Tuesday, December 20, 2011

AKSI TEROR DAN KRISIS GLOBAL Oleh: Joseph H. Gunawan

SUARA PEMBARUAN DAILY

26 September 2011

AKSI TEROR DAN KRISIS GLOBAL

Joseph Henricus Gunawan

Pada Ahad 25 September 2011, Indonesia kembali dikejutkan aksi teror dengan bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo. Ledakan bom ini makin memperpanjang daftar ledakan bom di Indonesia.

Pada 1 Agustus 2000, bom meledak di Kedubes Filipina memakan korban 2 orang tewas dan 21 luka-luka. Pada 13 September 2000, peledakan di Bursa Efek Indonesia dengan 15 orang tewas dan puluhan terluka. Pada 24 Desember 2000, serangkaian bom meledak pada perayaan Natal di beberapa kota, 17 orang tewas dan sekitar 100 terluka. Pada 22 Juli 2001, peledakan di Gereja Santa Anna dan Gereja HKBP di kawasan Kalimalang, 5 korban tewas. Pada 12 Oktober 2002, dua bom meledak di Paddy’s Pub dan Sari Club, Kuta menewaskan 202 orang dan 209 orang terluka berat maupun ringan. Pada 5 Desember 2002, peledakan di restoran McDonald’s, Makassar menewaskan 3 orang.

Pada 5 Agustus 2003, bom meledak di kawasan Hotel J. W. Marriott menewaskan 12 orang dan 150 orang terluka. Pada 10 Januari 2004, bom meledak di Kafe Karoke, Palopo dengan 4 orang tewas. Pada 9 September 2004, bom meledak di Kedubes Australia menewaskan 10 orang dan 100 orang terluka. Pada 13 Nopember 2004, bom meledak di kantor polisi, Sulawesi dengan 5 orang tewas dan 4 orang terluka. Pada 28 Mei 2005, bom meledak di Tentena, Poso dengan 22 orang tewas. Pada 1 Oktober 2005, peledakan di Kuta menewaskan 23 orang dan 196 luka-luka. Pada 17 Juli 2009, bom meledak di Hotel J. W. Marriott dan Hotel Ritz-Carlton, 9 orang tewas dan 53 orang terluka terdiri dari 37 WNI dan 16 WNA. Pada 15 April 2011, bom bunuh diri meledak di Masjid Azzikra Mapolresta Cirebon yang melukai Kapolresta Cirebon, AKBP Herukoco.

Kemiskinan dan Krisis Global

Meminjam pandangan dari Francis Fukuyama, seorang profesor ekonomi politik dan filsuf Amerika Serikat bahwa kemiskinan, stagnasi ekonomi dan politik otoritarian berintegrasi menciptakan potensi lahan bagi terorisme. Menurut Jurgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog Jerman, terorisme timbul dari peningkatan ketidaksetaraan yang disebabkan oleh akselerasi efek trauma modernisasi yang telah menyebar ke seluruh dunia.

Masalah kemiskinan masih tetap sangat krusial. Pada tahun 2011, BPS menghitung jumlah penduduk hampir miskin tahun 2011 bertambah 5 juta jiwa dibandingkan tahun 2010 yang terdiri atas 1 juta jiwa yang ”naik status” dari miskin ke hampir miskin sedangkan 4 juta jiwa ”turun status” dari tidak miskin ke hampir miskin menjadi total 27,12 juta jiwa atau 10,28% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237.556.363 jiwa berdasarkan sensus penduduk tahun 2010. Padahal pada tahun 2009, mengacu data BPS, jumlah penduduk hampir miskin ”hanya” sebanyak 20,66 juta jiwa atau 8,99%. Bagi Habermas, globalisasi berperan krusial dan signifikan vis a vis terorisme. Globalisasi telah mempercepat reaksi defensif dibarengi rasa takut. Habermas mendefinisikannya sebagai pencabutan cara-cara hidup tradisional dengan jalan kekerasan yang disebabkan oleh modernisasi.

Jacques Derrida (1930-2004), seorang filsuf Perancis dalam pemikirannya, terorisme merupakan reaksi mekanisme defensif yang muncul dari modernisasi dan suatu gejala elemen traumatis yang intrinsik dan kekacauan otoimun yang mengancam kehidupan demokrasi partisipatoris, sistem hukum yang menanggungnya, serta pemisahan dimensi agama dan sekuler secara tajam.

