Friday, April 8, 2011

Demokrasi yang Terancam Oleh: Ridho Imawan Hanafi

SINAR HARAPAN

7 April 2011

Demokrasi yang Terancam

Oleh Ridho Imawan Hanafi

Bulan Maret 2011 lalu, rentetan kasus teror paket bom buku mengguncang Republik. Paket ditujukan kepada aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional Komjen Pol Gories Mere, Ketua Umum Partai Patriot Yapto Soerjosoemarno, dan artis Ahmad Dhani.

Setelah itu teror juga diikuti oleh ancaman serupa di beberapa daerah. Secara luas teror kekerasan itu tidak hanya menyasar perorangan dan masyarakat, lebih jauh dapat mengancam bangunan demokrasi.

Demokrasi sendiri mensyaratkan kebebasan berpendapat dan kemerdekaan berpikir. Jika kita cermati, paket bom yang pertama-tama ditujukan kepada Ulil, ada setidaknya beberapa sebab.

Pertama, Ulil selama ini dikenal sebagai salah satu orang yang menyuarakan nilai-nilai demokrasi ditegakkan. Untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis, nilai-nilai seperti kebebasan (freedom) dan toleransi (tolerance) tidak boleh ditimbun. Pada sudut yang lebih fokus, Ulil menekankan pentingnya kebebasan beragama yang akhir-akhir ini mengalami titik kritis: meningkatnya intoleransi yang dibarengi dengan kekerasan berlatar agama. Urusan beragama dan berkeyakinan adalah hak paling asasi yang harus dijamin dan dilindungi negara. Untuk ini, segala cara kekerasan maupun persekusi tidak dibenarkan.

Kedua, seiring pandangannya mengenai demokrasi Ulil juga aktivis JIL. Di JIL, Ulil mengembangkan kebebasan berpendapat dan memperjuangkan penafsiran Islam yang menekankan kebebasan atau otonomisasi individu, sekaligus membebaskannya dari struktur sosial politik yang menindas. Upaya yang ditempuh untuk melakukan hal tersebut adalah membuka ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme penafsiran. Kebenaran penafsiran dianggap terbuka dengan segala kemungkinan benar salah, dan terus menerus bisa berubah dalam ruang dan masa yang tidak ajeg.

Dalam dua hal tersebut, Ulil memang tidak sendirian. Namun ketika Ulil juga disangkutpautkan sebagai aktivis JIL, Ulil menanggung risiko ganda: berhadapan dengan kelompok antidemokrasi sekaligus anti Islam liberal. Selama ini persepsi orang, terutama dari kelompok berpaham radikal yang memegang penafsiran agama secara literal an sich, JIL dianggap “merusak Islam” dan layak untuk diperangi. Ini karena Ulil lama sebagai koordinator JIL, Ulil pun kerap menjadi target. Inilah mengapa alamat teror bom ditujukan di markas JIL di Utan Kayu.

Sebab ketiga, selain sebagai penyuara demokrasi dan aktivis JIL, Ulil sekarang juga bernaung di bendera Partai Demokrat dengan duduk sebagai Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan. Dengan bergabung bersama partai yang dipimpin Anas Urbaningrum itu, Ulil kini tidak saja bergerak dalam wilayah pemikiran sosial agama, melainkan juga politik. Dengan kata lain, jangkauan gerak dan relasinya kian meluas, sekaligus menambah beban ancaman terhadapnya.

Di bidang pengembangan strategi dan kebijakan partai, sumbangsih pemikiran Ulil, terutama dalam bidang keagamaan, memungkinkan peluang untuk menerjemahkan segala pemikirannya dalam tindakan politik dan kebijakan partai. Apalagi Partai Demokrat adalah partai yang sedang berkuasa saat ini. Pemikiran liberal Ulil tidak menutup kemungkinan sebagai bahan masukan atau kerangka rujukan untuk kebijakan partai, terutama seperti saat bangsa Indonesia sekarang dilanda maraknya kekerasan atas nama agama.

Bagi kelompok-kelompok yang sebelumnya sudah memiliki pembawaan bersinggungan dengan Ulil, duduknya Ulil di bagian strategis partai penguasa bisa jadi dianggap sebagai ancaman tersendiri. Pemikiran Ulil yang sebelumnya mungkin dinilai hanya bergentayangan di alam pemikiran dan wacana, melalui partai politik dapat ditransformasikan dalam kebijakan praktis. Aliran transformasi inilah yang harus dicegat, salah satunya dengan mengirim bom.

Menimpa Siapa Pun

Jika melihat sebaran ancaman bom di Jakarta yang tidak mengarah pada Ulil semata, sebenarnya teror dapat menimpa siapa pun. Ulil bisa dianggap hanya sebagai pintu untuk membuka pintu-pintu berikutnya. Dalam situasi demikian, teror menjadi ancaman serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekaligus ancaman terhadap sistem politik demokrasi itu sendiri. Hak hidup aman dan tenang masyarakat sempat dicekam suasana ketakutan dan berbagai benih traumatik. Teror telah berhasil menciptakan situasi ketika masyarakat diliputi ketegangan di mana-mana. Ruang publik menjadi sempit disesaki oleh aneka teror.

Dengan teror, demokrasi sebagai sebuah sistem yang melindungi kebebasan setiap warga negara digeser untuk tidak lagi mendapat tempat. Demokrasi yang juga diidentikkan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat lalu dijawab dengan kekerasan, bukan dengan kesediaan melakukan komunikasi atau dialog. Di sini, benar apa yang dikatakan Hannah Arendt bahwa kekerasan sebagai komunikasi bisu par excellence. Argumentasi telah habis, komunikasi buntu, dan teror pun ditebar.

Ketika kekerasan telah menjadi lahan subur bagi pelampiasan kebencian dan perbedaan, sistem politik demokrasi juga tertantang untuk menunjukkan kemampuannya dalam penyelesaian beragam konflik yang disebabkan perbedaan pendapat secara damai (peaceful conflict resolution). Menargetkan Ulil dan lainnya sebagai sasaran bom merupakan salah satu ujian bagi kelangsungan nasib demokrasi. Cita-cita maupun ikhtiar dalam melanggengkan demokrasi dan kemerdekaan berpikir tidak boleh surut oleh teror apa pun.

Melihat ancaman yang nyata itu, segala aksi teror kekerasan harus dilawan. Itu tidak boleh didiamkan, apalagi hanya dengan sekadar ucapan keprihatinan. Di sini peran negara diperlukan sebagai pelindung masyarakat. Di saat skala kekerasan sudah massif, tiada cara lain lagi bagi pemerintah selain menunjukkan ketegasannya dalam menindak setiap pelaku kekerasan dan sekaligus menutup ruang bagi segala benih kekerasan yang akan tumbuh.

Ketidakmampuan pemerintah dalam bersikap tegas terhadap pelaku kekerasan hanya memunculkan anggapan bahwa kekerasan telah membanal (kekerasan sudah menjadi hal yang biasa) dan melakukan teror bukanlah sesuatu yang diharamkan di negeri ini. Negara tidak boleh kalah dalam menghadapi ancaman seperti itu.

Penulis adalah peneliti di Soegeng Sarjadi Syndicate