Tuesday, March 5, 2013

Ahok, Jangan Pecahkan Batu! Oleh Rhenald Kasali

SINDO

15 November 2012

Ahok, Jangan Pecahkan Batu!

Oleh Rhenald Kasali

Hampir semua media minggu ini menurunkan berita tentang rapat yang dipimpin Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan Dinas Pekerjaan Umum (PU).

Berita ini ramai beredar di hampir semua media jejaring sosial dan dikomentari begitu luas. Akan berhasilkah Jokowi-Ahok memperbarui cara kerja unit pemerintahan yang ditanganinya? Setiap orang yang memimpin perubahan selalu punya cara. Ada cara “geram” bak membelah batu untuk mendapatkan pecahan-pecahan yang diinginkan, tetapi ada juga yang memilih cara memanaskan minyak yang membeku. Anda tinggal memilih, cara apa yang Anda lakukan.

Semua ada konsekuensinya dan ada masalahnya masing-masing. Namun satu hal yang jelas, Anda tak bisa mengontrol apa yang telah terjadi, tetapi Anda bisa menentukan bagaimana Anda bereaksi terhadap hal-hal yang telah terjadi. Reaksi Anda itulah pada akhirnya akan menentukan hasil apa yang bisa didapatkan dari perubahan yang Anda gulirkan. Mari kita lihat bagaimana Ahok membelah batu.

Membangunkan yang Tertidur

Seperti Anda, saya melihat Ahok melakukan rapat dengan Dinas PU di situs web video berbagi YouTube (diunggah 8 November 2012). Tanpa basa-basi, mantan Bupati Belitung Timur itu langsung mengarahkan anggaran Dinas PU untuk 2013 dipotong 25%. “Sebelum dimulai apakah pagu anggaran sudah dipotong 25% untuk biaya-biaya pembangunan ini, dan diduga dipotong 40% pun bisa. Kita potong 25% saja.

Saya kira fair, kami Gubernur dan Wakil Gubernur meminta 25% untuk kami dikembalikan dalam bentuk APBD, dipotong,“ kata Ahok. “Ini kita siarkan langsung di Youtube. Saya tidak ingin pembicaraan saya tidak diketahui semua orang. Semua jelas. Jadi, mulai hari ini pembahasan anggaran di DKI semua transparan, terbuka,” tegasnya dalam video itu.

Kalau pengurangan tersebut tidak dilakukan, dia berjanji akan membawa masalah ini ke KPK. “Kalau bapak-bapak ngotot tidak mau, saya akan taruh anggaran ini di website. Semua orang akan tahu. Akan saya minta KPK untuk periksa ini semua,” ujarnya. “Tidak usah berdebat. Kedua, saya hapus proyek itu. Kasih saya speknya. Saya akan bangun dengan uang operasional saya. Saya akan periksa kerjaan tahun-tahun lalu, saya akan buka koreng lama, saya akan proses ke KPK dan ke kejaksaan.”

Ahok juga mengatakan pihaknya akan mencopot seluruh pejabat Dinas PU hingga eselon III jika anggaran pembangunan tidak bisa disesuaikan. “Bukan mengancam. Atau yang kedua, pembangunan kita tunda, tapi kita copot sampai eselon III. Kita akan perang terbuka. PU tidak punya pilihan, yang jelas PU harus potong harganya,” tutur dia.

Sepintas tak ada yang salah. Sama seperti Anda, kita semua geram melihat cara kerja birokrasi yang dipercaya publik boros, tidak kritis, dan konon “mudah dibeli” oleh kelompok-kelompok tertentu. Politisi bermain, pengusaha preman ikut memeras, dan mereka membiarkannya. Begitulah jalan pikiran publik.

Memang selain melayani publik dengan servant leadership, “memecahkan batu” adalah cara yang lazim ditempuh orang-orang yang geram ketika mendapatkan kursi di pemerintahan untuk melakukan change! Batu yang dipecahkan adalah bagian dari manajemen mafia, yang berarti upaya memotong “tangan-tangan liar” yang membelenggu organisasi pemerintahan.

Di luar sana, seperti layaknya sebuah kekuatan mafia-like, para peserta tender sudah siap meraih kemenangan dengan badan-badan yang kuat. Ada ahli gebrak meja, ada yang bertugas melobi pejabat di kamar-kamar karaoke di sekitar area Mangga Besar dan daerah Kota, ada ahli hukum yang tak kalah gertak, dan ada “good guy” yang cukup senyum sana-sini di lapangan golf, atau jago-jago lain di gedung parlemen.

Semua saling terkait dan saling berbagi, melibatkan uang yang tidak sedikit. Bahkan sampai ke operator-operator di lapangan yang mengatur pembebasan lahan atau melibatkan ormas bayaran. Tak masalah “memecahkan batu” karena kita butuh pemimpin yang berani, yang heroik. Tapi benarkah ini efektif dalam melakukan perubahan?

Strategic Management

Dari CV-nya saya membaca Ahok pernah bersekolah di institut sekolah bisnis yang cukup terpandang. Jadi ia pasti tahu bagaimana mengambil langkah-langkah strategis. Semua itu harus dimulai dari selembar kertas, bukan dari omongan yang ditayangkan di YouTube. Omongan bisa berubah, tetapi strategi harus dibuat dengan argumentasi yang mendalam dan dibuat tertulis untuk dimengerti semua orang dalam lingkaran kerjanya.

Perubahan menuntut adanya birokrasi. Ibarat tidur beramai-ramai, mimpi kita harus sama sehingga jalannya juga sama. Iramanya beriringan. Tentu saja ini sulit. Menulisnya butuh waktu dan sakit kepala. Orang-orang Jepang yang sukses membangun berupaya memilih capek di depan dan bekerja dengan konsensus. Kalau di dalam sudah matang, baru digerakkan beramai-ramai. Lain strategic management, lain lagi change management. Di situlah “kegeraman” bermain. Letih, marah, gemas, dan ingin cepat melihat hasil.

Kata Jhon Kotter, upayakanlah “kemenangan-kemenangan jangka pendek”. Ahok pun membelah batu supaya segera ada hasil.Namun di layar video di YouTube saya melihat banyak birokratnya yang pura-pura tak menaruh perhatian. Asyik melihat-lihat kertas, bingung, tak berani berdebat, melihat BB, pasif, siap menerima nasib, atau ada kepura-puraan?

Saya tidak tahu persis. Tapi bukan birokrat namanya kalau orientasinya bukan komando. Tapi change management bukan war management yang asal gempur. Ahok harus berpikir lebih strategis, bukan sekadar memenangi pertempuran. Jenderal yang hebat bisa kehilangan satu dua battle field, tetapi akhirnya ia harus bisa memenangi perang. Nah apa jadinya bila cara membelah batu kita pakai?

