Monday, December 3, 2012

Guru dan Ancaman Intoleransi Oleh: Ali Rif'an

SUARA KARYA


28 November 2012

Guru dan Ancaman Intoleransi

Oleh Ali Rif'an

Indonesia saat ini menghadapi masalah krusial dihadapkan pada masa depan toleransi yang sedang dalam keadaan bahaya. Sebab, bibit-bibit radikalisme yang dapat mematikan toleransi itu ternyata bisa juga bersemayam dalam diri seseorang yang kerap disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, yakni guru. Fakta ini bisa disaksikan dari hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) beberapa waktu lalu.

Lakip menyurvei 590 guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di 10 kota di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Hasil survei itu menyebutkan bahwa responden, guru PAI, ada yang memberikan dukungan terhadap aksi kekerasan. Bahwa dua bahkan mendekati tiga dari 10 responden menyatakan kesediaan mereka jika ada pihak yang memobilisasi untuk terlibat dalam berbagai aksi kekerasan terkait dengan isu agama. Bahkan, beberapa responden cenderung membenarkan aksi kekerasan mengatasnamakan agama.

Fenomena ini tentu menjadi ikut mewarnai masa depan pendidikan sekaligus iklim toleransi di negeri ini. Sebab, apakah masih berlaku atau tidak, ada adagium yang mengatakan bahwa jika guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Artinya, jika gurunya saja bisa membenarkan aksi kekerasan dan tindakan intoleransi, bagaimana dengan muridnya.

Menurut Brenda Watson dalam Education and Belief (1987), salah satu sebab utama berkocolnya bibit radikalisme kuatnya ideologi atau komitmen agama yang dianut oleh sang guru. Sang guru dalam memahami agama terlalu rigit dan tekstual sehingga agama hanya mampu dicerna dari simbolnya saja, sementera substansi agama terabaikan, kalau tidak mau dibilang tercerabut. Hal itu ditambah dengan kurangnya wawasan kebangsaan dan toleransi yang dimiliki oleh guru.

Karena itu, sudah saatnya pada momentum hari guru yang jatuh pada hari Senin lalu ada semacam refleksi bersama ihwal "karakter" keberagamaan yang dimiliki oleh seorang guru. Dengan kata lain, para guru khususnya guru agama dalam mengajarkan materi-materi keagamaan harus memiliki bekal wawasan kebangsaan dan kemajemukan.

Guru harus memahami bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk individual dan komunal, suka hidup bersama, mengelompokkan diri, saling membutuhkan, saling berelasi, dan saling mempengaruhi. Sentimen agama dan kelompok secara berlebihan hanya akan menimbulkan kehidupan kian retak. Dalam hal ini, Karen Armstrong (2000) pernah mengatakan bahwa fanatisme agama secara membabi buta bisa mendatangkan tindakan-tindakan intoleransi.

Sebab, kemajemukan, termasuk dalam bidang keagamaan, merupakan ciri khas masyarakat Indonesia. Konsekuensi dari kemajemukan itu tentu saja kebutuhan dan kewajiban untuk menerima dan mengusahakan kerukunan dan toleransi. Masyarakat atau umat beragama yang menolak atau merusakkan kerukunan dan toleransi pada dasarnya menolak atau merusakkan kemajemukan dalam masyarakatnya. Mereka lupa bahwa kerukunan dan toleransi merupakan kebutuhan hakiki dari kemanusiaan yang universal, yakni tidak dapat ditolak dan wajib diusahakan oleh setiap insan.

Karena itu, perlu juga bagi seorang guru belajar tentang arti pentingnya multikulturalisme sebagai modal memperkuat wawasan kebangsaan. Sebab dalam spirit multikultural mengandung beragam prinsip penting, pertama, prinsip universalitas, yakni sebagi unsur-unsur yang sangat luas persebarannya dan dapat dianggap sebagai unsur kebudayaan yang menunjukkan persamaan (cultural similarity). Kedua, prinsip kesetaraan (equality), sebagaimana diamanatkan UUD 1945 bahwa semangat kesetaraan disamping keanekaragaman dalam pengembangan kebudayaan bangsa, sebagaimnana tercermin tentang arah kemajuan harus terus ditempuh, juga agar setiap orang seyogyanya mampu menuju keadaban yang maju, budaya dan persatuan bangsa.

Spirit inilah yang nantinya akan menggiring watak guru menjadi inklusif, terbuka oleh kritik dan masukan. Guru sebagai suluh peradan tentu mutlak memegang prinsip seperti itu. Sebab maju-mundurnya suatu bangsa tak lepas dari peran seorang guru. Guru perannya sangat sentral dalam posisinya di dunia pendidikan, bahkan kehidupan masyarakat. Lebih dari itu, posisi guru juga sangat strategis dalam menanamkan watak dan karakter terhadap anak didik. Ketika guru telah membenarkan tindakan anarkisme, hal itu akan terus dingat oleh sang murid sampai ia besar kelak. Inilah yang dapat dianggap berbahaya.

Karena itu, spirit multikultural sekaligus watak toleransi harus dimiliki oleh seorang guru secara substansial. Para guru (juga) bisa belajar dari ulama-ulama besar seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i. Banyak orang yang kagum dengan cara berfikir para cendekiawan muslim ini. Abu Hanifah, misalnya, dalam hidupnya selalu berusaha menghilangkan fanatisme terhadap sebuah pendapat. Ia selalu membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain untuk mengeluarkan pendapatnya.

