artis tertentu, dengan pemahaman Alquran dan Alkitab itu mestinya tidak keluar dari mulut seorang menteri yang adalah pejabat negara.
“Jikalau yang mirip itu tidak dituntaskan, akan punya implikasinya,” kata beliau dalam pernyataan tertanggal 17 Juni 2010. Tentu saja pernyataan ini kita hormati, apalagi diucapkan sebagai seorang pejabat negara yang memang bertanggung jawab untuk itu. Yang tidak terpuji adalah, ketika beliau menganalogikan hal kemiripan itu dengan peristiwa penyaliban Kristus, atau yang dalam terminologi Islam disebut Nabi Isa.
Beliau mengatakan bahwa kalau tidak dituntaskan maka hal kemiripan itu akan punya implikasi panjang, seperti halnya perbedaan keyakinan yang ada di antara umat Kristiani dan umat Islam.

Inti Iman
Dengan melakukan analogi itu, beliau telah memasuki medan yang sukar-sulit, ditinjau dari aspek mana pun. Pernyataan ini bukan saja menyangkut hal-hal yang bersifat teologis, melainkan juga menyentuh inti iman umat Kristiani. Umat Kristiani percaya bahwa penyaliban Kristus adalah “bukti” betapa Allah bersungguh-sungguh dengan hukuman-Nya kepada orang-orang berdosa. Allah murka kepada manusia yang selalu cenderung berbuat dosa ini.
Di pihak lain, tidak ada manusia yang bisa bertahan di hadapan murka Allah ini. Maka, demikian keyakinan umat Kristiani, murka itu mestilah dipikul oleh Seseorang yang mampu memikulnya. Dialah Yesus Kristus. Tetapi, dengan itu nyata pula rakhmat dan kasih Allah yang tidak selalu memperhitungkan dosa dan kesalahan manusia. Di dalam terminologi umat Kristiani ini disebut anugerah. Bahwa Allah kembali berkenan kepada manusia, hal itu ditampilkan dalam Kebangkitan Kristus.
Tentu saja yang baru kita kemukakan ini adalah pernyataan-pernyataan teologis, bahkan pengakuan iman yang dalam banyak hal tidak bisa diverifikasi. Namun, sesuatu (pernyataan) yang tidak bisa diverifikasi, tidak dengan sendirinya ia kehilangan makna.
Bagi umat Kristiani, maknanya sangat mendalam sebab dengan demikian mereka akan selalu mengingat dengan rendah hati ketidaklayakan mereka di hadapan Allah, namun Allah melayakkan mereka. Rasanya di dalam agama-agama lain pun ada hal-hal yang tetap tidak dapat diverifikasi, namun tetap mempunyai makna mendalam bagi para penganutnya. Makna ini justru makin memberi kekuatan kepada para penganut agama tersebut untuk terus melanjutkan hidup. Bahkan di dalam menghadapi situasi-situasi sulit, makna itu dapat memberi mereka “solusi”.
Kita tidak akan memasuki ajaran Islam mengenai peristiwa penyaliban itu, yang secara sangat diametral menyangkalnya. Pasti ada alasan di belakang dari ayat-ayat Alquran ini, yang dalam batasan tulisan ini tidak mungkin kita membahasnya.
Tentu bagi umat Islam, apa yang dikatakan di dalam Alquran mengenai penyaliban Nabi Isa, adalah sesuatu yang mesti dipegang dengan teguh. Alhasil, tidaklah terlalu mudah untuk membandingkannya begitu saja dengan apa yang diimani umat Kristiani.
Mengingat akan kesulitan-kesulitan ini, kita menyerukan agar para pejabat negara tidak memasuki persoalan-persoalan teologis, dan iman penganut suatu agama tertentu, sebab akan menimbulkan persoalan ikutan yang tidak mudah. Tentu kita teringat betapa hebohnya dunia kita beberapa waktu lalu ketika orang secara sewenang-wenang membuat karikatur dari junjungan umat Islam.
Kita sangat menghormati apa yang dihormati umat beragama lain, sehingga pembuatan karikatur seperti itu kita kecam dengan keras. Bagaimana pun di dalam sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia yang sangat majemuk pula keyakinannya, tuntutan-tuntutan ekstra kepada para pejabat negara untuk sungguh-sungguh memahami apa yang diyakini umat beragama, kendati itu tidak selalu sejalan dengan keyakinan sendiri adalah keharusan.
Dengan tulisan ini, kita tidak berkeinginan menuntut permintaan maaf dari siapa pun termasuk Menteri Tifatul. Kita sangat yakin bahwa Allah sama sekali tidak membutuhkan pembelaan-pembelaan dari siapa pun, termasuk umat Kristiani. Yang kita minta hanyalah, supaya mereka yang dibebani jabatan-jabatan publik dapat lebih bijak dan berhati-hati di dalam mengeluarkan pernyataan-pernyataan. Kami akan selalu mendoakan Pak Menteri Tifatul Sembiring untuk mampu melaksanakan amanat rakyat yang tidak ringan ini dengan baik pada hari-hari mendatang.

Penulis adalah Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)

Wednesday, June 9, 2010

Lagi, Soal Dampak Asap Oleh: Joseph H. Gunawan

SUARA PEMBARUAN DAILY

Lagi, Soal Dampak Asap


Oleh Joseph Henricus Gunawan
Kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan muncul lagi. Asap kembali menyelimuti beberapa provinsi di Kalimantan dan Sumatera. Pada 2007 ini kemarau basah, kemarau dengan lebih banyak curah hujan, berkontribusi dalam penurunan jumlah titik api (hot spot) dibandingkan dengan 2006. Sampai September 2006, di wilayah Sumatera terdapat 38.393 titik api dan di Kalimantan 52.211. Secara keseluruhan total jumlah titik api sepanjang 2006 mencapai 49.560 di Sumatera dan 71.868 di Kalimantan. Sedang kini, hingga September 2007, tercatat 1.911 titik api di Sumatera dan 9.994 di Kalimantan.
World Development Indicator (WDI) 2007 menyatakan Indonesia sebagai penyumbang terbesar ketiga dalam pemanasan global di dunia, akibat menurunnya lahan gambut, kebakaran hutan, dan penggundulan hutan (deforestation). Bahkan, Wall Street Journal memberitakan penggundulan hutan itu bernilai 20 persen dari emisi karbondioksida (CO2) glo-bal yang dihasilkan oleh pembakaran hutan.
Tingkat deforestation di Indonesia tertinggi di dunia, yaitu 1,6 persen per tahun atau 1,8 juta hektare per tahun. Tak heran muncul tudingan yang menyudutkan Indonesia, di mana sekitar 51 kilometer persegi hutan hancur setiap hari.
Hutan Indonesia kini berada di urutan pertama dengan emisi karbon dari hutan dan perubahan fungsi lahan, mencapai 2,563 juta metrik ton CO2. Jadi, kendati jumlah hot spot berkurang dibandingkan dengan tahun sebelumnya, Indonesia masih menjadi emiter CO2 ketiga terbesar di dunia setelah AS dan China.
Kabut asap di Indonesia utamanya bersumber dari pembakaran hutan dan lahan gambut pada lokasi perkebunan rakyat, perkebunan swasta, dan pemegang hak penguasaan hutan (HPH). Pembakaran hutan masih dianggap jalan praktis, tercepat, termudah dan termurah dalam pembersihan lahan atau land clearing. Dalam pembukaan lahan untuk ditanami karet dan kelapa sawit itu terbukti lebih dilihat kepentingan ekonomi dan tidak dipedulikan kerusakan ekologi serta dampak sosialnya.
Hasil penelitian Wetland International (WI) 2006 menyebutkan, dari 1997 sampai 2006 sebanyak 1.400 juta ton emisi gas rumah kaca per tahun akibat dari kebakaran, penyusutan dan drainase lahan gambut. Kebakaran lahan gambut menjadi pemberi kontribusi paling besar terjadinya kabut asap yang merupakan sumber utama emisi karbon. Kalangan pengusaha kelapa sawit, pengusaha perkebunan dan pemegang izin HTI kerap kali menyepelekan berapa hektare vegetasi dan kompleksitas rantai kehidupan di wilayahnya yang hancur.
Pemegang konsensi perkebunan dan pengusaha minyak sawit juga berlaku sama, yakni mengesampingkan berapa luas daerah tangkapan air dan ruang terbuka hijau yang rusak dan hilang dari peta bentang alam yang pada akhirnya menghancurkan tutupan hutan alam.
Dampak Asap
Produk kimia pembakaran hutan dan lahan menghasilkan berbagai polutan udara, yaitu CO, CO2, NO, SO2, gas aldehida, ozon, partikel silika, partikel fluorida, alumina, karbonoksida besi, dan asap. Kerusakan lingkungan yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan bukan hanya bersifat lokal atau kerusakan ekosistem, juga kerusakan lingkungan global atau kerusakan ekosfer nyata dari ancaman pemanasan global dan lubang ozon.
Dengan menurunnya kadar ozon berarti sinar ultraviolet B makin bertambah sampai ke bumi dan menimbulkan terjadinya radiasi matahari, yang mengakibatkan percepatan proses penuaan, keriput, kegagalan fungsi mata, sistem kekebalan tertekan, dan kanker kulit.
Dampak asap dari kebakaran hutan dan lahan dihitung dengan kadar indeks standar pencemaran udara (ISPU), kerentanan rakyat seperti faktor umur, lingkungan, arah angin, dan kelembaban udara. Asap beracun yang sangat pekat berbahaya dan menurunkan kondisi kesehatan orang lanjut usia, ibu hamil, anak balita dan penderita penyakit saluran pernapasan atau infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), jantung, paru-paru sebagai organ tubuh yang langsung berhubungan dengan dunia luar. Polutan lingkungan akibat asap berpotensi menimbulkan sederetan penyakit, yakni radang hidung, emfisema, tenggorokan, kram perut, asma, muntah-muntah, kanker, penyakit paru kronik, dan radang bronkus kronik.
Berkaitan dengan upaya mencegah asap ini, pemerintah pusat berkewajiban menginstruksikan jajaran di bawahnya agar segera mentransformasikan pola pikir warga yang berisiko tinggi, yakni tidak membakar hutan untuk pembukaan lahan, tapi beralih ke arah yang lebih arif, yang ramah lingkungan, dan inovatif. Pemerintah perlu memperkenalkan metode-metode baru dalam pembukaan lahan dan ladang secara benar. Pemerintah juga harus secara berkesinambungan menyampaikan penyuluhan agar petani tradisional di sekitar hutan menghentikan sistem ladang berpindah-pindah.
Alam ini milik bersama, sehingga tanggung jawab pengelolaannya adalah tanggung jawab dan komitmen bersama. Kerusakan alam di satu tempat akan mempengaruhi lingkungan hidup di tempat lainnya. Kasus hot spot di kawasan Kalimantan dan Sumatera dengan ancaman pemanasan global yang nyata di depan mata seyogianya menyadarkan sekaligus mempertebal kesadaran bersama akan pentingnya pengelolaan alam secara terarah, konsekuen, dan konsisten.
Penulis adalah pemerhati lingkungan, alumnus University of Southern Queensland (USQ), Australia