Aksi teror ledakan bom bunuh diri di Solo membuktikan de-radikalisme belum efektif dan pudarnya nilai-nilai Pancasila seperti nilai-nilai kehidupan kebersamaan, sikap tepa selira, kerukunan, nasionalisme, tenggang rasa, pluralisme, multikulturalisme serta toleransi beragama di Indonesia dalam mengantisipasi aksi teror dan radikalisme dalam bentuk, motif, dan alasan apapun.

Lebarnya perbedaan ketimpangan ekonomi antara kelompok miskin dan kaya yang menyolok menimbulkan dan menciptakan lingkungan yang dapat membangkitkan dan menyebabkan kekerasan diantara kalangan ekonomi masyarakat lainnya. Adalah fakta bahwa disparitas itulah yang menambah daya penarik bagi teroris untuk mengorganisir pemberontakan dengan kekerasan yang dilaksanakan oleh kelompok miskin (Lee Griffith, The War on Terrorism and the Terror of God, 247).

Aksi teror ledakan bom bunuh diri di Solo dikhawatirkan akan mengancam serta mengurangi kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia dengan realokasi investasi. Selama ini Indonesia dijadikan sebagai pasar yang paling potensial di kawasan ASEAN dan membuktikan iklim investasi yang kurang kondusif di tanah air. Apalagi saat ini Indonesia tengah bersiap mengantisipasi dampak berantai krisis global di zona euro dan AS yang disebut krisis sistemik oleh Presiden Otoritas Pasar Uang Perancis, Jean-Pierre Jouyet. Krisis sistemik yang berakar dari posisi utang Jepang yang mencapai 200% dari Produk Domestik Bruto (PDB), disusul buruknya ”krisis utang kembar” melanda AS dan zona euro yang diperparah penurunan peringkat bank-bank di Yunani, Italia, Spanyol, dan Slovenia di mana tingkat utang melonjak ke level tertinggi dalam 14 tahun terakhir yang berpotensi menimbulkan efek domino di Uni Eropa.

Pasal 28A, Pasal 28D ayat 2, Pasal 28H ayat 1, Pasal 28H ayat 2, dan Pasal 34 UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa negara menangani kelompok-kelompok miskin tersebut. Selain peraturan perundangan tertinggi negara tersebut di atas, juga terdapat peraturan-peraturan yang telah disepakati yang mengatur tentang keberadaan kelompok miskin ini. Dalam kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.11 Tahun 2005 Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2.

Indonesia memerlukan pembangunan secara terarah, terfokus, terpadu, dan terintegrasi untuk lebih memacu pertumbuhan ekonomi. Keamanan merupakan salah satu aspek signifikan dalam menjamin kenyamanan dan menarik investor melihat prospek perekonomian global yang masih suram. Dalam dunia bisnis dan investasi yang diperlukan adalah rasa aman, stabilitas, dan iklim investasi yang baik yang bisa dimanfaatkan untuk menangkap peluang bisnis dan menarik investasi langsung yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja secara masif.

Program pembangunan yang mencakup program pengentasan kemiskinan perlu perhatian dan penanganan serius dari pemerintah dan berfokus pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Seharusnya hidup layak sejahtera lahir dan batin merupakan hak seluruh rakyat Indonesia sesuai diamanatkan Pembukaan UUD 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum. Ini mempunyai konsekuensi yaitu negara harus menyelenggarakan dan memfasilitasi seluruh rakyat Indonesia untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan kesempatan untuk mencari nafkah tentunya melalui pekerjaan yang dipilih dan diterimanya secara bebas.

Hendaknya, tetap diingat janji, komitmen, dan konsistensi pada waktu kampanye pileg maupun pilpres yang mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform partai politik karena kemiskinan merupakan lahan subur munculnya terorisme. Mempersempit jurang kemiskinan adalah juga memberantas bibit terorisme.

Penulis adalah Pemerhati Sosial Ekonomi; Alumnus University of Southern Queensland (USQ), Australia

No comments:

Post a Comment