Memanaskan Minyak

Di Samarinda bulan lalu, Elprisdat M Zein,Ketua Dewan Pengawas TVRI, memaparkan rencana-rencananya untuk meremajakan organisasi “tua” yang tengah ngos-ngosan itu. Di depannya duduk jajaran direksi, anggota Dewan Pengawas, dan para kepala stasiun yang dulu Anda sering lihat di layar kaca. Bedanya mereka kini sudah sangat berumur dan wajahnya tak seterkenal di masa lalu. Tapi dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan saat saya memaparkan cara menghadapi perubahan, suara mereka yang berwibawa masih saya kenali.

Hanya saja, mohon maaf, di mata anak-anak muda TVRI yang saya temui, sebagian besar orang-orang tua dianggap feodal, tak mau mendengarkan, sudah ketinggalan zaman, tidak terbuka terhadap diskusi, dan tentu saja iklim ini sangat bertentangan dengan industri yang mereka geluti: industri kreatif. Elprisdat yang mantan penyiar, produser, dan eksekutif di ANTV bukan tidak tahu itu.

Bedanya, ia menuangkan semua masalah itu di atas kertas dan membangun koalisi dengan orang-orang yang berada di dalamnya. Berbeda dengan cara Ahok membelah batu, Elprisdat menyatakan kepada saya bahwa ia tengah “memanaskan minyak yang membeku”. “Kalau membelah batu, maka residunya akan terasa di pojok dan residu-residu itu merasa terancam karena akan dibuang. Saya memilih memanaskan minyak agar semua bisa ikut berperan menghadapi perubahan.”

Saya ingin mengajak Ahok berpikir lebih strategis karena saya yakin Ahok mewakili kegemasan kita semua. Tapi kita perlu mengingatkan Ahok, cara yang ditempuh bisa rawan bagi organisasi. Sudah sering kita saksikan perubahan yang dilakukan dengan cara membelah batu berujung pada kesulitan demi kesulitan, bahkan sangat dialektis.

Kasusnya cukup banyak. Alih-alih melakukan sintesis kreatif, perubahan dengan cara ini justru menjadi sangat problematis karena kurang inspiratif ke dalam dan tak menampung partisipasi internal. Ahok perlu sedikit bersabar agar aparat-aparatnya berperang bersama dirinya melawan para mafia. Cara membelah batu memang heroik, tetapi bisa berakibat mereka akan bergabung bersama-sama para mafia melawan kita. Musuh perubahan itu bukanlah anak buah yang sangat bermain, melainkan yang di luar sana.

Kalau tidak berhati-hati perubahan akan berputar bak lingkaran setan seperti yang dapat Anda lihat dalam buku Change yang saya tulis 2005 lalu. Cara itu antara lain pernah ditempuh para direksi TVRI beberapa tahun lalu yang berakibat perubahan menjadi kandas dan perseteruan tak pernah berhenti. Mereka hanya sibuk berkelahi, bukan memperbaiki. Kini TVRI memang dalam fase baru perubahan.

Cara yang ditempuh bukan lagi membelah batu, melainkan memanaskan minyak yang membeku. Memang, ia tak lari sebanding RCTI, SCTV, Metro TV, atau TV One, tetapi ia pasti akan berubah. Tanpa perhatian, tetapi semua kelak akan ikut. Ahok perlu berefleksi agar jangan hanya fokus pada pemenangan pertempuran, melainkan memenangi peperangan.

Penulis adalah Ketua Program MM UI

Friday, February 1, 2013

Kinerja Program KB Nasional Jeblok Oleh Singgih B Setiawan

Suara Karya

28 Januari 2013

Kinerja Program KB Nasional Jeblok

Oleh Singgih B Setiawan

Jeblok. itulah kata yang tepat untuk menggabarkan kinerja program Keluarga Berencana (KB) Nasional selama lima tahun terakhir ini. Betapa tidak! Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan kinerja program KB Nasional selama lima tahun (2007-2012) berjalan stagnan, tidak menunjukkan peningkatan.

Sejumlah indikator krusial yang ditargetkan pada tahun ini gagal tercapai. Akibatnya, target pembangunan milenium (MDGs) pada 2015 nanti hampir mustahil dapat diwujudkan.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) merupakan survei statistik kesehatan/kependudukan yang paling diakui datanya secara internasional.

Survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap lima tahun sekali dan SDKI 2012 ini telah dibeberkan ke publik pada akhir November 2012 lalu.

Padahal sebelumnya, Indonesia sempat mencatat puncak keberhasilan program pengendalian penduduk melalui program KB sejak tahun 1970-an. Kala itu, Indonesia sudah dianggap sebagai negara yang berhasil dalam bidang pengendalian penduduk. Bahkan Indonesia diminta membantu mengajari negara-negara lain yang belum berhasil program kependudukannya.

Namun, setelah reformasi, program KB berantakan. Program KB ini kemudian direvitalisasi pada tahun 2007. Dengan adanya revitalisasi program KB, Indonesia diharapkan dapat terhindar dari ancaman ledakan penduduk. Namun apa yang terjadi, hasil sensus penduduk tahun 2010 mengumumkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 237,6 juta jiwa atau 3 juta lebih tinggi dari angka proyeksi penduduk.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang diberi mandat untuk menekan tingkat pertambahan penduduk kemudian melancarkan program-program mulai dari kampanye media sampai dengan menjalin kerja sama dengan TNI dan lembaga keagamaan hingga membuat program Generasi Berencana (GenRe).

Kerja keras selama 5 tahun yang dilakukan BKKBN ternyata pencapainnya tidak seperti yang diharapkan. Target yang dicanangkan banyak yang tidak tercapai.

Terdapat tiga indikator utama yang menunjukkan perjalanan program KB selama lima tahun belakangan ini gagal total. SDKI 2012 mencatat, rata-rata dari 100 perempuan usia subur yang menjadi peserta KB aktif (contraceptive prevalence rate -CPR) hanya mencapai 61,9 persen.

Kendati hasil ini mencapai peningkatan sekitar 0,04 persen dibanding hasil CPR pada SDKI 2007, namun hasil ini jauh dari target yang dicanangkan pada tahun 2012, yaitu CPR harus mencapai minimal 62-63 persen.

Selain CPR, BKKBN juga gagal memenuhi target penurunan rata-rata wanita usia subur yang melahirkan anak (total fertility rate - TFR). SDKI 2012 mencatat TFR pada tahun ini masih berada di kisaran 2,6 per perempuan usia subur.

Ini artinya rata-rata TFR 2012 masih sama dengan 2007 dan gagal mencapai target 2,4 pada tahun 2012. Dengan TFR 2,6, maka pasangan usia subur di Indonesia rata-rata masih memiliki 3-4 anak.

