Saturday, September 18, 2010

Belajar Toleransi Agama dari Amerika Serikat Oleh: Albertus Patty

SUARA PEMBARUAN DAILY

16 September 2010

Belajar Toleransi Agama dari Amerika Serikat

Oleh : Albertus Patty

"Para pejabat harus belajar membatinkan sikap toleran sebagai bukti kesetiaannya terhadap moto bangsa Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan konstitusi
bangsa (UUD 1945).

Aksi kekerasan dan penusukan terhadap pendeta dan penatua gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Ciketing, Bekasi pada hari Minggu, 12 September 2010, bisa saja timbul dari berbagai motif. Tetapi, akar utamanya pasti intoleransi agama. Tidak seorang pun bisa menyangkal bahwa aksi anarki itu adalah lanjutan dari aksi intoleransi yang terjadi di hampir setiap hari Minggu terhadap warga jemaat ini. Yang pasti, tragedi kekerasan itu menunjukkan bahwa tsunami intoleransi agama telah menerjang pekarangan rumah kita.
Intoleransi menjadi persoalan lokal yang membutuhkan respons kita yang sama seriusnya ketika kita, terutama pejabat publik, merespons persoalan intoleransi yang terjadi di negeri orang. Langkah pertama keseriusan itu adalah mengakui bahwa intoleransi agama adalah patologi sosial yang mulai ada di tengah bangsa ini dan yang mulai menggergaji tiang-tiang penyangga kebhinekaan bangsa.

Dwi Wajah Agama
Aksi kekerasan dan penyerangan yang terjadi terhadap jemaat gereja HKBP Ciketing, rencana jahat pembakaran Alquran serta aksi perobekan Alquran, adalah sebagian kecil dari ceceran sampah busuk kebiadaban yang bernama intoleransi agama. Intoleransi itu telah mengotori wajah agama dan wajah kemanusiaan kita di sepanjang sejarah dunia. Rentetan kebiadaban ini mengingatkan kita pada satu bahaya yang sangat serius, yaitu bahwa manusia bisa memoles agama sesuai dengan kepentingannya. Agama pun tampil dalam dwi wajah. Agama yang seharusnya menjadi perekat dan pembawa rahmat bagi kemanusiaan kadang dipelintir menjadi pemicu intoleransi. Sabda Allah berubah menjadi sabda manusia!
Dalam wajah yang santun, agama menolong umat membuka diri terhadap kemajuan peradaban serta mendorong umat untuk merangkul sang liyan dalam semangat cinta dan persaudaraan. Dalam tampilan lain, agama bertampang garang. Umat diindoktrinasi untuk menegakkan yang diyakininya dengan cara apa pun termasuk dengan cara kekerasan. Tampilan agama dengan wajah seperti ini, kata Buya Syafii Maarif, berpotensi mempercepat kiamat peradaban.
Realitas ini membelah respons umat dalam dua kutub. Kutub pertama adalah para perangkul agama berwajah manusiawi yang menilai penyerangan, penusukan dan berbagai tindakan intoleransi lainnya sebagai aib yang bertentangan dengan nilai-nilai agama manapun dan nilai-nilai kemanusiaan. Kutub lain berisi kaum sektarian-fundamentalistik yang menyeringai menyaksikan sang korban kekerasan meregang nyawa dalam genangan darah. Kenyataan terakhir ini mestinya membangkitkan pertanyaan: kalau agama itu menakutkan dan menimbulkan kekerasan, untuk apa ada agama?