Ia pernah berkata, "Ucapan kami ini adalah pendapat kami, menurut kami ini benar, bila ada seseorang memiliki pendapat yang lebih baik dan lebih benar, maka pendapat itulah yang berhak diambil."

Begitu pula dengan Imam Syafi'i. Ia adalah sosok yang meletakkan konsep penting tentang berdialog, menghindari fanatisme dan tidak mudah mencela pendapat orang lain. Imam Syafi'i pernah berkata, "Pendapat kami benar adanya, tapi memungkinkan adanya kesalahan, pendapat dari orang selain kami salah adanya tapi memungkinkan adanya kebenaran."

Penulis adalah Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Penerima Beasiswa Program Sekolah Demokrasi dari Belanda.

Friday, November 2, 2012

Pidato Muzadi dan Intoleransi Oleh: Victor Silaen

SINAR HARAPAN


20 Juni 2012

Pidato Muzadi dan Intoleransi

Oleh Victor Silaen

Nama KH Hasyim Muzadi kerap disebut-sebut dalam media-media sosial akhir-akhir ini. Pasalnya, pidato mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini, akhir Mei lalu, begitu tegas membantah tudingan tentang adanya intoleransi agama di Indonesia. Pidato yang disampaikan Muzadi di Sidang PBB di Jenewa, dalam kapasitasnya sebagai Presiden World Coference on Relegions for Peace (WCRP), itu antara lain menyinggung soal GKI Yasmin dan menyebut Indonesia sebagai negara muslim.

“Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim mana pun yang setoleran Indonesia. Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah Ahmadiyah, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi politik Barat,” ujarnya. Ia mengatakan, seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak akan dipersoalkan oleh umat Islam. “Kalau yang jadi ukuran adalah GKI Taman Yasmin Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain daripada masalahnya selesai,” kata Muzadi.

Saya ingin mengkritik beberapa hal terkait pidato tersebut. Pertama, tepatkah mengatakan Indonesia adalah “negara muslim”? Istilah ini sungguh absurd. Kalau “muslim” berarti “orang-orang yang beragama Islam”, apakah Indonesia merupakan negara untuk orang-orang yang beragama Islam saja? Jelas tidak. Atas dasar itu ke depan, siapa pun hendaknya tak lagi menyebut Indonesia sebagai “negara muslim”. Tidakkah teramat jelas bagi kita bahwa Indonesia bukanlah sebentuk negara agama, melainkan negara berdasarkan Pancasila? Dalam Pancasila memang ada Sila Pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, bukankah sila tersebut sama sekali tak menyebut agama tertentu?

Kedua, apa maksud Muzadi mengatakan “… tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain daripada masalahnya selesai”? Muzadi jelas harus bertanggung jawab atas ucapannya itu. Sebab, sepanjang yang saya ketahui langsung dari jemaat maupun kuasa hukum GKI Yasmin, mereka justru ingin mendapatkan penyelesaian atas masalah ini selekas mungkin. Itu sebabnya, meski pihak GKI Yasmin secara hukum sudah jelas “menang” di tingkat Mahkamah Agung (MA), yang lalu diperkuat dengan rekomendasi Ombudsman, mereka masih mau juga diajak memperbincangkan masalah ini, entah itu dengan pihak Kementerian Dalam Negeri, DPR, dan lainnya. Bahkan yang terkemudian, pihak GKI Yasmin bersedia diundang oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang Hukum dan HAM Albert Hasibuan – termasuk dengan pihak Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) — untuk membahas masalah ini. Ketika awal Mei lalu akhirnya Wantimpres (bersama Wantanas) merekomendasikan solusi atas kasus GKI Yasmin versus Pemkot Bogor ini adalah “membangun masjid di samping gedung GKI Yasmin, sehingga dengan begitu ada semacam simbol kerukunan beragama dan toleransi beragama”, pihak GKI Yasmin pun dengan senang hati menerimanya.

Namun, kalau rekomendasi tersebut ternyata tak juga diterima oleh Wali Kota Bogor, pantaskah pihak GKI Yasmin yang dipersalahkan? Ataukah pihak GKI Yasmin hanya dapat dibenarkan jika mereka “menerima tawaran untuk bersedia direlokasi” — sebagaimana yang selalu dikatakan pihak Pemkot Bogor dan Kemdagri sebagai solusi atas masalah ini? Nampaknya solusi tersebut memang baik. Tapi, tak pernahkah terpikir oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto dan Mendagri Gamawan Fauzi (termasuk Presiden Yudhoyono, yang pernah berjanji pada 16 Desember 2011, di rumahnya sendiri di Cikeas, untuk turun-tangan langsung menyelesaikan masalah ini), bahwa solusi “relokasi” tersebut merupakan sebentuk pelecehan terhadap putusan MA dan rekomendasi Ombudsman yang memerintahkan Wali Kota Bogor untuk taat hukum?

Jadi, siapa sesungguhnya yang tak ingin masalah ini selesai? Kalau Muzadi mengatakan “Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain…”, mohon dijelaskan secara bertanggung jawab: siapa yang lebih senang masalah ini tak selesai dan apa yang dimaksud kepentingan lain itu? Bagi pihak GKI Yasmin sendiri, apa untungnya beribadah secara “gerilya”, kali ini di rumah warga dan kali lain di depan Istana Merdeka – setelah sekian lamanya mereka beribadah di trotoar dekat gereja tapi kemudian dihalau massa intoleran? Sungguh, demi bertahan dalam kebenaranlah mereka rela berjerih-lelah hingga kini.

Harus Terbuka
Ketiga, tentang Indonesia yang toleran menurut Muzadi, saya kira kita harus terbuka menerima hasil pelbagai survei selama ini: bahwa Indonesia memang kian intoleran dari era ke era. Berita dari situs tempo.co (5/6/2012), yang mengutip hasil survei lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. “Masyarakat menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman. Tapi, mereka ragu-ragu menoleransi keberagaman,” kata Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte, dalam diskusi bertajuk “Demokrasi Minim Toleransi” di kantornya, 5 Juni lalu. Philips mencontohkan, masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tapi, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan rumah ibadah.

Dalam survei tersebut, sebanyak 59,5 persen responden tak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Tapi sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian dilakukan pada Februari lalu di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan. Philips mengatakan hasil survei itu bisa menggambarkan persoalan mengapa begitu banyak kasus pelarangan pembangunan rumah ibadah seperti kasus GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. “Ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah,” kata Philips.

Terkait itu maka tak heran jika Indonesia menjadi sorotan sejumlah negara dalam Sidang Universal Periodical Review (UPR) 2nd Cycle di Jenewa, 23 Mei lalu. Bukankah fakta bicara bahwa dari era ke era selalu ada saja gereja yang dirusak/ditutup paksa? Bahkan di era Yudhoyono (2004-2010), ada sekitar 2.442 gereja yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan paksa (Manado Post, 17/5/2012). Itu baru gereja, belum termasuk rumah ibadah umat lainnya.

Jadi, lebih bijaklah jika kita dengan rendah hati mengakui bahwa ada yang salah di negara ini terkait meningkatnya intoleransi dewasa ini. Pertama, sikap pembiaran dari pemerintah. Kedua, pendidikan nilai-nilai Pancasila yang gagal. Untuk yang pertama, tak bisa tidak, supremasi hukum harus ditegakkan. Untuk yang kedua, bukan proyek sosialisasi miliaran rupiah yang harus dilakukan, melainkan para pemimpin yang harus memberi keteladanan konkret di dalam kehidupan sesehari.

Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.

Wednesday, October 24, 2012

Teologi Hukuman Mati Oleh: Masdar Farid Mas’udi

KOMPAS


24 Oktober 2012

Teologi Hukuman Mati

Masdar Farid Mas’udi

Kegaduhan di negeri ini terus silih berganti. Yang paling mutakhir adalah gaduh di seputar penghapusan hukuman mati.

Menyusul keputusan Hakim Agung Imran yang menjatuhkan hukuman mati atas pemilik pabrik narkoba (Henky Gunawan), Presiden SBY melalui grasinya melakukan hal yang sama atas penjahat kakap narkoba yang berbeda (Deni Setia dan Meirika Franolia). Imran mengganti hukuman mati hanya dengan 12 tahun penjara, presiden menggantinya dengan hukuman seumur hidup.

Keduanya pun mendapat kecaman publik yang keras dan luas. Imran digugat: bagaimana mungkin hukuman mati atas kejahatan gembong narkoba diganti hanya dengan 12 tahun penjara, belum lagi dipotong remisinya? Dibayar berapa dia? Soal presiden: bukankah beliau sendiri yang menobatkan kejahatan narkoba (dan korupsi) sebagai kejahatan luar biasa. Namun, mengapa hukumannya diubah layaknya kejahatan biasa.

Seperti dimaklumi, penjahat narkoba bukan saja membunuh begitu banyak manusia, melainkan membunuh mereka pelan-pelan dengan penderitaan lahir batin yang panjang. Di atas segalanya semua itu dilakukan demi keuntungan materi semata.

Soal Hukuman Mati
Hukuman mati adalah hukuman yang sangat kuno. Boleh jadi sejak ada orang yang merasa berhak menegakkan hukum (penguasa), hukuman mati sudah menjadi pilihan menghukum kejahatan besar. Jika tidak menghukum mati secara fisik, sekurang-kurangnya secara sosial dengan dibuang atau diasingkan, yang akhirnya juga akan mati karena dimakan binatang.

Zaman dulu penjara berupa bangunan kokoh dengan segala fasilitasnya belum tersedia dan mungkin dianggap tak praktis, bertele-tele, makan biaya, dan tentu saja rawan korupsi. Hukuman mati, potong tangan, cambuk, denda, dan sebagainya menjadi pilihan yang praktis, murah, dan menjerakan.

Namun, menghukum mati memang perkara besar. Sekali dikenakan dan salah, tidak mungkin diperbaiki. Apalagi dulu, hukuman mati lazim dikenakan dengan teknik yang begitu mengerikan, seperti pernah dipraktikkan selama berabad-abad oleh para penguasa di berbagai belahan bumi. Penguasa China kuno, misalnya, tercatat sebagai rezim penghukum mati yang teramat sadis. Membaca dokumennya, perut langsung mual dan bulu kuduk berdiri.

Mengadopsi "kearifan" yang berkembang di masyarakat, kitab suci agama-agama pun ikut menerapkan. Perjanjian Lama mengenakan hukuman mati untuk beberapa kejahatan (Keluaran 21:22; 21:16; 22:19). Melalui Santo Agustinus dan Thomas Aquinas, merujuk Surat Paulus kepada Jemaat Roma 13:4, selama berabad-abad gereja menilai hukuman mati jalan efektif mencegah kejahatan dan melindungi pihak tak bersalah. Kemudian, mewarisi tradisi Taurat (Perjanjian Lama) dan tradisi gereja abad Pertengahan, Al Quran mengadopsi hukuman mati atas kejahatan tertentu dengan catatan.

Namun, ada yang berbeda: jika di masyarakat umum hukuman mati cenderung menganut logika dendam (pembalasan mesti lebih kejam dari tindakan), kitab-kitab suci mengambil hukuman mati atas nalar penjeraan dan kesetimpalan (keadilan). Membalas itu masuk akal, tetapi tak boleh melampaui tindakan. "Kami (Tuhan) tetapkan dalam Taurat (Perjanjian Lama), bahwa nyawa dibalas nyawa (hukuman mati), mata dibalas mata, hidung dibalas hidung, telinga dibalas telinga, gigi dibalas gigi dan setiap luka dibalas luka". (Al Quran [5]: 45).

Ketetapan Taurat (Perjanjian Lama) ini bukan saja dianut umat Yahudi dan berpengaruh di kalangan Kristiani, melainkan secara eksplisit diadopsi juga oleh Al Quran umat Islam. Inilah yang disebut qisas, hukuman setimpal sebagai hukuman maksimal, yang memesankan: jika kamu tak ingin disakiti, janganlah menyakiti; jika tak mau dipukul, janganlah memukul; jika tak ingin dibunuh, janganlah membunuh. Walhasil, jika tak ingin dirampas hak asasi, janganlah merampas hak asasi orang lain. Inilah kaidah keadilan universal.

Melampaui Keadilan
Memang di atas keadilan, ada norma lain yang lebih unggul dan mulia di mata Allah ataupun manusia, yakni kasih yang diterjemahkan dalam bentuk pengampunan terhadap yang salah, baik sebagian maupun keseluruhan. Maka normanya, tidak selalu nyawa mesti dibalas nyawa, mata dibalas mata. Ada pilihan lain yang lebih terpuji dan lebih disukai Allah: ganti rugi (diyat) atau bahkan pengampunan sama sekali, sebagaimana ditegaskan oleh kelanjutan ayat Al Quran surat al-Maidah: "Barang siapa dari keluarga korban yang mau bersedekah (dengan tidak menuntut mati atas si pembunuh, melainkan cukup ganti rugi atau bahkan pengampunan sama sekali), maka hal itu merupakan penebusan bagi si pelaku" (Al Quran [5]: 33). Ganti rugi sangat relevan, terutama atas nyawa korban yang notabene tulang punggung ekonomi keluarga.

Yang perlu dicatat, menurut Kitab Suci, apa yang akan dikenakan terhadap si pembunuh, hukuman setimpal (kisas), ganti rugi, atau pengampunan penuh, yang memutuskan bukanlah negara, melainkan keluarga korban. Negara hanya mengukuhkan keputusan keluarga dan memastikan eksekusinya. Alasannya sederhana dan jelas: bukan negara, melainkan keluarga korban yang secara emosional dan sosial pemikul beban perkara. Jadi jelas dalam ajaran Alkitab maupun Al Quran, peluang menjatuhkan atau menghindari hukuman mati memang terbuka. Terutama untuk pembunuhan perseorangan demi pembelaan diri dari penyerangan, perampokan, atau penganiayaan beruntun, seperti dialami tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

Persoalannya bisa jadi lain ketika korban pembunuhan langsung atau tak langsung bukan cuma perseorangan, melainkan massal. Al Quran menyebut kejahatan ini hirabah dan ifsad fil ardl penghancuran masyarakat atau dalam bahasa HAM, kejahatan kemanusiaan. Tidak ada balasan lain untuk mereka kecuali dihukum mati, disalib, atau dipotong tangan dan kakinya.

Sementara itu, yang dilakukan bandar narkoba dan lebih-lebih pemilik pabriknya bukanlah pembunuhan orang seorang, melainkan pembunuhan massal secara generasional alias kejahatan kemanusiaan. Termasuk jenis kejahatan ini: korupsi.

Penghormatan kepada hak asasi hanya masuk akal untuk manusia yang punya setitik hati untuk menghormati hak asasi orang lain. Adalah absurd orang yang tidak peduli dengan hak asasi orang, tetapi menuntut orang lain dan masyarakat untuk menghormati hak asasinya. Yang wajib dicatat, penjahat kemanusiaan dengan korban yang begitu masif, seperti penjahat narkoba dan koruptor, tujuannya tidak lain: "sebesar-besar keuntungan pribadi secara materi dengan sebesar dan seluas-luasnya korban di pihak lain".

Al Quran masih memberikan kesempatan. Jika sebelum negara berhasil menghukum kedua penjahat kemanusiaan itu ternyata yang bersangkutan diketemukan benar-benar telah bertobat dengan meninggalkan seluruh bisnis haramnya dan dengan sukarela mengembalikan semua uang haram hasil kejahatan narkoba atau korupsinya, mereka pun berhak tak dihukum mati atau diampuni. Bila tidak, hukuman mati adalah yang terbaik bagi yang bersangkutan ataupun masyarakat dan negara!

Masdar Farid Mas’udi adalah Rois PBNU; Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia

Thursday, April 12, 2012

Kepentingan Versus Nilai Oleh: Mudji Sutrisno

Koran Jakarta

11 April 2012

Kepentingan Versus Nilai

Oleh MUDJI SUTRISNO

Ketika Sigmund Freud dengan psikoanalisisnya menemukan dorongan terkuat dalam diri manusia untuk hidup adalah hasrat dan digumpalkan dalam libido yang di dalamnya berupa daya hidup (eros) lawannya daya perusak (thanatos) orang disadarkan untuk mengontrolnya melalui “akal budi” atau kesadaran rasionalitas.

