Tuesday, March 5, 2013

Ahok, Jangan Pecahkan Batu! Oleh Rhenald Kasali

SINDO

15 November 2012

Ahok, Jangan Pecahkan Batu!

Oleh Rhenald Kasali

Hampir semua media minggu ini menurunkan berita tentang rapat yang dipimpin Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Dinas Pekerjaan Umum (PU).

Berita ini ramai beredar di hampir semua media jejaring sosial dan dikomentari begitu luas. Akan berhasilkah Jokowi-Ahok memperbarui cara kerja unit pemerintahan yang ditanganinya? Setiap orang yang memimpin perubahan selalu punya cara. Ada cara “geram” bak membelah batu untuk mendapatkan pecahan-pecahan yang diinginkan, tetapi ada juga yang memilih cara memanaskan minyak yang membeku. Anda tinggal memilih, cara apa yang Anda lakukan.

Semua ada konsekuensinya dan ada masalahnya masing-masing. Namun satu hal yang jelas, Anda tak bisa mengontrol apa yang telah terjadi, tetapi Anda bisa menentukan bagaimana Anda bereaksi terhadap hal-hal yang telah terjadi. Reaksi Anda itulah pada akhirnya akan menentukan hasil apa yang bisa didapatkan dari perubahan yang Anda gulirkan. Mari kita lihat bagaimana Ahok membelah batu.

Membangunkan yang Tertidur

Seperti Anda, saya melihat Ahok melakukan rapat dengan Dinas PU di situs web video berbagi YouTube (diunggah 8 November 2012). Tanpa basa-basi, mantan Bupati Belitung Timur itu langsung mengarahkan anggaran Dinas PU untuk 2013 dipotong 25%. “Sebelum dimulai apakah pagu anggaran sudah dipotong 25% untuk biaya-biaya pembangunan ini, dan diduga dipotong 40% pun bisa. Kita potong 25% saja.

Saya kira fair, kami Gubernur dan Wakil Gubernur meminta 25% untuk kami dikembalikan dalam bentuk APBD, dipotong,“ kata Ahok. “Ini kita siarkan langsung di Youtube. Saya tidak ingin pembicaraan saya tidak diketahui semua orang. Semua jelas. Jadi, mulai hari ini pembahasan anggaran di DKI semua transparan, terbuka,” tegasnya dalam video itu.

Kalau pengurangan tersebut tidak dilakukan, dia berjanji akan membawa masalah ini ke KPK. “Kalau bapak-bapak ngotot tidak mau, saya akan taruh anggaran ini di website. Semua orang akan tahu. Akan saya minta KPK untuk periksa ini semua,” ujarnya. “Tidak usah berdebat. Kedua, saya hapus proyek itu. Kasih saya speknya. Saya akan bangun dengan uang operasional saya. Saya akan periksa kerjaan tahun-tahun lalu, saya akan buka koreng lama, saya akan proses ke KPK dan ke kejaksaan.”

Ahok juga mengatakan pihaknya akan mencopot seluruh pejabat Dinas PU hingga eselon III jika anggaran pembangunan tidak bisa disesuaikan. “Bukan mengancam. Atau yang kedua, pembangunan kita tunda, tapi kita copot sampai eselon III. Kita akan perang terbuka. PU tidak punya pilihan, yang jelas PU harus potong harganya,” tutur dia.

Sepintas tak ada yang salah. Sama seperti Anda, kita semua geram melihat cara kerja birokrasi yang dipercaya publik boros, tidak kritis, dan konon “mudah dibeli” oleh kelompok-kelompok tertentu. Politisi bermain, pengusaha preman ikut memeras, dan mereka membiarkannya. Begitulah jalan pikiran publik.

Memang selain melayani publik dengan servant leadership, “memecahkan batu” adalah cara yang lazim ditempuh orang-orang yang geram ketika mendapatkan kursi di pemerintahan untuk melakukan change! Batu yang dipecahkan adalah bagian dari manajemen mafia, yang berarti upaya memotong “tangan-tangan liar” yang membelenggu organisasi pemerintahan.

Di luar sana, seperti layaknya sebuah kekuatan mafia-like, para peserta tender sudah siap meraih kemenangan dengan badan-badan yang kuat. Ada ahli gebrak meja, ada yang bertugas melobi pejabat di kamar-kamar karaoke di sekitar area Mangga Besar dan daerah Kota, ada ahli hukum yang tak kalah gertak, dan ada “good guy” yang cukup senyum sana-sini di lapangan golf, atau jago-jago lain di gedung parlemen.

Semua saling terkait dan saling berbagi, melibatkan uang yang tidak sedikit. Bahkan sampai ke operator-operator di lapangan yang mengatur pembebasan lahan atau melibatkan ormas bayaran. Tak masalah “memecahkan batu” karena kita butuh pemimpin yang berani, yang heroik. Tapi benarkah ini efektif dalam melakukan perubahan?

Strategic Management

Dari CV-nya saya membaca Ahok pernah bersekolah di institut sekolah bisnis yang cukup terpandang. Jadi ia pasti tahu bagaimana mengambil langkah-langkah strategis. Semua itu harus dimulai dari selembar kertas, bukan dari omongan yang ditayangkan di YouTube. Omongan bisa berubah, tetapi strategi harus dibuat dengan argumentasi yang mendalam dan dibuat tertulis untuk dimengerti semua orang dalam lingkaran kerjanya.

Perubahan menuntut adanya birokrasi. Ibarat tidur beramai-ramai, mimpi kita harus sama sehingga jalannya juga sama. Iramanya beriringan. Tentu saja ini sulit. Menulisnya butuh waktu dan sakit kepala. Orang-orang Jepang yang sukses membangun berupaya memilih capek di depan dan bekerja dengan konsensus. Kalau di dalam sudah matang, baru digerakkan beramai-ramai. Lain strategic management, lain lagi change management. Di situlah “kegeraman” bermain. Letih, marah, gemas, dan ingin cepat melihat hasil.

Kata Jhon Kotter, upayakanlah “kemenangan-kemenangan jangka pendek”. Ahok pun membelah batu supaya segera ada hasil.Namun di layar video di YouTube saya melihat banyak birokratnya yang pura-pura tak menaruh perhatian. Asyik melihat-lihat kertas, bingung, tak berani berdebat, melihat BB, pasif, siap menerima nasib, atau ada kepura-puraan?

Saya tidak tahu persis. Tapi bukan birokrat namanya kalau orientasinya bukan komando. Tapi change management bukan war management yang asal gempur. Ahok harus berpikir lebih strategis, bukan sekadar memenangi pertempuran. Jenderal yang hebat bisa kehilangan satu dua battle field, tetapi akhirnya ia harus bisa memenangi perang. Nah apa jadinya bila cara membelah batu kita pakai?

Memanaskan Minyak

Di Samarinda bulan lalu, Elprisdat M Zein,Ketua Dewan Pengawas TVRI, memaparkan rencana-rencananya untuk meremajakan organisasi “tua” yang tengah ngos-ngosan itu. Di depannya duduk jajaran direksi, anggota Dewan Pengawas, dan para kepala stasiun yang dulu Anda sering lihat di layar kaca. Bedanya mereka kini sudah sangat berumur dan wajahnya tak seterkenal di masa lalu. Tapi dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan saat saya memaparkan cara menghadapi perubahan, suara mereka yang berwibawa masih saya kenali.

Hanya saja, mohon maaf, di mata anak-anak muda TVRI yang saya temui, sebagian besar orang-orang tua dianggap feodal, tak mau mendengarkan, sudah ketinggalan zaman, tidak terbuka terhadap diskusi, dan tentu saja iklim ini sangat bertentangan dengan industri yang mereka geluti: industri kreatif. Elprisdat yang mantan penyiar, produser, dan eksekutif di ANTV bukan tidak tahu itu.

Bedanya, ia menuangkan semua masalah itu di atas kertas dan membangun koalisi dengan orang-orang yang berada di dalamnya. Berbeda dengan cara Ahok membelah batu, Elprisdat menyatakan kepada saya bahwa ia tengah “memanaskan minyak yang membeku”. “Kalau membelah batu, maka residunya akan terasa di pojok dan residu-residu itu merasa terancam karena akan dibuang. Saya memilih memanaskan minyak agar semua bisa ikut berperan menghadapi perubahan.”

Saya ingin mengajak Ahok berpikir lebih strategis karena saya yakin Ahok mewakili kegemasan kita semua. Tapi kita perlu mengingatkan Ahok, cara yang ditempuh bisa rawan bagi organisasi. Sudah sering kita saksikan perubahan yang dilakukan dengan cara membelah batu berujung pada kesulitan demi kesulitan, bahkan sangat dialektis.

Kasusnya cukup banyak. Alih-alih melakukan sintesis kreatif, perubahan dengan cara ini justru menjadi sangat problematis karena kurang inspiratif ke dalam dan tak menampung partisipasi internal. Ahok perlu sedikit bersabar agar aparat-aparatnya berperang bersama dirinya melawan para mafia. Cara membelah batu memang heroik, tetapi bisa berakibat mereka akan bergabung bersama-sama para mafia melawan kita. Musuh perubahan itu bukanlah anak buah yang sangat bermain, melainkan yang di luar sana.

Kalau tidak berhati-hati perubahan akan berputar bak lingkaran setan seperti yang dapat Anda lihat dalam buku Change yang saya tulis 2005 lalu. Cara itu antara lain pernah ditempuh para direksi TVRI beberapa tahun lalu yang berakibat perubahan menjadi kandas dan perseteruan tak pernah berhenti. Mereka hanya sibuk berkelahi, bukan memperbaiki. Kini TVRI memang dalam fase baru perubahan.

Cara yang ditempuh bukan lagi membelah batu, melainkan memanaskan minyak yang membeku. Memang, ia tak lari sebanding RCTI, SCTV, Metro TV, atau TV One, tetapi ia pasti akan berubah. Tanpa perhatian, tetapi semua kelak akan ikut. Ahok perlu berefleksi agar jangan hanya fokus pada pemenangan pertempuran, melainkan memenangi peperangan.

Penulis adalah Ketua Program MM UI

Friday, February 1, 2013

Kinerja Program KB Nasional Jeblok Oleh Singgih B Setiawan

Suara Karya

28 Januari 2013

Kinerja Program KB Nasional Jeblok

Oleh Singgih B Setiawan

Jeblok. itulah kata yang tepat untuk menggabarkan kinerja program Keluarga Berencana (KB) Nasional selama lima tahun terakhir ini. Betapa tidak! Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan kinerja program KB Nasional selama lima tahun (2007-2012) berjalan stagnan, tidak menunjukkan peningkatan.

Sejumlah indikator krusial yang ditargetkan pada tahun ini gagal tercapai. Akibatnya, target pembangunan milenium (MDGs) pada 2015 nanti hampir mustahil dapat diwujudkan.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) merupakan survei statistik kesehatan/kependudukan yang paling diakui datanya secara internasional.

Survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap lima tahun sekali dan SDKI 2012 ini telah dibeberkan ke publik pada akhir November 2012 lalu.

Padahal sebelumnya, Indonesia sempat mencatat puncak keberhasilan program pengendalian penduduk melalui program KB sejak tahun 1970-an. Kala itu, Indonesia sudah dianggap sebagai negara yang berhasil dalam bidang pengendalian penduduk. Bahkan Indonesia diminta membantu mengajari negara-negara lain yang belum berhasil program kependudukannya.

Namun, setelah reformasi, program KB berantakan. Program KB ini kemudian direvitalisasi pada tahun 2007. Dengan adanya revitalisasi program KB, Indonesia diharapkan dapat terhindar dari ancaman ledakan penduduk. Namun apa yang terjadi, hasil sensus penduduk tahun 2010 mengumumkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 237,6 juta jiwa atau 3 juta lebih tinggi dari angka proyeksi penduduk.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang diberi mandat untuk menekan tingkat pertambahan penduduk kemudian melancarkan program-program mulai dari kampanye media sampai dengan menjalin kerja sama dengan TNI dan lembaga keagamaan hingga membuat program Generasi Berencana (GenRe).

Kerja keras selama 5 tahun yang dilakukan BKKBN ternyata pencapainnya tidak seperti yang diharapkan. Target yang dicanangkan banyak yang tidak tercapai.

Terdapat tiga indikator utama yang menunjukkan perjalanan program KB selama lima tahun belakangan ini gagal total. SDKI 2012 mencatat, rata-rata dari 100 perempuan usia subur yang menjadi peserta KB aktif (contraceptive prevalence rate -CPR) hanya mencapai 61,9 persen.

Kendati hasil ini mencapai peningkatan sekitar 0,04 persen dibanding hasil CPR pada SDKI 2007, namun hasil ini jauh dari target yang dicanangkan pada tahun 2012, yaitu CPR harus mencapai minimal 62-63 persen.

Selain CPR, BKKBN juga gagal memenuhi target penurunan rata-rata wanita usia subur yang melahirkan anak (total fertility rate - TFR). SDKI 2012 mencatat TFR pada tahun ini masih berada di kisaran 2,6 per perempuan usia subur.

Ini artinya rata-rata TFR 2012 masih sama dengan 2007 dan gagal mencapai target 2,4 pada tahun 2012. Dengan TFR 2,6, maka pasangan usia subur di Indonesia rata-rata masih memiliki 3-4 anak.

Dengan kondisi yang dihadapi pada saat ini, hampir mustahil target TFR 2,1 pada 2015 nanti bisa diraih. Pasalnya untuk mencapai TFR 2,1, syaratnya pemerintah harus bisa meningkatkan CPR minimal 68. Untuk menaikan CPR dari 61,9 menjadi 68 dalam jangka waktu sekitar kurang dari tiga tahun sangat berat sekali. Indikator yang paling menunjukkan pelaksanaan KB gagal dijalankan pemerintah, adalah tidak terlayaninya pasangan usia subur yang ingin ber-KB (unmeet need) yang gagal diturunkan sesuai target.

SDKI 2012 menunjukkan unmeet need pada tahun ini mencapai 8,9 persen atau hanya turun 0,02 persen dari SDKI 2007 yaitu 9,1 persen. Dengan raihan seperti ini, lagi-lagi secara teori mustahil untuk mengejar target unmeet need pada 2015 menjadi 5 persen.

Berbagai kegagalan pencapaian target pada tahun ini menunjukkan bahwa metode pelaksanaan KB yang diterapkan pada saat ini tidak tepat. Dia mencontohkan di sejumlah daerah, CPR-nya mengalami kenaikan, tetapi TFR-nya juga ikut naik. Ini aneh, peserta KB bertambah, tetapi tingkat kelahiran juga tinggi.

Dari penelusuran bisa ditarik kesimpulan, pemerintah kabupaten/kota gagal membina peserta KB baru untuk terus bertahan ber-KB, sehingga peserta putus KB di tengah jalan (drop out rate) tinggi.

Ke depan, agar KB bisa kembali bangkit, tidak bisa lain peran pemerintah daerah harus lebih ditingkatkan. Pasalnya, sejak otonomi daerah diberlakukan, sesuai undang-undang, urusan KB mutlak menjadi urusan kabupaten/kota. Saat ini kewenangan pusat untuk mendorong pelaksanaan KB di daerah terbatas. Pusat bisa memberikan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada daerah, namun DAK itu hanya boleh diperuntukan bagi sarana dan prasarana.

Untuk itu diperlukan alokasi dana dari APBD daerah untuk operasional pelaksanaan KB. Misalnya, pusat memberikan bantuan motor pada PLKB untuk bertugas, namun untuk bensin, tranportasi, dan lain-lain anggarannya harus dari daerah.

Sudah saatnya dilakukan sejumlah perubahan strategi dalam pelaksanaan program KB Nasional ke depan. Semoga!

Saturday, January 19, 2013

CHINA Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono

SINDO

20 Januari 2013

CHINA

Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono

Belum lama ini, tepatnya pada 9 Januari 2013, calon presiden Farhat Abbas menulis di Twitter-nya “Ahok sana sini protes plat pribadi B 2 DKI dijual polisi ke orang umum katanya!  Dasar Ahok plat aja diributin!   Apapun platnya tetap C*** ”.

Tulisan di Twitter ini langsung menangguk reaksi keras masyarakat, karena dianggap rasialis. Anton Medan, mantan narapidana yang sekarang jadi mubalig kondang, yang kebetulan juga keturunan China, bahkan akan tetap menuntut capres Farhat, walaupun Farhat sudah meminta maaf (lewat Twitter juga) dan Wagub Basuki (alias Ahok) sendiri tidak mempermasalahkannya. ”Ucapan Farhat Abbas merupakan kebencian terhadap etnis tertentu,” kata Anton di Markas Polda Metro Jaya. ”Karena Farhat tidak ada itikad baik, maka saya laporkan ke Polda Metro Jaya.”

Rasialisme bukan barang baru di Indonesia. Khususnya terhadap etnik China. Pada tahun 1741–1743, sebenarnya pasukan orang China pernah bersatu dengan tentara Jawa dalam memerangi Belanda. Pasukan gabungan China dan Jawa pernah mengepung Semarang dan hampir merebut pusat kekuatan Belanda di Jawa Tengah pada waktu itu, walaupun akhirnya pasukan China-Jawa harus menyerah karena persenjataan Belanda yang lebih canggih, dan juga karena Belanda dibantu oleh tentara Madura.

Sejak itu, Belanda lebih cerdik dalam bermain politik. Mereka menerapkan politik adu domba (devide et empera) yang kondang itu. Para bangsawan kerajaan Jawa di Mataram dibujuk sedemikian rupa, sehingga mereka terpecah menjadi empat kerajaan kecil-kecil (sampai hari ini masih ada dua “kerajaan”, di Yogyakarta dan di Surakarta). Di sisi lain, etnik China diberi konsesi dalam perdagangan dan pemimpin-pemimpin mereka diberi pangkat militer Belanda (letnan, kapten, mayor).

Bahkan sejak tahun 1818, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan UU segregasi yang membedakan tiga kelas warga negara, yaitu orang kulit putih sebagai WN kelas pertama, keturunan Timur asing sebagai WN kelas II, dan terakhir orang pribumi sebagai WN kelas III. Kelas-kelas kewarganegaraan itu membedakan fasilitas dan hak yang diberikan oleh negara, mulai hak atas pendidikan sampai hak untuk menggunakan sarana umum.

Keturunan Timur Asing (China, Arab, dan India) mempunyai hak yang hampir serupa dengan orang Eropa, sementara hak-hak orang pribumi sangat dibatasi. Misalnya keturunan asing boleh membuat sekolah sendiri yang setara dengan sekolah Belanda, bahkan boleh masuk sekolah Belanda, sementara di kalangan pribumi hanya keturunan bangsawan saja yang boleh masuk ke sekolah-sekolah Belanda.

Diskriminasi rasial ini seharusnya lenyap bersamaan dengan Proklamasi RI dan UUD 1945 yang menjamin hak yang sama untuk semua WNI, tanpa membedakan ras, suku, dan golongan. Tetapi UU tidak sama dengan praktik. Walaupun pemerintah Soekarno pernah mempunyai menteri-menteri keturunan China dalam kabinet-kabinetnya, dan Presiden Soeharto banyak bekerja sama dengan pemodal-pemodal keturunan China, diskriminasi tidak pernah berhenti.

Mulai pengurusan KTP sampai paspor dan izin usaha, selalu ada saja yang membuat WNI keturunan China harus lebih repot dari pada WNI asli (lebih banyak dokumen yang harus disiapkan, lebih mahal pungutan liarnya, perlakuan kasar sampai kurang ajar dari petugas). Mau masuk PTN (perguruan tinggi negeri) pun dijatah, tidak boleh lebih dari 10% WNI keturunan China yang bisa diterima di PTN. Jadi tentara atau polisi? Jangan mimpi.

Malah, agama dan budaya China pun pernah dilarang. Karena alasan-alasan politik, sejak 1966, kelenteng-kelenteng ditutup (sebagian bertransformasi menjadi wihara Buddha), dan koran-koran beraksara China dilarang. Waktu saya masih SD sampai SMA (sebelum G30S), setiap tahun saya menikmati acara Imlek dan Capgomeh di rumah teman-teman ayah saya. Lengkap dengan atraksi barongsai dan liong. Tetapi sejak 1966, semua lenyap bagaikan ditelan bumi.

Baru di masa pemerintahan Gus Dur, kebudayaan China dihidupkan lagi. Imlek dijadikan hari libur nasional. Setiap Imlek, barongsai dan liong beratraksi di mal-mal (sebagian pemainnya pribumi), bahkan sebuah stasiun TV menayangkan pelajaran bahasa Mandarin setiap hari. Walaupun demikian, prasangka dan stereotipe terhadap China tidak juga berhenti. Anehnya hal ini tidak terjadi pada keturunan Arab dan India yang dulu juga termasuk Timur asing.

Sebagian pakar menyatakan bahwa penyebabnya adalah pekerjaan orang China (terutama di Jawa dan Sumatera) yang bersifat pelayanan, khususnya dalam bidang distribusi/pengecer barang-barang kebutuhan pokok. Karena itu, orang China lebih banyak kontak dengan masyarakat pribumi papan menengah ke bawah, ketimbang orang Arab dan India yang bisnisnya lebih berkaitan dengan masyarakat papan menengah ke atas (bisnis properti dan bahan pakaian).

Salah satu stereotipe adalah seperti yang diungkapkan dalam kasus capres Farhat Abbas tersebut di atas. Kata “China”, untuk orang Indonesia tampaknya tetap merupakan ekspresi ketidaksenangan, bahkan kebencian pada etnik itu. Kehadiran Undang-Undang 40 Tahun 2008, khususnya Pasal 4 huruf (b) ayat (1) tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, tampaknya tidak berpengaruh apa-apa terhadap sikap rasialis itu. Sehingga kata C**** pun muncul dalam Twitter-nya capres Farhat.

Sudah barang tentu kata itu langsung memicu kemarahan publik yang antidiskriminasi, termasuk Anton Medan. Tetapi sebetulnya mengapa orang mesti marah? Di mana-mana China selalu dipanggil China. Negaranya bernama Republik Rakyat China. Di kota-kota besar seluruh dunia, selalu ada China Town (yang penuh restoran dan toko-toko yang menjual barang-barang eks atau khas China), dalam bahasa Inggris dipanggil Chinese (dilafalkan “Cainis”), dalam bahasa Belanda juga Chinese (dilafalkan “Shines”), dan orang Malaysia menyebutnya China juga.

Di Indonesia, kita tidak menyebutnya China, karena adanya konotasi (makna tersembunyi) pada kata itu, yaitu prasangka atau stereotipe itu tadi. Orang Indonesia percaya bahwa orang Indonesia keturunan China tidak akan tersinggung kalau dipanggil Tionghoa, atau meniru lafal bahasa Inggris “Cainis” (Chinese). Semasa saya kecil di Jawa Tengah, sebutan China masih netral, tetapi dalam bahasa gaul anak-anak, ada kata “China loleng” yaitu China yang hina, kotor, jijik, dan sebagainya.

Sebutan yang negatif itu tidak bisa diberlakukan pada kata “Tionghoa” atau “Caina”.Tidak ada kata “Tionghoa loleng”, apalagi “Caina loleng”. Karena itu, lebih aman untuk menyebut China dengan Tionghoa atau Caina (negara) atau Cainis (orang) saja. Celakanya, kebiasaan menghindari penggunaan kata “China” itu menurut kaidah psikolinguistik, justru mengakui bahkan memperkukuh makna diskriminatif dari kata “China” itu sendiri, yang seharusnya bermakna netral.

Maka siapa pun yang ingin melecehkan orang lain dengan prasangka rasial seperti Farhat, dengan mudah menemukan ekspresi yang tepat: China.Tambah celaka lagi, lafal “Caina dan Cainis” digunakan oleh para penyiar berita dari stasiun-stasiun TV. Saya kenal dengan salah satu presenter itu dan pernah saya BBM dia, ketika saya melihat dia membaca berita dan melafalkan “Caina”. “Kenapa ngagak kamu bilang CINA saja, sih?”, tanya saya di BBM. Jawabnya, “Instruksi dari pimpinan.”

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.