Dengan kondisi yang dihadapi pada saat ini, hampir mustahil target TFR 2,1 pada 2015 nanti bisa diraih. Pasalnya untuk mencapai TFR 2,1, syaratnya pemerintah harus bisa meningkatkan CPR minimal 68. Untuk menaikan CPR dari 61,9 menjadi 68 dalam jangka waktu sekitar kurang dari tiga tahun sangat berat sekali. Indikator yang paling menunjukkan pelaksanaan KB gagal dijalankan pemerintah, adalah tidak terlayaninya pasangan usia subur yang ingin ber-KB (unmeet need) yang gagal diturunkan sesuai target.

SDKI 2012 menunjukkan unmeet need pada tahun ini mencapai 8,9 persen atau hanya turun 0,02 persen dari SDKI 2007 yaitu 9,1 persen. Dengan raihan seperti ini, lagi-lagi secara teori mustahil untuk mengejar target unmeet need pada 2015 menjadi 5 persen.

Berbagai kegagalan pencapaian target pada tahun ini menunjukkan bahwa metode pelaksanaan KB yang diterapkan pada saat ini tidak tepat. Dia mencontohkan di sejumlah daerah, CPR-nya mengalami kenaikan, tetapi TFR-nya juga ikut naik. Ini aneh, peserta KB bertambah, tetapi tingkat kelahiran juga tinggi.

Dari penelusuran bisa ditarik kesimpulan, pemerintah kabupaten/kota gagal membina peserta KB baru untuk terus bertahan ber-KB, sehingga peserta putus KB di tengah jalan (drop out rate) tinggi.

Ke depan, agar KB bisa kembali bangkit, tidak bisa lain peran pemerintah daerah harus lebih ditingkatkan. Pasalnya, sejak otonomi daerah diberlakukan, sesuai undang-undang, urusan KB mutlak menjadi urusan kabupaten/kota. Saat ini kewenangan pusat untuk mendorong pelaksanaan KB di daerah terbatas. Pusat bisa memberikan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada daerah, namun DAK itu hanya boleh diperuntukan bagi sarana dan prasarana.

Untuk itu diperlukan alokasi dana dari APBD daerah untuk operasional pelaksanaan KB. Misalnya, pusat memberikan bantuan motor pada PLKB untuk bertugas, namun untuk bensin, tranportasi, dan lain-lain anggarannya harus dari daerah.

Sudah saatnya dilakukan sejumlah perubahan strategi dalam pelaksanaan program KB Nasional ke depan. Semoga!

Saturday, January 19, 2013

CHINA Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono

SINDO

20 Januari 2013

CHINA

Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono

Belum lama ini, tepatnya pada 9 Januari 2013, calon presiden Farhat Abbas menulis di Twitter-nya “Ahok sana sini protes plat pribadi B 2 DKI dijual polisi ke orang umum katanya!  Dasar Ahok plat aja diributin!   Apapun platnya tetap C*** ”.

Tulisan di Twitter ini langsung menangguk reaksi keras masyarakat, karena dianggap rasialis. Anton Medan, mantan narapidana yang sekarang jadi mubalig kondang, yang kebetulan juga keturunan China, bahkan akan tetap menuntut capres Farhat, walaupun Farhat sudah meminta maaf (lewat Twitter juga) dan Wagub Basuki (alias Ahok) sendiri tidak mempermasalahkannya. ”Ucapan Farhat Abbas merupakan kebencian terhadap etnis tertentu,” kata Anton di Markas Polda Metro Jaya. ”Karena Farhat tidak ada itikad baik, maka saya laporkan ke Polda Metro Jaya.”

Rasialisme bukan barang baru di Indonesia. Khususnya terhadap etnik China. Pada tahun 1741–1743, sebenarnya pasukan orang China pernah bersatu dengan tentara Jawa dalam memerangi Belanda. Pasukan gabungan China dan Jawa pernah mengepung Semarang dan hampir merebut pusat kekuatan Belanda di Jawa Tengah pada waktu itu, walaupun akhirnya pasukan China-Jawa harus menyerah karena persenjataan Belanda yang lebih canggih, dan juga karena Belanda dibantu oleh tentara Madura.

Sejak itu, Belanda lebih cerdik dalam bermain politik. Mereka menerapkan politik adu domba (devide et empera) yang kondang itu. Para bangsawan kerajaan Jawa di Mataram dibujuk sedemikian rupa, sehingga mereka terpecah menjadi empat kerajaan kecil-kecil (sampai hari ini masih ada dua “kerajaan”, di Yogyakarta dan di Surakarta). Di sisi lain, etnik China diberi konsesi dalam perdagangan dan pemimpin-pemimpin mereka diberi pangkat militer Belanda (letnan, kapten, mayor).

Bahkan sejak tahun 1818, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan UU segregasi yang membedakan tiga kelas warga negara, yaitu orang kulit putih sebagai WN kelas pertama, keturunan Timur asing sebagai WN kelas II, dan terakhir orang pribumi sebagai WN kelas III. Kelas-kelas kewarganegaraan itu membedakan fasilitas dan hak yang diberikan oleh negara, mulai hak atas pendidikan sampai hak untuk menggunakan sarana umum.

Keturunan Timur Asing (China, Arab, dan India) mempunyai hak yang hampir serupa dengan orang Eropa, sementara hak-hak orang pribumi sangat dibatasi. Misalnya keturunan asing boleh membuat sekolah sendiri yang setara dengan sekolah Belanda, bahkan boleh masuk sekolah Belanda, sementara di kalangan pribumi hanya keturunan bangsawan saja yang boleh masuk ke sekolah-sekolah Belanda.

Diskriminasi rasial ini seharusnya lenyap bersamaan dengan Proklamasi RI dan UUD 1945 yang menjamin hak yang sama untuk semua WNI, tanpa membedakan ras, suku, dan golongan. Tetapi UU tidak sama dengan praktik. Walaupun pemerintah Soekarno pernah mempunyai menteri-menteri keturunan China dalam kabinet-kabinetnya, dan Presiden Soeharto banyak bekerja sama dengan pemodal-pemodal keturunan China, diskriminasi tidak pernah berhenti.

Mulai pengurusan KTP sampai paspor dan izin usaha, selalu ada saja yang membuat WNI keturunan China harus lebih repot dari pada WNI asli (lebih banyak dokumen yang harus disiapkan, lebih mahal pungutan liarnya, perlakuan kasar sampai kurang ajar dari petugas). Mau masuk PTN (perguruan tinggi negeri) pun dijatah, tidak boleh lebih dari 10% WNI keturunan China yang bisa diterima di PTN. Jadi tentara atau polisi? Jangan mimpi.

Malah, agama dan budaya China pun pernah dilarang. Karena alasan-alasan politik, sejak 1966, kelenteng-kelenteng ditutup (sebagian bertransformasi menjadi wihara Buddha), dan koran-koran beraksara China dilarang. Waktu saya masih SD sampai SMA (sebelum G30S), setiap tahun saya menikmati acara Imlek dan Capgomeh di rumah teman-teman ayah saya. Lengkap dengan atraksi barongsai dan liong. Tetapi sejak 1966, semua lenyap bagaikan ditelan bumi.

Baru di masa pemerintahan Gus Dur, kebudayaan China dihidupkan lagi. Imlek dijadikan hari libur nasional. Setiap Imlek, barongsai dan liong beratraksi di mal-mal (sebagian pemainnya pribumi), bahkan sebuah stasiun TV menayangkan pelajaran bahasa Mandarin setiap hari. Walaupun demikian, prasangka dan stereotipe terhadap China tidak juga berhenti. Anehnya hal ini tidak terjadi pada keturunan Arab dan India yang dulu juga termasuk Timur asing.

Sebagian pakar menyatakan bahwa penyebabnya adalah pekerjaan orang China (terutama di Jawa dan Sumatera) yang bersifat pelayanan, khususnya dalam bidang distribusi/pengecer barang-barang kebutuhan pokok. Karena itu, orang China lebih banyak kontak dengan masyarakat pribumi papan menengah ke bawah, ketimbang orang Arab dan India yang bisnisnya lebih berkaitan dengan masyarakat papan menengah ke atas (bisnis properti dan bahan pakaian).

Salah satu stereotipe adalah seperti yang diungkapkan dalam kasus capres Farhat Abbas tersebut di atas. Kata “China”, untuk orang Indonesia tampaknya tetap merupakan ekspresi ketidaksenangan, bahkan kebencian pada etnik itu. Kehadiran Undang-Undang 40 Tahun 2008, khususnya Pasal 4 huruf (b) ayat (1) tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, tampaknya tidak berpengaruh apa-apa terhadap sikap rasialis itu. Sehingga kata C**** pun muncul dalam Twitter-nya capres Farhat.

Sudah barang tentu kata itu langsung memicu kemarahan publik yang antidiskriminasi, termasuk Anton Medan. Tetapi sebetulnya mengapa orang mesti marah? Di mana-mana China selalu dipanggil China. Negaranya bernama Republik Rakyat China. Di kota-kota besar seluruh dunia, selalu ada China Town (yang penuh restoran dan toko-toko yang menjual barang-barang eks atau khas China), dalam bahasa Inggris dipanggil Chinese (dilafalkan “Cainis”), dalam bahasa Belanda juga Chinese (dilafalkan “Shines”), dan orang Malaysia menyebutnya China juga.

Di Indonesia, kita tidak menyebutnya China, karena adanya konotasi (makna tersembunyi) pada kata itu, yaitu prasangka atau stereotipe itu tadi. Orang Indonesia percaya bahwa orang Indonesia keturunan China tidak akan tersinggung kalau dipanggil Tionghoa, atau meniru lafal bahasa Inggris “Cainis” (Chinese). Semasa saya kecil di Jawa Tengah, sebutan China masih netral, tetapi dalam bahasa gaul anak-anak, ada kata “China loleng” yaitu China yang hina, kotor, jijik, dan sebagainya.

Sebutan yang negatif itu tidak bisa diberlakukan pada kata “Tionghoa” atau “Caina”.Tidak ada kata “Tionghoa loleng”, apalagi “Caina loleng”. Karena itu, lebih aman untuk menyebut China dengan Tionghoa atau Caina (negara) atau Cainis (orang) saja. Celakanya, kebiasaan menghindari penggunaan kata “China” itu menurut kaidah psikolinguistik, justru mengakui bahkan memperkukuh makna diskriminatif dari kata “China” itu sendiri, yang seharusnya bermakna netral.

Maka siapa pun yang ingin melecehkan orang lain dengan prasangka rasial seperti Farhat, dengan mudah menemukan ekspresi yang tepat: China.Tambah celaka lagi, lafal “Caina dan Cainis” digunakan oleh para penyiar berita dari stasiun-stasiun TV. Saya kenal dengan salah satu presenter itu dan pernah saya BBM dia, ketika saya melihat dia membaca berita dan melafalkan “Caina”. “Kenapa ngagak kamu bilang CINA saja, sih?”, tanya saya di BBM. Jawabnya, “Instruksi dari pimpinan.”

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Monday, December 3, 2012

Guru dan Ancaman Intoleransi Oleh: Ali Rif'an

SUARA KARYA


28 November 2012

Guru dan Ancaman Intoleransi

Oleh Ali Rif'an

Indonesia saat ini menghadapi masalah krusial dihadapkan pada masa depan toleransi yang sedang dalam keadaan bahaya. Sebab, bibit-bibit radikalisme yang dapat mematikan toleransi itu ternyata bisa juga bersemayam dalam diri seseorang yang kerap disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, yakni guru. Fakta ini bisa disaksikan dari hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) beberapa waktu lalu.

Lakip menyurvei 590 guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di 10 kota di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Hasil survei itu menyebutkan bahwa responden, guru PAI, ada yang memberikan dukungan terhadap aksi kekerasan. Bahwa dua bahkan mendekati tiga dari 10 responden menyatakan kesediaan mereka jika ada pihak yang memobilisasi untuk terlibat dalam berbagai aksi kekerasan terkait dengan isu agama. Bahkan, beberapa responden cenderung membenarkan aksi kekerasan mengatasnamakan agama.

Fenomena ini tentu menjadi ikut mewarnai masa depan pendidikan sekaligus iklim toleransi di negeri ini. Sebab, apakah masih berlaku atau tidak, ada adagium yang mengatakan bahwa jika guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Artinya, jika gurunya saja bisa membenarkan aksi kekerasan dan tindakan intoleransi, bagaimana dengan muridnya.

Menurut Brenda Watson dalam Education and Belief (1987), salah satu sebab utama berkocolnya bibit radikalisme kuatnya ideologi atau komitmen agama yang dianut oleh sang guru. Sang guru dalam memahami agama terlalu rigit dan tekstual sehingga agama hanya mampu dicerna dari simbolnya saja, sementera substansi agama terabaikan, kalau tidak mau dibilang tercerabut. Hal itu ditambah dengan kurangnya wawasan kebangsaan dan toleransi yang dimiliki oleh guru.

Karena itu, sudah saatnya pada momentum hari guru yang jatuh pada hari Senin lalu ada semacam refleksi bersama ihwal "karakter" keberagamaan yang dimiliki oleh seorang guru. Dengan kata lain, para guru khususnya guru agama dalam mengajarkan materi-materi keagamaan harus memiliki bekal wawasan kebangsaan dan kemajemukan.

Guru harus memahami bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk individual dan komunal, suka hidup bersama, mengelompokkan diri, saling membutuhkan, saling berelasi, dan saling mempengaruhi. Sentimen agama dan kelompok secara berlebihan hanya akan menimbulkan kehidupan kian retak. Dalam hal ini, Karen Armstrong (2000) pernah mengatakan bahwa fanatisme agama secara membabi buta bisa mendatangkan tindakan-tindakan intoleransi.

Sebab, kemajemukan, termasuk dalam bidang keagamaan, merupakan ciri khas masyarakat Indonesia. Konsekuensi dari kemajemukan itu tentu saja kebutuhan dan kewajiban untuk menerima dan mengusahakan kerukunan dan toleransi. Masyarakat atau umat beragama yang menolak atau merusakkan kerukunan dan toleransi pada dasarnya menolak atau merusakkan kemajemukan dalam masyarakatnya. Mereka lupa bahwa kerukunan dan toleransi merupakan kebutuhan hakiki dari kemanusiaan yang universal, yakni tidak dapat ditolak dan wajib diusahakan oleh setiap insan.

Karena itu, perlu juga bagi seorang guru belajar tentang arti pentingnya multikulturalisme sebagai modal memperkuat wawasan kebangsaan. Sebab dalam spirit multikultural mengandung beragam prinsip penting, pertama, prinsip universalitas, yakni sebagi unsur-unsur yang sangat luas persebarannya dan dapat dianggap sebagai unsur kebudayaan yang menunjukkan persamaan (cultural similarity). Kedua, prinsip kesetaraan (equality), sebagaimana diamanatkan UUD 1945 bahwa semangat kesetaraan disamping keanekaragaman dalam pengembangan kebudayaan bangsa, sebagaimnana tercermin tentang arah kemajuan harus terus ditempuh, juga agar setiap orang seyogyanya mampu menuju keadaban yang maju, budaya dan persatuan bangsa.

Spirit inilah yang nantinya akan menggiring watak guru menjadi inklusif, terbuka oleh kritik dan masukan. Guru sebagai suluh peradan tentu mutlak memegang prinsip seperti itu. Sebab maju-mundurnya suatu bangsa tak lepas dari peran seorang guru. Guru perannya sangat sentral dalam posisinya di dunia pendidikan, bahkan kehidupan masyarakat. Lebih dari itu, posisi guru juga sangat strategis dalam menanamkan watak dan karakter terhadap anak didik. Ketika guru telah membenarkan tindakan anarkisme, hal itu akan terus dingat oleh sang murid sampai ia besar kelak. Inilah yang dapat dianggap berbahaya.

Karena itu, spirit multikultural sekaligus watak toleransi harus dimiliki oleh seorang guru secara substansial. Para guru (juga) bisa belajar dari ulama-ulama besar seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i. Banyak orang yang kagum dengan cara berfikir para cendekiawan muslim ini. Abu Hanifah, misalnya, dalam hidupnya selalu berusaha menghilangkan fanatisme terhadap sebuah pendapat. Ia selalu membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain untuk mengeluarkan pendapatnya.

Ia pernah berkata, "Ucapan kami ini adalah pendapat kami, menurut kami ini benar, bila ada seseorang memiliki pendapat yang lebih baik dan lebih benar, maka pendapat itulah yang berhak diambil."

Begitu pula dengan Imam Syafi'i. Ia adalah sosok yang meletakkan konsep penting tentang berdialog, menghindari fanatisme dan tidak mudah mencela pendapat orang lain. Imam Syafi'i pernah berkata, "Pendapat kami benar adanya, tapi memungkinkan adanya kesalahan, pendapat dari orang selain kami salah adanya tapi memungkinkan adanya kebenaran."

Penulis adalah Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Penerima Beasiswa Program Sekolah Demokrasi dari Belanda.

Friday, November 2, 2012

Pidato Muzadi dan Intoleransi Oleh: Victor Silaen

SINAR HARAPAN


20 Juni 2012

Pidato Muzadi dan Intoleransi

Oleh Victor Silaen

Nama KH Hasyim Muzadi kerap disebut-sebut dalam media-media sosial akhir-akhir ini. Pasalnya, pidato mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini, akhir Mei lalu, begitu tegas membantah tudingan tentang adanya intoleransi agama di Indonesia. Pidato yang disampaikan Muzadi di Sidang PBB di Jenewa, dalam kapasitasnya sebagai Presiden World Coference on Relegions for Peace (WCRP), itu antara lain menyinggung soal GKI Yasmin dan menyebut Indonesia sebagai negara muslim.

“Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim mana pun yang setoleran Indonesia. Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah Ahmadiyah, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi politik Barat,” ujarnya. Ia mengatakan, seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak akan dipersoalkan oleh umat Islam. “Kalau yang jadi ukuran adalah GKI Taman Yasmin Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain daripada masalahnya selesai,” kata Muzadi.

Saya ingin mengkritik beberapa hal terkait pidato tersebut. Pertama, tepatkah mengatakan Indonesia adalah “negara muslim”? Istilah ini sungguh absurd. Kalau “muslim” berarti “orang-orang yang beragama Islam”, apakah Indonesia merupakan negara untuk orang-orang yang beragama Islam saja? Jelas tidak. Atas dasar itu ke depan, siapa pun hendaknya tak lagi menyebut Indonesia sebagai “negara muslim”. Tidakkah teramat jelas bagi kita bahwa Indonesia bukanlah sebentuk negara agama, melainkan negara berdasarkan Pancasila? Dalam Pancasila memang ada Sila Pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, bukankah sila tersebut sama sekali tak menyebut agama tertentu?

Kedua, apa maksud Muzadi mengatakan “… tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain daripada masalahnya selesai”? Muzadi jelas harus bertanggung jawab atas ucapannya itu. Sebab, sepanjang yang saya ketahui langsung dari jemaat maupun kuasa hukum GKI Yasmin, mereka justru ingin mendapatkan penyelesaian atas masalah ini selekas mungkin. Itu sebabnya, meski pihak GKI Yasmin secara hukum sudah jelas “menang” di tingkat Mahkamah Agung (MA), yang lalu diperkuat dengan rekomendasi Ombudsman, mereka masih mau juga diajak memperbincangkan masalah ini, entah itu dengan pihak Kementerian Dalam Negeri, DPR, dan lainnya. Bahkan yang terkemudian, pihak GKI Yasmin bersedia diundang oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang Hukum dan HAM Albert Hasibuan – termasuk dengan pihak Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) — untuk membahas masalah ini. Ketika awal Mei lalu akhirnya Wantimpres (bersama Wantanas) merekomendasikan solusi atas kasus GKI Yasmin versus Pemkot Bogor ini adalah “membangun masjid di samping gedung GKI Yasmin, sehingga dengan begitu ada semacam simbol kerukunan beragama dan toleransi beragama”, pihak GKI Yasmin pun dengan senang hati menerimanya.

Namun, kalau rekomendasi tersebut ternyata tak juga diterima oleh Wali Kota Bogor, pantaskah pihak GKI Yasmin yang dipersalahkan? Ataukah pihak GKI Yasmin hanya dapat dibenarkan jika mereka “menerima tawaran untuk bersedia direlokasi” — sebagaimana yang selalu dikatakan pihak Pemkot Bogor dan Kemdagri sebagai solusi atas masalah ini? Nampaknya solusi tersebut memang baik. Tapi, tak pernahkah terpikir oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto dan Mendagri Gamawan Fauzi (termasuk Presiden Yudhoyono, yang pernah berjanji pada 16 Desember 2011, di rumahnya sendiri di Cikeas, untuk turun-tangan langsung menyelesaikan masalah ini), bahwa solusi “relokasi” tersebut merupakan sebentuk pelecehan terhadap putusan MA dan rekomendasi Ombudsman yang memerintahkan Wali Kota Bogor untuk taat hukum?

Jadi, siapa sesungguhnya yang tak ingin masalah ini selesai? Kalau Muzadi mengatakan “Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain…”, mohon dijelaskan secara bertanggung jawab: siapa yang lebih senang masalah ini tak selesai dan apa yang dimaksud kepentingan lain itu? Bagi pihak GKI Yasmin sendiri, apa untungnya beribadah secara “gerilya”, kali ini di rumah warga dan kali lain di depan Istana Merdeka – setelah sekian lamanya mereka beribadah di trotoar dekat gereja tapi kemudian dihalau massa intoleran? Sungguh, demi bertahan dalam kebenaranlah mereka rela berjerih-lelah hingga kini.

Harus Terbuka
Ketiga, tentang Indonesia yang toleran menurut Muzadi, saya kira kita harus terbuka menerima hasil pelbagai survei selama ini: bahwa Indonesia memang kian intoleran dari era ke era. Berita dari situs tempo.co (5/6/2012), yang mengutip hasil survei lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. “Masyarakat menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman. Tapi, mereka ragu-ragu menoleransi keberagaman,” kata Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte, dalam diskusi bertajuk “Demokrasi Minim Toleransi” di kantornya, 5 Juni lalu. Philips mencontohkan, masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tapi, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan rumah ibadah.

Dalam survei tersebut, sebanyak 59,5 persen responden tak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Tapi sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian dilakukan pada Februari lalu di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan. Philips mengatakan hasil survei itu bisa menggambarkan persoalan mengapa begitu banyak kasus pelarangan pembangunan rumah ibadah seperti kasus GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. “Ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah,” kata Philips.

Terkait itu maka tak heran jika Indonesia menjadi sorotan sejumlah negara dalam Sidang Universal Periodical Review (UPR) 2nd Cycle di Jenewa, 23 Mei lalu. Bukankah fakta bicara bahwa dari era ke era selalu ada saja gereja yang dirusak/ditutup paksa? Bahkan di era Yudhoyono (2004-2010), ada sekitar 2.442 gereja yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan paksa (Manado Post, 17/5/2012). Itu baru gereja, belum termasuk rumah ibadah umat lainnya.

Jadi, lebih bijaklah jika kita dengan rendah hati mengakui bahwa ada yang salah di negara ini terkait meningkatnya intoleransi dewasa ini. Pertama, sikap pembiaran dari pemerintah. Kedua, pendidikan nilai-nilai Pancasila yang gagal. Untuk yang pertama, tak bisa tidak, supremasi hukum harus ditegakkan. Untuk yang kedua, bukan proyek sosialisasi miliaran rupiah yang harus dilakukan, melainkan para pemimpin yang harus memberi keteladanan konkret di dalam kehidupan sesehari.

Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.

Wednesday, October 24, 2012

Teologi Hukuman Mati Oleh: Masdar Farid Mas’udi

KOMPAS


24 Oktober 2012

Teologi Hukuman Mati

Masdar Farid Mas’udi

Kegaduhan di negeri ini terus silih berganti. Yang paling mutakhir adalah gaduh di seputar penghapusan hukuman mati.

Menyusul keputusan Hakim Agung Imran yang menjatuhkan hukuman mati atas pemilik pabrik narkoba (Henky Gunawan), Presiden SBY melalui grasinya melakukan hal yang sama atas penjahat kakap narkoba yang berbeda (Deni Setia dan Meirika Franolia). Imran mengganti hukuman mati hanya dengan 12 tahun penjara, presiden menggantinya dengan hukuman seumur hidup.

Keduanya pun mendapat kecaman publik yang keras dan luas. Imran digugat: bagaimana mungkin hukuman mati atas kejahatan gembong narkoba diganti hanya dengan 12 tahun penjara, belum lagi dipotong remisinya? Dibayar berapa dia? Soal presiden: bukankah beliau sendiri yang menobatkan kejahatan narkoba (dan korupsi) sebagai kejahatan luar biasa. Namun, mengapa hukumannya diubah layaknya kejahatan biasa.

Seperti dimaklumi, penjahat narkoba bukan saja membunuh begitu banyak manusia, melainkan membunuh mereka pelan-pelan dengan penderitaan lahir batin yang panjang. Di atas segalanya semua itu dilakukan demi keuntungan materi semata.

Soal Hukuman Mati
Hukuman mati adalah hukuman yang sangat kuno. Boleh jadi sejak ada orang yang merasa berhak menegakkan hukum (penguasa), hukuman mati sudah menjadi pilihan menghukum kejahatan besar. Jika tidak menghukum mati secara fisik, sekurang-kurangnya secara sosial dengan dibuang atau diasingkan, yang akhirnya juga akan mati karena dimakan binatang.

Zaman dulu penjara berupa bangunan kokoh dengan segala fasilitasnya belum tersedia dan mungkin dianggap tak praktis, bertele-tele, makan biaya, dan tentu saja rawan korupsi. Hukuman mati, potong tangan, cambuk, denda, dan sebagainya menjadi pilihan yang praktis, murah, dan menjerakan.

Namun, menghukum mati memang perkara besar. Sekali dikenakan dan salah, tidak mungkin diperbaiki. Apalagi dulu, hukuman mati lazim dikenakan dengan teknik yang begitu mengerikan, seperti pernah dipraktikkan selama berabad-abad oleh para penguasa di berbagai belahan bumi. Penguasa China kuno, misalnya, tercatat sebagai rezim penghukum mati yang teramat sadis. Membaca dokumennya, perut langsung mual dan bulu kuduk berdiri.

Mengadopsi "kearifan" yang berkembang di masyarakat, kitab suci agama-agama pun ikut menerapkan. Perjanjian Lama mengenakan hukuman mati untuk beberapa kejahatan (Keluaran 21:22; 21:16; 22:19). Melalui Santo Agustinus dan Thomas Aquinas, merujuk Surat Paulus kepada Jemaat Roma 13:4, selama berabad-abad gereja menilai hukuman mati jalan efektif mencegah kejahatan dan melindungi pihak tak bersalah. Kemudian, mewarisi tradisi Taurat (Perjanjian Lama) dan tradisi gereja abad Pertengahan, Al Quran mengadopsi hukuman mati atas kejahatan tertentu dengan catatan.

Namun, ada yang berbeda: jika di masyarakat umum hukuman mati cenderung menganut logika dendam (pembalasan mesti lebih kejam dari tindakan), kitab-kitab suci mengambil hukuman mati atas nalar penjeraan dan kesetimpalan (keadilan). Membalas itu masuk akal, tetapi tak boleh melampaui tindakan. "Kami (Tuhan) tetapkan dalam Taurat (Perjanjian Lama), bahwa nyawa dibalas nyawa (hukuman mati), mata dibalas mata, hidung dibalas hidung, telinga dibalas telinga, gigi dibalas gigi dan setiap luka dibalas luka". (Al Quran [5]: 45).

Ketetapan Taurat (Perjanjian Lama) ini bukan saja dianut umat Yahudi dan berpengaruh di kalangan Kristiani, melainkan secara eksplisit diadopsi juga oleh Al Quran umat Islam. Inilah yang disebut qisas, hukuman setimpal sebagai hukuman maksimal, yang memesankan: jika kamu tak ingin disakiti, janganlah menyakiti; jika tak mau dipukul, janganlah memukul; jika tak ingin dibunuh, janganlah membunuh. Walhasil, jika tak ingin dirampas hak asasi, janganlah merampas hak asasi orang lain. Inilah kaidah keadilan universal.

Melampaui Keadilan
Memang di atas keadilan, ada norma lain yang lebih unggul dan mulia di mata Allah ataupun manusia, yakni kasih yang diterjemahkan dalam bentuk pengampunan terhadap yang salah, baik sebagian maupun keseluruhan. Maka normanya, tidak selalu nyawa mesti dibalas nyawa, mata dibalas mata. Ada pilihan lain yang lebih terpuji dan lebih disukai Allah: ganti rugi (diyat) atau bahkan pengampunan sama sekali, sebagaimana ditegaskan oleh kelanjutan ayat Al Quran surat al-Maidah: "Barang siapa dari keluarga korban yang mau bersedekah (dengan tidak menuntut mati atas si pembunuh, melainkan cukup ganti rugi atau bahkan pengampunan sama sekali), maka hal itu merupakan penebusan bagi si pelaku" (Al Quran [5]: 33). Ganti rugi sangat relevan, terutama atas nyawa korban yang notabene tulang punggung ekonomi keluarga.

Yang perlu dicatat, menurut Kitab Suci, apa yang akan dikenakan terhadap si pembunuh, hukuman setimpal (kisas), ganti rugi, atau pengampunan penuh, yang memutuskan bukanlah negara, melainkan keluarga korban. Negara hanya mengukuhkan keputusan keluarga dan memastikan eksekusinya. Alasannya sederhana dan jelas: bukan negara, melainkan keluarga korban yang secara emosional dan sosial pemikul beban perkara. Jadi jelas dalam ajaran Alkitab maupun Al Quran, peluang menjatuhkan atau menghindari hukuman mati memang terbuka. Terutama untuk pembunuhan perseorangan demi pembelaan diri dari penyerangan, perampokan, atau penganiayaan beruntun, seperti dialami tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

Persoalannya bisa jadi lain ketika korban pembunuhan langsung atau tak langsung bukan cuma perseorangan, melainkan massal. Al Quran menyebut kejahatan ini hirabah dan ifsad fil ardl penghancuran masyarakat atau dalam bahasa HAM, kejahatan kemanusiaan. Tidak ada balasan lain untuk mereka kecuali dihukum mati, disalib, atau dipotong tangan dan kakinya.

Sementara itu, yang dilakukan bandar narkoba dan lebih-lebih pemilik pabriknya bukanlah pembunuhan orang seorang, melainkan pembunuhan massal secara generasional alias kejahatan kemanusiaan. Termasuk jenis kejahatan ini: korupsi.

Penghormatan kepada hak asasi hanya masuk akal untuk manusia yang punya setitik hati untuk menghormati hak asasi orang lain. Adalah absurd orang yang tidak peduli dengan hak asasi orang, tetapi menuntut orang lain dan masyarakat untuk menghormati hak asasinya. Yang wajib dicatat, penjahat kemanusiaan dengan korban yang begitu masif, seperti penjahat narkoba dan koruptor, tujuannya tidak lain: "sebesar-besar keuntungan pribadi secara materi dengan sebesar dan seluas-luasnya korban di pihak lain".

Al Quran masih memberikan kesempatan. Jika sebelum negara berhasil menghukum kedua penjahat kemanusiaan itu ternyata yang bersangkutan diketemukan benar-benar telah bertobat dengan meninggalkan seluruh bisnis haramnya dan dengan sukarela mengembalikan semua uang haram hasil kejahatan narkoba atau korupsinya, mereka pun berhak tak dihukum mati atau diampuni. Bila tidak, hukuman mati adalah yang terbaik bagi yang bersangkutan ataupun masyarakat dan negara!

Masdar Farid Mas’udi adalah Rois PBNU; Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia

Thursday, April 12, 2012

Kepentingan Versus Nilai Oleh: Mudji Sutrisno

Koran Jakarta

11 April 2012

Kepentingan Versus Nilai

Oleh MUDJI SUTRISNO

Ketika Sigmund Freud dengan psikoanalisisnya menemukan dorongan terkuat dalam diri manusia untuk hidup adalah hasrat dan digumpalkan dalam libido yang di dalamnya berupa daya hidup (eros) lawannya daya perusak (thanatos) orang disadarkan untuk mengontrolnya melalui “akal budi” atau kesadaran rasionalitas.

Di sini, kesadaran yang awalnya merupakan pengontrol atas hasrat, lalu berfungsi semakin penting karena bertugas pula untuk “menerima apa adanya dan memproses pengalaman-pengalaman traumatik manusia kalau dia mau hidup sehat psikisnya”. Hasrat adalah ranah spontan yang netral. Artinya, begitu dia menyeruak muncul, kontrol akal budilah yang dengan kesadarannya menimbang untuk dituruti atau ditunda atau disublimasi. Namun, soal hasrat menghasrati ini akan semakin rumit manakala F. Nietszshe menunjuk adanya hasrat untuk terus berkuasa atau kekuasaan (the will to power).

Bagaimanakah menyikapinya? Sejalan dengan penemuan Freud, ketika hasrat muncul untuk berkuasa, ada tiga pilihan dalam memenuhi. Semuanya tetap diatur kesadaran akal budi rasional manusia. Pertama, dipenuhi melalui prinsip realitas. Artinya, realitas yang ada, bisa tidak menjadi ajang perwujudan hasrat ini.

Kedua, dipenuhi dan dituruti demi prinsip penikmatan. Kalau hasrat itu akan memberi nikmat, penuhi sajalah. Ketiga, melalui jalan tengah prinsip sublimasi, tak bisa memenuhi dengan dua cara tadi lalu membelokkan dan mengganti agar tersalurkan lewat pemenuhan pengganti.

Karena fungsi kesadaran rasional amat menentukan untuk menimbang pemenuhan hasrat-hasrat manusia ini, para pemikir seperti Jurgen Habermas memasukkan unsur pokok adanya kepentingan atau interes dalam kesadaran rasional manakala mau mewujudkan hasrat tersebut.

Hasrat ingin tahu dan menjelajahi dunia demi informasi baru merupakan cognitive interest. Keinginan untuk berkomunikasi pada sesama manusia merupakan communicative interest. Pendorong demi perubahan yang lebih humanis dan menyejahterakan disebut transformative interest. Di titik inilah, orang-orang kadang melupakan pentingnya menemukan jembatan antara hasrat menggelora yang disebut nilai. Sebenarnya, ini juga sudah coba diatur kesadaran akal budi.

Pengaturan itu melalui pertimbangan kepentingan yang mau dipenuhi, yaitu wilayah yang secara kultural dinamai nilai. Ranah nilai adalah wilayah penghayatan hidup manusia dengan rasionalitas akal budi. Hal ini secara tulus dalam nurani mendasarkan pilihan pemenuhan hasrat dan kepentingan-kepentingan berdasarkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang dihayati sebagai baik, benar, dan indah yang diserap oleh anak manusia yang sejak lahir belajar sampai mencapai life wisdom. Jadi, bukan hanya pandai secara kognitif, melainkan kebijaksanaan hidup yang semakin mencerdaskan agar makin beradab sebagai manusia. Pokok ini tidak asing di ranah kultural Nusantara. Contoh, di mana bumi dipijak, di situ hendaknya langit dijunjung.

Nilai yang berharga sebagai benar, baik, atau indah oleh seseorang atau komunitasnya dihayati dan diwujudkan dalam perilaku dan tindakan setiap hari. Ketika nilai dihayati dalam hidup, Rokeach (dalam The Nature of Human Values, 1973) menegaskannya sebagai keyakinan yang berharga. Maka dari itu, dia menjadi acuan hidup.

Di sinilah, konkretnya, manakala hasrat berkuasa muncul dengan kepentingannya menyeruak keluar, dia berhadapan dengan pertimbangan rasional dengan nilai-nilai dalam diri orang tersebut dan komunitasnya. Namun, muncul pertanyaan gugatan dalam hati: akan kulakukan dan kuwujudkan atau tidak? Karena hasrat berkuasa mendesak terus menerus minta dipenuhi, lalu dibuat konsensus untuk mengatur dan mengerem melalui hukum. Yuridis diperlukan untuk membatasi pelaksanaan kekuasaan dan membagi ke dalam legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Fakta sejarah peradaban hukum ini saja sudah merupakan bukti bahwa kehendak berkuasa (will to power) yang direduksi dalam kata politik tanpa kontrol nilai etisnya akan menghancurkan peradaban manusia seperti dilakukan Mussolini, Hitler, atau raja-raja lalim seperti Louis XIV di Prancis atau Amangkurat IV di Jawa.

Perang

Bila hasrat dalam kepentingan mau berkuasa terus menerus perang tanding melawan nilai, di manakah jalan keluarnya? Pertama, dikemukakan Habermas dalam komunikasi terbuka untuk mencari titik temu berupa “kepentingan bersama” dengan menomorduakan kepentingan ego.

Ide Habermas menemui kebuntuan kritis lantaran berdasar pengalaman tidak ada yang rela membuka hasrat dan kepentingan tersembunyinya. Masyarakat Indonesia diingatkan mengenai ini lewat pepatah “ada udang di balik batu”. Maka, dalam debat terbuka, kepentingan versus nilai harus benar-benar jujur berani membuka kepentingan masing-masing, kemudian memilih komunikasi terbuka yang disepakati untuk diwujudkan. Pokok ini harus terwujud lebih dulu.

Lihatlah, diskusi tipu-tipu soal kenaikan harga BBM dalam sidang paripurna DPR hingga dini hari (31/3). Itu bisa dianalisis betapa hasrat kuasa, kelicikan, seolah memenuhi aspirasi rakyat yang sampai berdarah-darah dalam bentrok dengan polisi. Di sini, nilai tidak dipakai sama sekali. Rapat paripurna hanya seolah-olah demi nilai.

Diluar sidang, mahasiswa diperlakukan secara irasional, sedangkan buruh dianggap musuh yang harus dihajar di medan tempur bersama jalanan dan dibarikade kawat duri. Para demonstran diposisikan melawan polisi. Padahal, unjuk rasa adalah sebuah pengucapan pendapat tidak setuju (atau setuju). Istana sama sekali tidak membuka dialog, bahkan ditinggal pergi penghuninya. Yang tinggal hanya penjaga dan barikade kawat berduri.

Tidak ada jalan lain, selain membuka lagi kesadaran rasionalitas dalam mengontrol hasrat dan menaruh kepentingan komunikatif dan transformatif karena ini sudah diperjuangkan dengan keringat dan darah para pendiri bangsa. Kontrol hasrat memperkaya, keserakahan adalah lewat kepastian hukum yang berkeadilan. Kontrol lain lewat jalan demokrasi. Suara rakyat adalah suara kejujuran yang adalah suara Tuhan. Itulah vox populi vox dei. Di sini, setiap subyek anak negeri mesti benar-benar belajar menanggungjawabi hidup dengan nilai benar, baik, dan indah. Jadi, bukan dengan melempar tanggung jawab, saling mengambinghitamkan, apalagi lari dari tanggung jawab.

Penulis adalah Guru Besar STF Driyarkara dan UI