Di sini, kesadaran yang awalnya merupakan pengontrol atas hasrat, lalu berfungsi semakin penting karena bertugas pula untuk “menerima apa adanya dan memproses pengalaman-pengalaman traumatik manusia kalau dia mau hidup sehat psikisnya”. Hasrat adalah ranah spontan yang netral. Artinya, begitu dia menyeruak muncul, kontrol akal budilah yang dengan kesadarannya menimbang untuk dituruti atau ditunda atau disublimasi. Namun, soal hasrat menghasrati ini akan semakin rumit manakala F. Nietszshe menunjuk adanya hasrat untuk terus berkuasa atau kekuasaan (the will to power).

Bagaimanakah menyikapinya? Sejalan dengan penemuan Freud, ketika hasrat muncul untuk berkuasa, ada tiga pilihan dalam memenuhi. Semuanya tetap diatur kesadaran akal budi rasional manusia. Pertama, dipenuhi melalui prinsip realitas. Artinya, realitas yang ada, bisa tidak menjadi ajang perwujudan hasrat ini.

Kedua, dipenuhi dan dituruti demi prinsip penikmatan. Kalau hasrat itu akan memberi nikmat, penuhi sajalah. Ketiga, melalui jalan tengah prinsip sublimasi, tak bisa memenuhi dengan dua cara tadi lalu membelokkan dan mengganti agar tersalurkan lewat pemenuhan pengganti.

Karena fungsi kesadaran rasional amat menentukan untuk menimbang pemenuhan hasrat-hasrat manusia ini, para pemikir seperti Jurgen Habermas memasukkan unsur pokok adanya kepentingan atau interes dalam kesadaran rasional manakala mau mewujudkan hasrat tersebut.

Hasrat ingin tahu dan menjelajahi dunia demi informasi baru merupakan cognitive interest. Keinginan untuk berkomunikasi pada sesama manusia merupakan communicative interest. Pendorong demi perubahan yang lebih humanis dan menyejahterakan disebut transformative interest. Di titik inilah, orang-orang kadang melupakan pentingnya menemukan jembatan antara hasrat menggelora yang disebut nilai. Sebenarnya, ini juga sudah coba diatur kesadaran akal budi.

Pengaturan itu melalui pertimbangan kepentingan yang mau dipenuhi, yaitu wilayah yang secara kultural dinamai nilai. Ranah nilai adalah wilayah penghayatan hidup manusia dengan rasionalitas akal budi. Hal ini secara tulus dalam nurani mendasarkan pilihan pemenuhan hasrat dan kepentingan-kepentingan berdasarkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang dihayati sebagai baik, benar, dan indah yang diserap oleh anak manusia yang sejak lahir belajar sampai mencapai life wisdom. Jadi, bukan hanya pandai secara kognitif, melainkan kebijaksanaan hidup yang semakin mencerdaskan agar makin beradab sebagai manusia. Pokok ini tidak asing di ranah kultural Nusantara. Contoh, di mana bumi dipijak, di situ hendaknya langit dijunjung.

Nilai yang berharga sebagai benar, baik, atau indah oleh seseorang atau komunitasnya dihayati dan diwujudkan dalam perilaku dan tindakan setiap hari. Ketika nilai dihayati dalam hidup, Rokeach (dalam The Nature of Human Values, 1973) menegaskannya sebagai keyakinan yang berharga. Maka dari itu, dia menjadi acuan hidup.

Di sinilah, konkretnya, manakala hasrat berkuasa muncul dengan kepentingannya menyeruak keluar, dia berhadapan dengan pertimbangan rasional dengan nilai-nilai dalam diri orang tersebut dan komunitasnya. Namun, muncul pertanyaan gugatan dalam hati: akan kulakukan dan kuwujudkan atau tidak? Karena hasrat berkuasa mendesak terus menerus minta dipenuhi, lalu dibuat konsensus untuk mengatur dan mengerem melalui hukum. Yuridis diperlukan untuk membatasi pelaksanaan kekuasaan dan membagi ke dalam legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Fakta sejarah peradaban hukum ini saja sudah merupakan bukti bahwa kehendak berkuasa (will to power) yang direduksi dalam kata politik tanpa kontrol nilai etisnya akan menghancurkan peradaban manusia seperti dilakukan Mussolini, Hitler, atau raja-raja lalim seperti Louis XIV di Prancis atau Amangkurat IV di Jawa.

Perang

Bila hasrat dalam kepentingan mau berkuasa terus menerus perang tanding melawan nilai, di manakah jalan keluarnya? Pertama, dikemukakan Habermas dalam komunikasi terbuka untuk mencari titik temu berupa “kepentingan bersama” dengan menomorduakan kepentingan ego.

Ide Habermas menemui kebuntuan kritis lantaran berdasar pengalaman tidak ada yang rela membuka hasrat dan kepentingan tersembunyinya. Masyarakat Indonesia diingatkan mengenai ini lewat pepatah “ada udang di balik batu”. Maka, dalam debat terbuka, kepentingan versus nilai harus benar-benar jujur berani membuka kepentingan masing-masing, kemudian memilih komunikasi terbuka yang disepakati untuk diwujudkan. Pokok ini harus terwujud lebih dulu.

