Friday, June 17, 2011

Nurani Agamawan Berbicara Oleh: Benny Susetyo

SINAR HARAPAN

17 Januari 2011

Nurani Agamawan Berbicara

Oleh BENNY SUSETYO

Kebijakan ekonomi pemerintah memang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,8 persen dan meningkatkan pendapatan per kapita menjadi US$ 3.000 pada 2011, tetapi gagal dalam pemerataan kesejahteraan. Masih banyak warga Indonesia yang menderita gizi buruk, tidak mendapat pelayanan kesehatan seperti seharusnya, dan juga putus sekolah.

Kenyataan tersebut menggugah para tokoh agama untuk ikut mendesak pemerintah agar kembali serius memikirkan kesejahteraan dengan memanfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tanpa adanya keseriusan pemerintah untuk menangani berbagai masalah kebangsaan dan kemanusiaan, pemerintah rentan melakukan pengingkaran terhadap konstitusi. Hal itu dapat dikatakan sebab sejauh ini pemerintah dinilai gagal dalam menjalankan berbagai amanat konstitusi untuk kesejahteraan dan keadilan.

Keadilan Kian Meredup

Berbagai kasus hukum yang menimpa rakyat kecil di negeri kita akhir-akhir ini merupakan fenomena paling buruk bagi kita dalam menegakkan hukum. Hukum menjadi gamang dengan roh keadilannya yang semakin menjauh dari rakyat kecil.

Rasa keadilan di negeri ini benar-benar sedang diuji. Berbagai contoh nyata yang hadir di hadapan kita memberikan petunjuk bahwa keadilan sedang berada di titik nadir. Apakah berbagai fakta ketidakadilan ini bisa dibaca dengan hati nurani oleh para elite negeri ini? Fakta-fakta itu sangat bertentangan di pihak lain, ketika pencurian dan perampokan harta kekayaan negara semakin membabi buta, mengerikan, dan dilakukan dengan beragam cara.

Di pihak lain justru hadir mereka yang terang-terangan di mata publik melukai hati nurani karena mengoyak-ngoyak hukum, menyuap, dan mempermainkannya. Para penegak hukum justru ragu menegakkan keadilan, seolah tidak memiliki kepekaan yang mendalam atas apa yang terjadi. Kini rakyat betul-betul merasa dipermainkan dengan situasi yang kalut seperti ini. Rakyat kecil dipermainkan dengan berbagai kebohongan para elite. Sudah lama di negeri ini kita susah membedakan antara kebohongan dan kebenaran. Yang bohong sering dianggap sebagai kebenaran dan yang benar sering dianggap kebohongan.

Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang. Juga, sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini. Keadilan tidak untuk semua, melainkan untuk sebagian (yang bisa membelinya). Keadilan adalah milik penguasa dan si empunya uang.

Hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan sering seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, otot, dan uang) yang menceraikannya.

Keadilan di negeri ini amat langkah diperoleh karena keadilan tak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, dan berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat mendapat pendidikan utama bahwa keadilan di negeri ini: adalah sebuah bayang-bayang kamuflase. Para penguasa dan penegak hukum kita tidak memiliki gugus insting yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua. Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal di depan cengkeraman kekuasaan dan “orang kuat” hukum tak lagi memiliki taring. Hukum mandul karena hanya mampu menginjak ke bawah dan mengangkat yang di atas. Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini.

Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita. Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai negara hukum sering kali hanya sebagai pemanis mulut. Apa yang kita ajarkan kepada anak cucu kita tentang “kedaulatan hukum” adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan. Keadilan tidak manifes dalam kenyataan. Das sein yang manifes di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang, dan segala hal yang berkomprador dengannya.

Hukum dan keadilan bagaikan dua sisi mata uang. Didamba selalu berdekatan, tetapi tak pernah menyatu. Bahkan bertemu sekali pun tak pernah. Keduanya menghadap sisi-sisi yang lain dari realitas hidup warga. Keadilan hanya alat untuk memanis-maniskan realitas kehidupan yang demikian pahit. Ironis, sebab hukum dan keadilan merupakan (sekadar) hiburan bagi rakyat kecil.