Penyakit Kronis
Baik pada aras lokal maupun pada aras global, kuantitas dan kualitas kebiadaban yang menggunakan simbol-simbol agama makin meningkat. Kenyataan ini telah menjadi berita yang kita santap hampir setiap hari melalui berbagai media. Berbagai lembaga penelitian seperti Setara Institut dan Wahid Institut sudah berkali-kali memperingatkan tentang ini. Kapolri pun mengakui fakta buruk ini.
Fakta itu memamerkan dengan telak bahwa intoleransi agama di mana pun, termasuk di Indonesia, telah menjadi penyakit kronis yang membutuhkan penanganan serius. Celakanya, dalam kasus Indonesia, virus intoleransi agama telah menjadi pendemik yang menyerang bukan saja umat, tetapi juga para pejabat.
Misalnya dalam kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin. Meski warga jemaat sudah mengantongi surat izin pembangunan dan meski pembangunan rumah ibadahnya sudah dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Umum Negara, Wali Kota Bogor tetap tidak mengeluarkan izin bagi umat GKI Taman Yasmin untuk beribadah di sana. Sang Wali Kota bukan saja telah mengangkangi hukum, tetapi juga telah memamerkan intoleransi beribadah dan beragama.
Kasus intoleransi lainnya menimpa warga Ahmadiyah. Pembiaran kebiadaban yang terjadi terhadap jemaah Ahmadiyah di Manislor, Kuningan dan di Lombok menunjukkan betapa hukum telah diinjak-injak di hadapan aparat keamanan. Yang ironis dalam kasus Ahmadiyah ini adalah sikap Menteri Agama. Sebagai pejabat yang diberi tanggung jawab memelihara dan menjaga kebebasan beribadah dan beragama, Menteri Agama seharusnya membantu umat Ahmadiyah yang telah menjadi korban intoleransi. Yang terjadi justru sebaliknya. Menteri Agama justru menyemburkan kata-kata intoleran, yaitu ancaman untuk membubarkan komunitas Ahmadiyah. Padahal, komunitas ini sudah eksis di sini sejak tahun 1926, jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Ada apa dengan pejabat publik di negeri ini?
Para pejabat kita harus belajar tentang toleransi dari Presiden Barack Obama atau dari Wali Kota New York, Bloomberg, yang dengan tegas, atas nama toleransi beragama, membela kepentingan minoritas Islam yang hendak membangun rumah ibadah di dekat WTC. Intoleransi agama sebagai pendemik sosial ini tidak perlu disangkal apalagi ditutup-tutupi. Semakin disangkal, semakin menimbulkan kesan bahwa para pejabat kita tidak terlalu serius menangani persoalan ini. Semakin fakta intoleransi ini ditutupi, semakin memperkuat kesan bahwa intoleransi agama telah membebat aparat keamanan dan elite politik kita.
Patologi sosial ini tidak boleh diremehkan. Ketika kasus seperti ini diremehkan, ia berpotensi menimbulkan ledakan sosial seperti yang terjadi dalam konflik Ambon. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh terlambat meresponsnya. Aparat keamanan harus berani bertindak tegas. Suatu strategi kebudayaan lengkap dengan komitmen penegakan sistem hukum yang menjamin terciptanya toleransi yang sehat dan harmonis di negara ini harus segera disiapkan. Para pejabat harus belajar membatinkan sikap toleran sebagai bukti kesetiaannya terhadap moto bangsa Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan konstitusi bangsa (UUD 1945).
Masyarakat harus semakin kritis terhadap para pejabat publik yang intoleran. Para pemimpin agama harus semakin mempererat relasi mereka sambil terus-menerus membangun dialog dan kerjasama antar umat beragama dalam semua aspek kehidupan. Intoleransi agama adalah penyakit yang sangat serius. Keterlambatan meresponnya bisa menempatkan kita dalam situasi chaos seperti yang terjadi di Irak. Atau lebih parah dari itu, bisa memicu merobek-robek eksistensi bangsa seperti yang pernah dialami oleh Yugoslavia, India, dan Uni Soviet.
Ada aspek yang patut kita syukuri dalam kasus kekerasan yang dialami oleh warga HKBP Ciketing ini. Aspek itu adalah respons para pemuka berbagai agama yang mengecam, bahkan mengutuk aksi kekerasan dan intoleransi agama dalam bentuk apa pun. Sikap positif mereka menunjukkan bahwa agama sebagai sumber kekuatan moral dan kekuatan cinta masih menyala di dalam dada sebagian besar anak bangsa ini.

Penulis adalah Aktivis Masyarakat Dialog Antar Agama/Rohaniawan