Lihatlah, diskusi tipu-tipu soal kenaikan harga BBM dalam sidang paripurna DPR hingga dini hari (31/3). Itu bisa dianalisis betapa hasrat kuasa, kelicikan, seolah memenuhi aspirasi rakyat yang sampai berdarah-darah dalam bentrok dengan polisi. Di sini, nilai tidak dipakai sama sekali. Rapat paripurna hanya seolah-olah demi nilai.

Diluar sidang, mahasiswa diperlakukan secara irasional, sedangkan buruh dianggap musuh yang harus dihajar di medan tempur bersama jalanan dan dibarikade kawat duri. Para demonstran diposisikan melawan polisi. Padahal, unjuk rasa adalah sebuah pengucapan pendapat tidak setuju (atau setuju). Istana sama sekali tidak membuka dialog, bahkan ditinggal pergi penghuninya. Yang tinggal hanya penjaga dan barikade kawat berduri.

Tidak ada jalan lain, selain membuka lagi kesadaran rasionalitas dalam mengontrol hasrat dan menaruh kepentingan komunikatif dan transformatif karena ini sudah diperjuangkan dengan keringat dan darah para pendiri bangsa. Kontrol hasrat memperkaya, keserakahan adalah lewat kepastian hukum yang berkeadilan. Kontrol lain lewat jalan demokrasi. Suara rakyat adalah suara kejujuran yang adalah suara Tuhan. Itulah vox populi vox dei. Di sini, setiap subyek anak negeri mesti benar-benar belajar menanggungjawabi hidup dengan nilai benar, baik, dan indah. Jadi, bukan dengan melempar tanggung jawab, saling mengambinghitamkan, apalagi lari dari tanggung jawab.

Penulis adalah Guru Besar STF Driyarkara dan UI

Wednesday, March 14, 2012

Pemimpin Miskin Solusi Oleh: Victor Silaen

Sinar Harapan

20 Februari 2012

Pemimpin Miskin Solusi

Oleh: Victor Silaen

Saya tak habis pikir ketika membaca berita di berbagai media nasional, 7 Februari lalu, tentang pernyataan jubir Presiden Julian Aldrin Pasha bahwa Presiden SBY tidak bisa mengintervensi Wali Kota Bogor untuk menyelesaikan kasus GKI Yasmin. Alasannya, Presiden terhalang UU Pemerintahan Daerah. Terkait itu Julian juga mengatakan, sebenarnya Presiden SBY sudah mengimbau Wali Kota Bogor untuk menjalankan putusan MA yang berkekuatan hukum tetap. Hal itu terlihat dari instruksi kepada Menko Polhukam dan Mendagri sejak Desember 2011 untuk lebih intensif menangani kasus GKI Yasmin.

Menanggapi pernyataan Julian, saya ingin memberi beberapa catatan. Pertama, faktanya hingga kini Wali Kota Bogor tetap membangkang terhadap putusan MA, juga terhadap rekomendasi Ombudsman. Artinya, sampai sekarang Wali Kota Bogor tetap tidak mengindahkan hak asasi jemaat GKI Yasmin untuk beribadah di lahan dan gedung gereja mereka yang sah. Pertanyaannya, siapa yang harus menegur Wali Kota Bogor? Logikanya tentu Gubernur Jawa Barat. Tapi, kalau Gubernur Jawa Barat juga tak mampu “menertibkan” Wali Kota Bogor, lalu pihak mana lagi yang harus bertindak? Dalam konteks ini setidaknya ada dua pihak: Mendagri dan Menko Polhukam. Nah, kalau Wali Kota tetap tak mau taat hukum, lalu pihak mana yang harus bertindak? Jawabannya jelas: Presiden.

Berdasarkan itu, lalu mengapa SBY membuat alasan yang “mengada-ada” bahwa ia terhalang UU Pemerintahan Daerah? Bukankah itu secara tak langsung menunjukkan sikapnya yang ingin “lepas tangan”? Kalau begitu, lalu pihak mana lagi yang dapat diharapkan untuk mengatasi masalah ini? Tidakkah presiden adalah juga kepala negara, dan karena itu SBY seharusnya bertanggung jawab jika ada daerah di dalam negara ini yang menyimpang secara hukum? Kalau dibiarkan saja, kemudian kelak ada lagi daerah-daerah lain yang berani melawan putusan MA, tidakkah negara ini berjalan menuju kehancuran?

Hal yang patut dipertanyakan, mengapa untuk masalah sepenting ini SBY tak pernah sekali pun berbicara langsung dengan cara, misalnya menggelar konferensi pers? Mengapa harus Jubir Presiden yang menyampaikannya? Ataukah sebenarnya SBY menganggap masalah ini sepele? Bandingkan, misalnya, dengan kesediaan SBY berkali-kali menggelar konferensi pers untuk bicara soal Partai Demokrat. Bandingkan juga dengan ketegasannya tampil di depan pers untuk menyampaikan pesan-pesan penting terkait tewasnya seorang praja IPDN, Cliff Muntu (2007), dan diculiknya bocah, Raisya (2007).

Pertanyaan lain, lantas apa artinya janji SBY kepada pemimpin PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) yang diucapkannya di rumahnya sendiri, di Cikeas, dalam sebuah pertemuan khusus pada 16 Desember 2011? Saat itu, menurut Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom, SBY berjanji akan “turun tangan langsung untuk menyelesaikan masalah GKI Yasmin”. Sudah lebih sebulan berlalu, mana buktinya? Dapatkah, atas dasar itu, kita katakan SBY ingkar janji?

