Monday, July 4, 2011

Polisi dan Setetes Rasa Aman Oleh: Victor Silaen

Investor Daily

11-12 Juni 2011

Polisi dan Setetes Rasa Aman

Oleh Victor Silaen

Prof Robert I Rotberg, direktur Program Konflik John F Kennedy School of Government, Harvard University, dalam sebuah seminar di Jakarta, beberapa waktu silam pernah mengingatkan bahwa Indonesia akan menghadapi masa-masa sulit dalam beberapa tahun mendatang. Salah satu penyebab kesulitan tersebut adalah lemahnya sistem penegakan hukum.

Indonesia, menurut Robert I Rotberg, berada dalam zona bahaya dari sebuah negara bangsa lemah yang bergerak menuju negara bangsa gagal. Indonesia akan selamat dan terlindungi dari bahaya tersebut jika memiliki kepemimpinan yang kuat dan visioner serta ada komitmen dari dunia internasional untuk membantu Indonesia dalam bidang ekonomi dan rekonstruksi sosial, khususnya dalam upaya penegakan hukum.

Rotberg menyebut indikator negara kuat, antara lain, tingkat keamanan dan kebebasan yang tinggi, perlindungan lingkungan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi, sejahtera, dan damai. Sebaliknya, negara-negara yang disebut gagal cenderung menghadapi konflik berkepanjangan, selalu ada rasa tidak aman, adanya kekerasan komunal maupun kekerasan negara, permusuhan karena etnik, agama, ataupun bahasa, teror, jalan-jalan atau infrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak.

Lebih tegas lagi, dalam bukunya, The Nature of Nation State Failure (2002), Rotberg menyebutkan negara gagal berindikasi, antara lain, keamanan rakyat yang tak bisa dijaga, konflik etnis dan agama yang tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus menipis, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri.

Praktik Radikalisme

Pertanyaannya, layakkah Indonesia dikategorikan sebagai negara gagal? Selama ini banyak pihak membantahnya, meski sebagian besar kriteria di atas relatif terpenuhi.

Baiklah, Indonesia kini memang jauh lebih baik dalam hal pembangunan ekonomi dan kestabilan politik. Tapi, Indonesia terbukti belum bersungguh-sungguh dalam menegakkan supremasi hukum. Di lapangan masih sering kita jumpai praktik oknum aparat polisi yang melakukan pembiaran di saat-saat rakyat membutuhkan perlindungan.

Harus kita akui selama ini polisi hebat dalam memburu para teroris dan mengawal demo-demo para mahasiswa maupun aktivis pro-demokrasi dan HAM. Yang teraktual, polisi juga sigap melacak siapa pengirim layanan pesan singkat (SMS) fitnah terhadap Presiden SBY.

Profesional sekali. Tapi herannya, mengapa polisi lesu darah untuk menindaklanjuti pengaduan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, 12 Februari 2010, soal dugaan pemalsuan surat MK oleh mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Andi Nurpati?

Mengapa pula di saat-saat menghadapi kelompok warga yang gemar melakukan kekerasan (vigilante), polisi malah nyaris tak berdaya?

Fenomena itulah yang terjadi di Cirebon baru-baru ini. Ceritanya sekelompok massa radikal yang menamakan dirinya Gerakan Anti Permurtadan dan Anti Penyesatan (GAPAS) memaksa umat kristiani yang hendak merayakan Paskah dan syukuran kelulusan siswa di Gedung Gratia, 16 Mei lalu, untuk membatalkan niatnya. Padahal, pihak panitia sudah mengantungi surat izin resmi dari kepolisian setempat. Namun, demi alasan keamanan, Kapolres Cirebon Kota Asep Edi Suheri yang datang ke lokasi meminta agar acara tersebut dibubarkan.

Inilah yang patut kita sesalkan. Ini bukan untuk pertama kali. Polisi kerap bersikap tak konsekuen sekaligus tak menghargai keputusan (surat izin) yang mereka buat. Bagaimana bisa menjadi aparat penegak hukum yang baik jika keputusan sendiri tak dihargai.

Sebaliknya, kerap kita jumpai di lapangan di mana aparat membiarkan saja sebuah acara berlangsung demi melayani tuntutan sekelompok massa yang bertentangan dengan hukum. Bagaimana mungkin menjadi aparat penegak hukum yang baik kalau kebenaran dilecehkan secara sengaja.

Tak pelak, Setara Institute mengecam keras sikap polisi yang teramat lunak terhadap kelompok radikalis itu. Ketua Badan Pengurus Setara Hendardi menyatakan, ketundukan polisi pada kelompok vigilante untuk kesekian kalinya telah merendahkan martabat aparat penegak hukum dan melembagakan impunitas pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

Padahal, radikalisme semacam itu hanya membutuhkan satu langkah lagi menuju terorisme. Pembiaran radikalisme niscaya melahirkan kelompok yang dengan penuh keyakinan melakukan terorisme. Bentuk radikalisme seperti itu nyata eksis di sekitar kita. Pembiaran oleh negara sama saja dengan menyemai bibit-bibit baru kelompok radikalisme tumbuh dan berkembang.

Melecehkan Kebenaran

Kita menyesali kebenaran yang telah kerap dilecehkan di negara ini. Tanpa kebenaran, keadilan sejati tak mungkin tercapai. Teolog Dorothy Marx dalam bukunya, Kebenaran Meninggikan Derajat Bangsa (2006), menulis demikian, “Saya merasa the loss of truth merupakan problema dunia yang paling besar, bahkan juga merupakan problema Indonesia yang paling berat.”

Selanjutnya, dia menambahkan, setiap bangsa yang mengalpakan atau menyepelekan fakta tersebut (padahal mereka ingin maju dalam pembangunan negaranya; terutama ekonomi dan derajat pendidikannya, dengan memperketat militer serta pengamanannya, meningkatkan efisiensi hukum, HAM, dan keadilan), harus ingat, bahwa tanpa hal yang paling utama, yaitu dasar kebenaran dan keadilan, negara tersebut pasti akan mengalami banyak kekecewaan, frustrasi, dan kesulitan. Bahkan diperkirakan kesulitan akan terus meningkat.

Sementara itu, filsuf terkemuka Santo Agustinus, pernah berkata, “Apalah artinya negara yang tak memiliki keadilan selain hanya gerombolan perampok di mana-mana.”

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan