Tuesday, May 11, 2010

Anomali RUU Halal Oleh: Joseph H. Gunawan

SUARA PEMBARUAN DAILY

Anomali RUU Halal


Joseph Henricus Gunawan

Saat ini, anggota DPR periode 2004-2009 yang tergabung dalam Panitia Kerja RUU Halal dan masa baktinya akan habis akhir September 2009, sedang mempercepat pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) atau RUU Halal. RUU ini, yang berisikan 12 bab, 44 pasal dan 75 ayat, diajukan Departemen Agama ke DPR untuk disetujui menjadi UU.
Timbul pertanyaan, apakah RUU Halal begitu penting untuk bangsa ini dalam mengatasi persoalan-persoalan pelik, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, dan ancaman krisis global yang masih belum pulih sepenuhnya, sehingga kehadirannya mesti dipaksakan dengan mengabaikan gemuruh suara penolakan dari berbagai lapisan masyarakat?
Indonesia, yang pluralis berpenduduk 231 juta jiwa pada 2009 memiliki 17.508 pulau, 33 provinsi, dan 300 kelompok etnik dan berbagai agama. Dari Sabang sampai Merauke, tiap etnik mempunyai kekayaan dengan beragam budaya, seni, ritual tradisi, adat, cara berpakaian, berbagai jenis produk minuman dan makanan kuliner yang berkembang selama berabad-abad, yang menunjukkan kemajemukan bangsa Indonesia, yang kini harus diseragamkan di bawah payung RUU Halal. Oleh karena itu, RUU Halal akan mengotak-ngotakkan masyarakat, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tidak mengherankan, pada kemudian hari akan membuka peluang munculnya masalah main hakim sendiri di dalam masyarakat disebabkan ketidaksepahaman.
Hingga saat ini, belum adanya kesepakatan lembaga mana yang menerbitkan sertifikasi halal menunjukkan adanya tarik-menarik kepentingan antarlembaga, yaitu antara Depag dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena UU Halal tersebut nantinya akan mengeliminasi peran lembaga audit sertifikasi halal Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM MUI), yang sudah berpengalaman selama 20 tahun terakhir ini dan telah menerbitkan lebih dari 11.500 sertifikasi halal dari 80.000 jenis produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, produk kimia biologik, dan produk rekayasa genetika yang diizinkan beredar di Indonesia. Ke depan, rencananya Depag akan mengambil alih peran lembaga audit sertifikasi halal, yang selama ini dipegang dan dilaksanakan oleh LPPOM MUI dan Komisi Fatwa MUI.
RUU Halal ini tidak dapat disahkan hanya karena ego seseorang atau kepentingan kelompok tertentu yang berusaha melakukan penyeragaman, itu pun kalau tidak mau dikatakan terkesan "kejar setoran" atau "dipaksakan" karena pada akhir masa jabatan DPR 2004-2009. Substansi RUU Halal tidak menjamin iklim yang toleran dan terbuka bagi keragaman, di mana akan dapat bertumbuh serta ikut menyejahterakan bangsa. Oleh karena itu, kemajemukan bangsa ini harus diprioritaskan. Bangsa yang demokratis adalah bangsa yang berani melindungi kepentingan dan harus mengakomodasi setiap warganya.
Pada sisi yang lain, RUU Halal ini juga tidak dibutuhkan dan seharusnya dihentikan pembahasannya untuk meredam potensi konflik lintas etnik dan lintas agama secara horizontal yang tidak perlu terjadi. Apakah tidak ada masalah lain yang lebih urgen dan mendesak dari keterpurukan bangsa ini dari ekonomi yang semakin mengimpit masyarakat luas. Urgensi RUU Halal perlu dipertanyakan kembali, karena tidak memerlukan undang-undang baru dan sudah ada undang-undang yang mengatur dan dapat diaktifkan. Jaminan payung hukum untuk melindungi konsumen sudah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Pangan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berpandangan undang-undang yang ada saat ini sudah cukup. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berpandangan, proses pembuatan RUU Halal yang tertutup dan tidak transparan memunculkan polemik halal-haram, yang tidak berujung dan motifnya bernuansa ekonomi, di mana berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi serta sangat rawan diselewengkan, karena jumlah produk terlalu banyak untuk labelisasi halal.
RUU Halal tampaknya tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan menambah masalah baru, yaitu menghancurkan persatuan dan kesatuan Indonesia yang telah dibina sejak bangsa ini didirikan dan tidak sesuai dengan cita-cita luhur founding fathers, yakni seluruh bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Dan akhirnya, integrasi bangsa terancam dan terpecah-pecah.
Jaminan "Fairness"
Meminjam pandangan John Borden Rawls (1921-2002), ahli filsafat politik Amerika Serikat dalam A Theory of Justice menyebutkan, meskipun keadilan formal dibutuhkan, namun tidak sepenuhnya mendukung ataupun mendorong terciptanya suatu masyarakat yang tertata rapi atau well-ordered society. Menurut Rawls, suatu konsep keadilan atau undang-undang dapat mengatur masyarakat secara efektif jika undang-undang bersangkutan dapat diterima secara umum, sedangkan keadilan formal cenderung dipaksakan secara sepihak, khususnya oleh pembuat undang-undang atau pemerintah. Jadi, Rawls merumuskan bahwa sebuah teori keadilan yang lebih memberikan tempat pada kepentingan semua pihak yang terjangkau kebijakan publik tertentu.
Rawls menyakini bahwa sebuah teori keadilan yang baik adalah teori keadilan yang bersifat kontrak, yang menjamin kepentingan semua pihak secara fair. Keadilan dalam arti fairness hanya dapat diimplementasikan secara efektif di dalam suatu masyarakat demokratis. Pentingnya jaminan fairness di dalam suatu masyarakat pluralistis dan harus merupakan hasil dari suatu kesepakatan yang fair dan hasil dari suatu prosedur yang tidak memihak. Keadilan yang bersifat kontrak tersebut sebelumnya sudah dikembangkan oleh John Locke (1632-1704), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dan Immanuel Kant (1724-1804).
Jaminan fairness yang begitu penting itu ternyata tak dipenuhi dalam pembahasan RUU Halal, karena adanya lembaga resmi negara atau departemen lain yang tidak diturut-sertakan dalam membahas poin-poin vital dan krusial. Seharusnya DPR lebih toleran dan mementingkan masyarakat yang berbeda-beda dan majemuk ini.
Pemerintah telah merambah ranah privat agama yang seharusnya tidak perlu diatur oleh negara. Dengan kata lain, negara telah ikut campur tangan terhadap urusan intern agama dalam hal ini urusan halal-haram dan telah melampaui batas kewenangan negara.
RUU Halal diyakini terlalu jauh mengatur ke dalam individu pribadi masing-masing manusia, dinilai terlalu menyentuh ranah privat manusia dan sudah menerabas hingga ruang privat.
Penulis adalah Peneliti pada Reformed Center for Religion and Society, Jakarta, alumnus University of Southern Queensland (USQ), Australia

Last modified: 14/9/09