Sekarang saya ingin mengaitkan soal “ketidakbisaan SBY mengintervensi Wali Kota Bogor” dengan keterangan pers yang pernah disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik, Daniel Sparringa, terkait reshuffle kabinet awal Oktober 2011. Gaya kepemimpinan Presiden SBY, menurut Sparringa, akan diubah. Dengan gaya kepemimpinan baru nanti, Presiden akan tidak segan-segan mengintervensi para pejabat di bawah menteri. Selain itu, Presiden juga akan meminta hal sama dilakukan seluruh pejabat pemerintah pusat dan daerah, yang pada intinya akan berjuang untuk rakyat. “Presiden sendiri mengatakan, gaya memimpinnya juga akan berubah, gaya memimpin menteri juga berubah, gaya birokrat di tingkat Dirjen juga berubah, dan seterusnya hingga gubernur, bupati, juga wali kota. Jadi, pesan Presiden sebenarnya sangat nasional, kita harus berubah,” ujar Sparringa.

Sekarang, cobalah evaluasi: bukankah ada kontradiksi antara niat (dulu) dan kenyataan (sekarang)? Dulu SBY berjanji tak akan segan-segan melakukan intervensi, tetapi mengapa sekarang begitu mudah mengatakan tak bisa mengintervensi? Kalaulah SBY, seperti diterangkan Aldrin Pasha, sudah menginstruksikan kepada Mendagri dan Menko Polhukam sejak Desember 2011 untuk lebih intensif menyelesaikan masalah ini, apakah SBY juga menindaklanjutinya secara serius dengan meminta laporan sesering mungkin terhadap kedua menteri tersebut?

Kasus GKI Yasmin

Yang memprihatinkan adalah fakta berikut ini. Sejak Desember 2011 sampai 15 Januari 2012, jemaat GKI Yasmin masih dapat beribadah di rumah anggota jemaat (berpindah-pindah, dari satu rumah ke rumah yang lain), karena ibadah yang mereka gelar sebelumnya di trotoar dekat gereja selalu diintimidasi pihak-pihak lain. Namun, sejak 29 Januari lalu, mereka terpaksa beribadah di depan Istana Merdeka, Jakarta, karena ibadah di dalam rumah anggota jemaat pun (22 Januari) tak luput dari gangguan pihak-pihak lain itu.

Pertanyaannya, bagaimana SBY menyikapi kenyataan yang memprihatinkan ini? Ataukah masalah ini dipahaminya secara sempit sebagai masalah gereja saja, sehingga begitu mudahnya dibiarkan? Tidak, ini jelas bukan masalah gereja an sich. Pertama, ini masalah kebenaran dan kepastian hukum yang dipermainkan seorang kepala daerah. Kalau MA sebagai lembaga pengadilan tertinggi sudah memutuskan, bukankah itu harus dipandang sebagai kebenaran hukum yang mesti diterima semua pihak tanpa kecuali? Karena Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat), bukankah demi terwujudnya kepastian hukum, putusan MA tersebut harus dilaksanakan?

Kedua, ini juga masalah hak asasi warga negara Indonesia untuk bebas beribadah dan menggunakan rumah ibadahnya yang sudah berizin resmi. Bukankah pihak GKI Yasmin sudah pernah mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) itu pada 2006? Tetapi ternyata Wali Kota Diani Budiarto kemudian membatalkannya dengan alasan sepihak dan “mengada-ada”: mulanya keberatan dari warga sekitar, lalu karena GKI Yasmin berdiri di Jalan Abdullah bin Nuh yang “bernuansa” Islam (sehingga tak etis gereja berada di sana), akhirnya kembali lagi ke alasan keberatan warga sekitar. Pertanyaannya, bukankah dengan alasan apa pun, IMB yang sudah dikeluarkan tak dapat dibatalkan? Sesuai Perber Dua Menteri Nomor 8 dan 9, bukankah kewenangan membatalkan itu tidak diatur untuk kepala daerah?

Akhirnya, saya ingin mengingatkan bahwa pemimpin yang baik seharusnya tak miskin solusi. Jadi, alih-alih lepas tangan dengan dalih terhalang sebuah peraturan. SBY mestinya terus-menerus mengintervensi Mendagri dan Menko Polhukam demi tegaknya wibawa hukum di negara hukum ini. SBY juga dapat menggelar konferensi pers khusus untuk menyampaikan sebuah pesan penting: bahwa ia selaku kepala negara tak ingin Kota Bogor menjadi negara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena pemimpinnya berani membangkang MA dan tak menghormati Ombudsman.

Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.

Monday, February 20, 2012

DAYAK MENYELAMATKAN PLURALISME INDONESIA Oleh: Aju

SINAR HARAPAN

13 Februari 2012

DAYAK MENYELAMATKAN PLURALISME INDONESIA

Oleh: Aju

Di Kalbar, massa FPI nyaris bentrok dengan suku Dayak karena berencana menyerang gereja. Wajar jika kehadiran FPI di Kalteng ditolak.

Sebuah SMS dari nomor tidak dikenal masuk ke telepon genggam, Jumat (10/2), pukul 09.00 malam. “Sebagai aksi penolakan terhadap FPI di Kalteng, berdasarkan hasil rapat DAD/MADN hari ini, maka Sabtu, 11 Februari 2012, pukul 09.00 WIB di Bundaran Besar akan diadakan pelantikan Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak Kalteng. Semua warga Dayak diundang hadir menggunakan ikat kepala berwarna merah. Tolong sebarluaskan informasi ini. Amun beken itah eweh hindat!”

FPI singkatan dari Front Pembela Islam, DAD singkatan Dewan Adat Dayak dengan level pengurus tingkat provinsi, dan MADN singkatan dari Majelis Adat Dayak Nasional dengan level pengurus mencakup empat provinsi di Kalimantan. Sementara Bundaran Besar salah satu tempat strategis di Palangkaraya, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Amun beken itah eweh hindat adalah bahasa Dayak Ngaju yang artinya, “kalau tidak kita, siapa lagi”.

Awalnya isi sms itu tidak terlalu saya hiraukan, karena sudah terbiasa terjadi menjelang perhelatan politik di Kalimantan yang selalu mengedepankan strategi politik identitas. Apalagi di Provinsi Kalimantan Barat tengah digelar tahapan pelaksanaan pemilihan langsung serentak gubernur dan wakil gubernur, serta wali kota dan wakil wali kota Singkawang periode 2013-2018.

Tapi Sabtu pukul 10.15, Kepala Polisi Daerah Kalimantan Tengah Brigjen (Pol) Damianus Jackie dibuat kalang kabut mendengar massa menduduki bandara, sehingga mesti meluncur ke Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya.

Rusak Tenda

Damianus Jackie, seorang muslim yang taat dari Suku Dayak Kanayatan, Desa Darit, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, Propinsi Kalimantan Barat itu, turun langsung menenangkan ribuan warga suku Dayak dengan ikat kepala warna merah, yang memprotes kedatangan Ketua Umum FPI Habib Rizieq, Wakil Sekretaris Jenderal Habib Muhsin Al Atas, Ketua Bidang Dakwah KH Alwi Masykuri, dan Panglima FPI Ustad Maman.

Massa berhasil dikendalikan. Rombongan FPI yang menumpang pesawat Sriwijaya tidak jadi turun dari pesawat. Mereka dipaksa melanjutkan perjalanan ke Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Gubernur Kalteng Agustinus Teras Narang ikut pula menenangkan massa di Bandara Tjilik Riwut, Sabtu itu sekitar pukul 11.30. kebetulan Agustinus adalah pemangku jabatan Ketua MDAN.

Berhasil menggagalkan kedatangan pentolan FPI, massa warga Dayak lain yang sejak Sabtu pagi mengepung kediaman Habib Muhri di Jalan Meranti, Palangkaraya, merusak dan membakar tenda yang sedianya dijadikan tempat pelantikan Pengurus FPI Provinsi Kalteng. Massa kemudian melanjutkan perjalanan untuk menghadiri pelantikan Pengurus Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak (MPMAD) Provinsi Kalteng di Bundaran Besar, Palangkaraya.

Wakil Ketua DAD Provinsi Kalteng Lukas Tingkes mengatakan, MPMAD bertujuan menjaga dan mengawal tak hanya hak adat masyarakat Dayak, tetapi juga berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan di Provinsi Kalteng.

Virus Kekerasan

Lukas Tingkes mengatakan, DAD Provinsi Kalteng sudah jauh hari sebelumnya mengirim surat kepada Kapolda Kalteng agar menolak keras keberadaan organisasi FPI. FPI dinilai tidak lebih dari virus pembawa budaya kekerasan yang berimplikasi kepada perpecahan segenap komponen masyarakat di Provinsi Kalteng.

Tokoh Masyarakat Dayak Uud Danum Provinsi Kalteng, Napa Irang Awat, mengatakan insiden di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, sebagai peringatan keras bagi pemerintah, agar bersikap lebih tegas terhadap sebuah komonitas masyarakat yang selalu mengedepankan budaya kekerasan dalam menyelesaikan persoalan, dengan berlindung di balik agama tertentu.

“Sesuai undang-undang, FPI sebagai sebuah organisasi massa memang berhak beraktivitas di Provinsi Kalteng. Tapi masyarakat di Provinsi Kalteng lebih mengutamakan terciptanya rasa keamanan dan ketertiban masyarakat,” kata Napa.

Insiden di Kalbar

Menurut Napa Irang Awat, mantan Rektor Universitas Palangkaraya, kalau FPI ingin dibentuk di Kalteng, mesti ada jaminan secara nasional bahwa FPI tidak lagi bertindak sebagai pelaku kekerasan di dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.

Berdasarkan catatan SH, di Provinsi Kalimantan Barat, FPI pernah tiga kali nyaris bentrok dengan massa masyarakat suku Dayak, terkait isu penyerangan Gereja Katedral Santo Josep, Pontianak Selatan, karena tersinggung dengan pernyataan Paus Benedictus VI tentang budaya kekerasan tahun 2006, kemudian protes terhadap kehadiran Gereja Katolik Paroki Bunda Maria Jeruju, Pontianak Barat tahun 2006, dan protes keberadaan Patung Naga di tengah Kota Singkawang tahun 2009.

Rencana penyerangan FPI ke tiga tempat itu dibatalkan, karena massa dari suku Dayak sudah terlebih dahulu berada di lokasi yang akan diserang. Di Singkawang, terkait protes terhadap keberadaan Patung Naga, massa FPI lari tunggang langgang, malah ada yang menabrak tembok, lantaran dikepung massa suku Dayak.