Last modified: 10/10/07

Tuesday, May 11, 2010

Anomali RUU Halal Oleh: Joseph H. Gunawan

SUARA PEMBARUAN DAILY

Anomali RUU Halal


Joseph Henricus Gunawan

Saat ini, anggota DPR periode 2004-2009 yang tergabung dalam Panitia Kerja RUU Halal dan masa baktinya akan habis akhir September 2009, sedang mempercepat pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) atau RUU Halal. RUU ini, yang berisikan 12 bab, 44 pasal dan 75 ayat, diajukan Departemen Agama ke DPR untuk disetujui menjadi UU.
Timbul pertanyaan, apakah RUU Halal begitu penting untuk bangsa ini dalam mengatasi persoalan-persoalan pelik, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, dan ancaman krisis global yang masih belum pulih sepenuhnya, sehingga kehadirannya mesti dipaksakan dengan mengabaikan gemuruh suara penolakan dari berbagai lapisan masyarakat?
Indonesia, yang pluralis berpenduduk 231 juta jiwa pada 2009 memiliki 17.508 pulau, 33 provinsi, dan 300 kelompok etnik dan berbagai agama. Dari Sabang sampai Merauke, tiap etnik mempunyai kekayaan dengan beragam budaya, seni, ritual tradisi, adat, cara berpakaian, berbagai jenis produk minuman dan makanan kuliner yang berkembang selama berabad-abad, yang menunjukkan kemajemukan bangsa Indonesia, yang kini harus diseragamkan di bawah payung RUU Halal. Oleh karena itu, RUU Halal akan mengotak-ngotakkan masyarakat, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tidak mengherankan, pada kemudian hari akan membuka peluang munculnya masalah main hakim sendiri di dalam masyarakat disebabkan ketidaksepahaman.
Hingga saat ini, belum adanya kesepakatan lembaga mana yang menerbitkan sertifikasi halal menunjukkan adanya tarik-menarik kepentingan antarlembaga, yaitu antara Depag dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena UU Halal tersebut nantinya akan mengeliminasi peran lembaga audit sertifikasi halal Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI), yang sudah berpengalaman selama 20 tahun terakhir ini dan telah menerbitkan lebih dari 11.500 sertifikasi halal dari 80.000 jenis produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, produk kimia biologik, dan produk rekayasa genetika yang diizinkan beredar di Indonesia. Ke depan, rencananya Depag akan mengambil alih peran lembaga audit sertifikasi halal, yang selama ini dipegang dan dilaksanakan oleh LPPOM MUI dan Komisi Fatwa MUI.
RUU Halal ini tidak dapat disahkan hanya karena ego seseorang atau kepentingan kelompok tertentu yang berusaha melakukan penyeragaman, itu pun kalau tidak mau dikatakan terkesan "kejar setoran" atau "dipaksakan" karena pada akhir masa jabatan DPR 2004-2009. Substansi RUU Halal tidak menjamin iklim yang toleran dan terbuka bagi keragaman, di mana akan dapat bertumbuh serta ikut menyejahterakan bangsa. Oleh karena itu, kemajemukan bangsa ini harus diprioritaskan. Bangsa yang demokratis adalah bangsa yang berani melindungi kepentingan dan harus mengakomodasi setiap warganya.
Pada sisi yang lain, RUU Halal ini juga tidak dibutuhkan dan seharusnya dihentikan pembahasannya untuk meredam potensi konflik lintas etnik dan lintas agama secara horizontal yang tidak perlu terjadi. Apakah tidak ada masalah lain yang lebih urgen dan mendesak dari keterpurukan bangsa ini dari ekonomi yang semakin mengimpit masyarakat luas. Urgensi RUU Halal perlu dipertanyakan kembali, karena tidak memerlukan undang-undang baru dan sudah ada undang-undang yang mengatur dan dapat diaktifkan. Jaminan payung hukum untuk melindungi konsumen sudah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Pangan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berpandangan undang-undang yang ada saat ini sudah cukup. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berpandangan, proses pembuatan RUU Halal yang tertutup dan tidak transparan memunculkan polemik halal-haram, yang tidak berujung dan motifnya bernuansa ekonomi, di mana berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi serta sangat rawan diselewengkan, karena jumlah produk terlalu banyak untuk labelisasi halal.
RUU Halal tampaknya tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan menambah masalah baru, yaitu menghancurkan persatuan dan kesatuan Indonesia yang telah dibina sejak bangsa ini didirikan dan tidak sesuai dengan cita-cita luhur founding fathers, yakni seluruh bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Dan akhirnya, integrasi bangsa terancam dan terpecah-pecah.
Jaminan "Fairness"
Meminjam pandangan John Borden Rawls (1921-2002), ahli filsafat politik Amerika Serikat dalam A Theory of Justice menyebutkan, meskipun keadilan formal dibutuhkan, namun tidak sepenuhnya mendukung ataupun mendorong terciptanya suatu masyarakat yang tertata rapi atau well-ordered society. Menurut Rawls, suatu konsep keadilan atau undang-undang dapat mengatur masyarakat secara efektif jika undang-undang bersangkutan dapat diterima secara umum, sedangkan keadilan formal cenderung dipaksakan secara sepihak, khususnya oleh pembuat undang-undang atau pemerintah. Jadi, Rawls merumuskan bahwa sebuah teori keadilan yang lebih memberikan tempat pada kepentingan semua pihak yang terjangkau kebijakan publik tertentu.
Rawls menyakini bahwa sebuah teori keadilan yang baik adalah teori keadilan yang bersifat kontrak, yang menjamin kepentingan semua pihak secara fair. Keadilan dalam arti fairness hanya dapat diimplementasikan secara efektif di dalam suatu masyarakat demokratis. Pentingnya jaminan fairness di dalam suatu masyarakat pluralistis dan harus merupakan hasil dari suatu kesepakatan yang fair dan hasil dari suatu prosedur yang tidak memihak. Keadilan yang bersifat kontrak tersebut sebelumnya sudah dikembangkan oleh John Locke (1632-1704), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dan Immanuel Kant (1724-1804).
Jaminan fairness yang begitu penting itu ternyata tak dipenuhi dalam pembahasan RUU Halal, karena adanya lembaga resmi negara atau departemen lain yang tidak diturut-sertakan dalam membahas poin-poin vital dan krusial. Seharusnya DPR lebih toleran dan mementingkan masyarakat yang berbeda-beda dan majemuk ini.
Pemerintah telah merambah ranah privat agama yang seharusnya tidak perlu diatur oleh negara. Dengan kata lain, negara telah ikut campur tangan terhadap urusan intern agama dalam hal ini urusan halal-haram dan telah melampaui batas kewenangan negara.
RUU Halal diyakini terlalu jauh mengatur ke dalam individu pribadi masing-masing manusia, dinilai terlalu menyentuh ranah privat manusia dan sudah menerabas hingga ruang privat.
Penulis adalah Peneliti pada Reformed Center for Religion and Society, Jakarta, alumnus University of Southern Queensland (USQ), Australia

Last modified: 14/9/09