Hukum gagal ditegakkan di atas prinsip-prinsip keadilan sosial, sebab lebih memandang kekuatan hukum formal, dan permainan pasal-pasal. Akibatnya, hukum belum mampu memegang teguh apa yang disebut sebagai kesederajatan (equality) dan menghindarkan diskriminasi. Ini semua masih soal pelajaran bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara.

Janganlah kita terus-menerus mendidik rakyat dengan berbagai fakta ketidakadilan bahwa seseorang bisa memiliki kekebalan hukum karena mereka memiliki jabatan. Di negara yang mengagung-agungkan hukum sebagai payung (rechstaat), imunitas terhadap hukum tidak berlaku. Semua berkewajiban dan memiliki hak sama.

Yang sedang dipertontonkan hari ini adalah bagaimana hukum tumpul menghukum para orang kuat, mantan pejabat, dan koruptor, tetapi tajam beringas menghukum pesakitan hukum kelas teri dan mereka yang serius ingin menciptakan bangsa yang bersih. Maling ayam mendapatkan hukuman berat dan koruptor kelas kakap justru mendapatkan kesempatan menikmati keistimewaan.

Kesederajatan dalam hukum mulai dipunahkan oleh sikap arogan kekuasaan. Karena kekuasaan yang menjadi acuan, kita tak sanggup untuk melihat hati nurani. Karena kekuasaan yang menentukan hitam putih hukum, mata hati kita tumpul. Keadilan sosial yang ingin ditegakkan lalu diabaikan.

Elite Politik dan Kebohongan

Jurgen Habermas pernah menyatakan die Normativitaet des Faktischen. Dalam kehidupan para politikus sering melahirkan kecenderungan untuk membolak-balik fakta dan norma. Terdapat kecenderungan agar suatu kenyataan faktual bisa membenarkan dirinya secara normatif, dan bukannya benar dalam pengertian norma-norma yang berlaku. Tidak peduli bahwa itu dirasakan sebagai kebohongan atau tidak. Di tengah suasana serba materialistis, pertimbangan pengambilan keputusan dalam berbagai areal kehidupan hanya diwarnai dengan pertimbangan untung-rugi, bukan pertimbangan benar-salah. Suatu tindakan bisa jadi menguntungkan walaupun secara moral salah, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, sulit bagi kita untuk menemukan mana yang dusta dan mana yang jujur. Kriteria politikus jujur dan politikus penuh dusta sulit diberikan karena yang sering digunakan adalah pertimbangan untung-rugi. Akibatnya, orang yang sedang berdusta bahkan sering dianggap sebagai orang jujur yang sedang berkhotbah.

Batasannya makin kabur dan sumir. Dusta dan kejujuran hanya dipisahkan oleh sehelai rasa yang sering kita sebut sebagai hati nurani. Karena itulah banyak politikus berdusta dalam khotbah-khotbah yang tampak di depan mata sebagai “jujur”.

Budaya ini berkembang luas di kalangan politikus dan yakinlah, ini masalah serius yang dihadapi bangsa ini. Sesuatu hal baru dianggap melanggar etika dan hukum justru bila sudah diketahui dan dikritik oleh publik. Korupsi dianggap sah-sah saja dilakukan jika tidak diketahui publik. Menaikkan gaji di tengah penderitaan adalah cermin dari pengkhianatan, dan merupakan bagian dari korupsi moral yang sangat serius. Para elite politikus bangsa selama ini gagal menumbuhkan budaya malu dalam dirinya sendiri, bahwa korupsi, diketahui ataupun tidak, adalah tindakan melanggar aturan. Menghabiskan dan memboroskan uang rakyat untuk berfoya-foya adalah pelanggaran etika berbangsa. Ini disebut pelanggaran baru bila publik menolaknya. Budaya malu terhadap diri sendiri tidak tumbuh dalam diri politikus, karena demikian hancurnya etika politik dewasa ini.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial