28 November 2012
Guru dan Ancaman Intoleransi
Oleh Ali Rif'an
Indonesia
saat ini menghadapi masalah krusial dihadapkan pada masa depan toleransi yang
sedang dalam keadaan bahaya. Sebab, bibit-bibit radikalisme yang dapat
mematikan toleransi itu ternyata bisa juga bersemayam dalam diri seseorang yang
kerap disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, yakni guru. Fakta ini bisa
disaksikan dari hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip)
beberapa waktu lalu.
Lakip menyurvei 590 guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di 10 kota di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang
dan Bekasi (Jabodetabek). Hasil survei itu menyebutkan bahwa responden, guru
PAI, ada yang memberikan dukungan terhadap aksi kekerasan. Bahwa dua bahkan
mendekati tiga dari 10 responden menyatakan kesediaan mereka jika ada pihak
yang memobilisasi untuk terlibat dalam berbagai aksi kekerasan terkait dengan
isu agama. Bahkan, beberapa responden cenderung membenarkan aksi kekerasan
mengatasnamakan agama.
Fenomena ini tentu menjadi ikut mewarnai masa depan
pendidikan sekaligus iklim toleransi di negeri ini. Sebab, apakah masih berlaku
atau tidak, ada adagium yang mengatakan bahwa jika guru kencing berdiri, murid
kencing berlari. Artinya, jika gurunya saja bisa membenarkan aksi kekerasan dan
tindakan intoleransi, bagaimana dengan muridnya.
Menurut Brenda Watson dalam Education and Belief (1987),
salah satu sebab utama berkocolnya bibit radikalisme kuatnya ideologi atau
komitmen agama yang dianut oleh sang guru. Sang guru dalam memahami agama
terlalu rigit dan tekstual sehingga agama hanya mampu dicerna dari simbolnya
saja, sementera substansi agama terabaikan, kalau tidak mau dibilang
tercerabut. Hal itu ditambah dengan kurangnya wawasan kebangsaan dan toleransi
yang dimiliki oleh guru.
Karena itu, sudah saatnya pada momentum hari guru yang jatuh
pada hari Senin lalu ada semacam refleksi bersama ihwal "karakter"
keberagamaan yang dimiliki oleh seorang guru. Dengan kata lain, para guru
khususnya guru agama dalam mengajarkan materi-materi keagamaan harus memiliki
bekal wawasan kebangsaan dan kemajemukan.
Guru harus memahami bahwa manusia pada hakekatnya adalah
makhluk individual dan komunal, suka hidup bersama, mengelompokkan diri, saling
membutuhkan, saling berelasi, dan saling mempengaruhi. Sentimen agama dan
kelompok secara berlebihan hanya akan menimbulkan kehidupan kian retak. Dalam
hal ini, Karen Armstrong (2000) pernah mengatakan bahwa fanatisme agama secara
membabi buta bisa mendatangkan tindakan-tindakan intoleransi.
Sebab, kemajemukan, termasuk dalam bidang keagamaan,
merupakan ciri khas masyarakat Indonesia.
Konsekuensi dari kemajemukan itu tentu saja kebutuhan dan kewajiban untuk
menerima dan mengusahakan kerukunan dan toleransi. Masyarakat atau umat
beragama yang menolak atau merusakkan kerukunan dan toleransi pada dasarnya
menolak atau merusakkan kemajemukan dalam masyarakatnya. Mereka lupa bahwa
kerukunan dan toleransi merupakan kebutuhan hakiki dari kemanusiaan yang
universal, yakni tidak dapat ditolak dan wajib diusahakan oleh setiap insan.
Karena itu, perlu juga bagi seorang guru belajar tentang
arti pentingnya multikulturalisme sebagai modal memperkuat wawasan kebangsaan.
Sebab dalam spirit multikultural mengandung beragam prinsip penting, pertama,
prinsip universalitas, yakni sebagi unsur-unsur yang sangat luas persebarannya
dan dapat dianggap sebagai unsur kebudayaan yang menunjukkan persamaan
(cultural similarity). Kedua, prinsip kesetaraan (equality), sebagaimana
diamanatkan UUD 1945 bahwa semangat kesetaraan disamping keanekaragaman dalam
pengembangan kebudayaan bangsa, sebagaimnana tercermin tentang arah kemajuan
harus terus ditempuh, juga agar setiap orang seyogyanya mampu menuju keadaban
yang maju, budaya dan persatuan bangsa.
Spirit inilah yang nantinya akan menggiring watak guru
menjadi inklusif, terbuka oleh kritik dan masukan. Guru sebagai suluh peradan
tentu mutlak memegang prinsip seperti itu. Sebab maju-mundurnya suatu bangsa
tak lepas dari peran seorang guru. Guru perannya sangat sentral dalam posisinya
di dunia pendidikan, bahkan kehidupan masyarakat. Lebih dari itu, posisi guru
juga sangat strategis dalam menanamkan watak dan karakter terhadap anak didik.
Ketika guru telah membenarkan tindakan anarkisme, hal itu akan terus dingat
oleh sang murid sampai ia besar kelak. Inilah yang dapat dianggap berbahaya.
Karena itu, spirit multikultural sekaligus watak toleransi
harus dimiliki oleh seorang guru secara substansial. Para
guru (juga) bisa belajar dari ulama-ulama besar seperti Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafi'i. Banyak orang yang kagum dengan cara berfikir para cendekiawan
muslim ini. Abu Hanifah, misalnya, dalam hidupnya selalu berusaha menghilangkan
fanatisme terhadap sebuah pendapat. Ia selalu membuka ruang dan kesempatan bagi
orang lain untuk mengeluarkan pendapatnya.
Ia pernah berkata, "Ucapan kami ini adalah pendapat
kami, menurut kami ini benar, bila ada seseorang memiliki pendapat yang lebih
baik dan lebih benar, maka pendapat itulah yang berhak diambil."
Begitu pula dengan Imam Syafi'i. Ia adalah sosok yang
meletakkan konsep penting tentang berdialog, menghindari fanatisme dan tidak
mudah mencela pendapat orang lain. Imam Syafi'i pernah berkata, "Pendapat
kami benar adanya, tapi memungkinkan adanya kesalahan, pendapat dari orang
selain kami salah adanya tapi memungkinkan adanya kebenaran."
Penulis adalah Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Penerima
Beasiswa Program Sekolah Demokrasi dari Belanda.