Tuesday, November 2, 2010

Tusuk, Apa Lagi? Oleh: Franz Magnis Suseno

SUARA PEMBARUAN DAILY

23 September 2010

Tusuk, Apa Lagi?

Oleh : Franz Magnis Suseno

Penusukan dan pemukulan terhadap pendeta dan penatua jemaat HKBP Pondok Indah Timur pada tanggal 12 September yang lalu menimbulkan reaksi sangat ramai di media.
Pantas demikian. Penusukan itu hanyalah puncak ketegangan dan kekerasan yang mendahuluinya dan sebenarnya sudah dapat diramalkan. Yang menjadi masalah serius: Situasi yang mirip terjadi juga di sekian tempat lain. Sudah bertahun-tahun masalah tempat ibadah mengganggu, bahkan cenderung meracuni hubungan baik antara umat beragama di Indonesia. Apa kita akan menunggu sampai di situasi di lain tempat juga meledak dalam kekerasan?
Dalam situasi ini pimpinan nasional harus membuktikan diri. Dari mereka diharapkan kejernihan visi dan keberanian untuk bicara kepada masyarakat. Tetapi yang kita dapat hanyalah strategi burung onta: tidak melihat, tidak mendengar, paling-paling beberapa sabda basa-basi. Ancaman dan kekerasan tidak ditindak dengan tegas, tak ada keberanian moral untuk meminta seluruh bangsa untuk menghormati para minoritas, untuk menjamin keamanan mereka yang berbeda ibadatnya. Sedangkan administrasi lokal, terus terang saja, umumnya tidak mampu menangani situasi semacam itu. Apa kita lantas heran kalau masyarakat menjadi bingung, lalu emosi, kecurigaan dan prasangka-prasangka lama meracuni hati mereka?

Masalahnya Bukan Masyarakat
Padahal dapat kita andaikan bahwa sebenarnya masyarakat, juga masyarakat lokal, juga masyarakat di Bekasi Timur, ingin hidup bersama dengan damai, bahwa mereka pada prinsipnya tidak menolak jemaat-jemaat lain beribadat. Semua sebenarnya tahu bahwa benci, marah, dendam bukan sikap yang dikehendaki Allah. Modal sosial itu seharusnya diakses dan dipergunakan.
Masalahnya juga tidak pertama-tama terletak pada para pimpinan umat beragama yang bersangkutan. Pada umumnya mereka mau bertanggung jawab, ingin agar semua umat beragama dapat beribadat tanpa takut. KWI, pimpinan umat Katolik, begitu juga pimpinan Kristen Protestan di PGI, apalagi para pimpinan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, mereka sungguh-sungguh menginginkan hubungan antar umat beragama yang berdamai dan fair.
Lalu bagaimana? Seharusnya kita menerima fakta bahwa keagamaan Indonesia majemuk, bahwa orang Indonesia merantau ke seluruh Nusantara, dan bahwa, karena itu, di semua daerah yang pernah homogen, lama-kelamaan akan muncul keanekaan jemaat dan kelompok beragama. Satu tugas kita bersama adalah mempersiapkan masyarakat atas kenyataan itu. Ucapan seperti “jangan membangun rumah ibadat di tengah-tengah umat beragama lain” adalah nonsense: Bagaimana minoritas bisa beribadat kecuali di tengah-tengah mayoritas? Sebetulnya di banyak daerah masyarakat sejak lama biasa hidup bersama dalam kemajemukan.
Apakah toleransi masyarakat berkurang? Yang tidak tersangkal adalah pengaruh penghasutan. Bisa misalnya masyarakat sudah menyetujui pembangunan sebuah gereja, tetapi mendadak persetujuan ditarik. Hasutan dari luar?
Perlawanan terhadap hasutan jahat harus datang dari para tokoh agama yang bersangkutan. Mereka yang mesti mendidik umat-umat mereka: Bahwa mayoritas justru bertanggungjawab atas keamanan dan kebebasan minoritas, bahwa minoritas perlu tahu diri, komunikatif, tidak provokatif, sabar dan bersedia berkompromis.

Negara
Dari seorang pimpinan negara saya mengharapkan keberanian untuk menantang bangsa agar mau membangun sikap-sikap yang perlu demi harkat kemanusiaannya dan kemajuannya. Mengapa saya sepertinya tak pernah mendengar kata-kata seperti ini: “Mari kita terima semua saudara dan saudari sebangsa dengan lapang hati. Boleh saja kita menolak cara beribadat mereka. Tetapi mari kita tetap menghormati hak mereka untuk beribadat menurut suara hati mereka, mari kita membuat mereka merasa aman di antara kita” Kalau pimpinan nasional mengatakannya, bangsa akan mengerti dan pengaruh para penghasut akan tumpul.
Di sini saya mau bertanya pada menteri agama: How low can you go? Karena Anda, penganut agama mayoritas menurut mazhab mayoritas, tidak dapat menyetujui pengertian sebuah minoritas (itu hak Anda!), Anda sebagai menteri RI mau melarang mereka? Pfui! Yang Mulia, Anda menyabotase 65 tahun negara Pancasila.
Masalah SKB 2006 bukan pada apa yang dimaksud, melainkan bahwa SKB itu tumpul. Tentu, negara berwenang menata hal rumah ibadat. Betul, sikap mayoritas setempat tak boleh diabaikan. Tetapi FKUB misalnya sering tidak berfungsi. Bahkan ada kasus pemerasan. Syarat 60 tanda tangan jemaat mayoritas rawan dimanipulasi. Berulang kali terjadi bahwa 60 tanda tangan sudah diberikan, tetapi kemudian ditarik kembali karena ada hasutan, lalu semuanya mubazir lagi.
Itulah yang perlu dibahas bersama dalam merevisi SKB. Sangat perlu juga administrasi lokal diberi latihan bagaimana menangani pluralitas keagamaan di wilayah tanggung jawab mereka.
Tusukan beberapa hari lalu merupakan wake up call bagi kita semua. Kita sebagai bangsa harusnya merasa ditantang olehnya. Kita semua harus tahu apa yang benar, dan sekaligus tahu diri. Ketegasan maupun kesabaran dituntut dari kita. Negara harus memberi zero tolerance terhadap kekerasan bernuansa agama. Para pemimpin harus menunjukkan keberanian moral untuk menyatakan komitmen mereka pada hak yang sama para minoritas untuk beribadat. Mereka yang memerlukan tempat ibadat perlu sabar dan mampu merebut hati masyarakat setempat. Untuk itu kita pasti akan mendapat dukungan masyarakat.

Penulis adalah guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara