Friday, February 1, 2013

Kinerja Program KB Nasional Jeblok Oleh Singgih B Setiawan

Suara Karya

28 Januari 2013

Kinerja Program KB Nasional Jeblok

Oleh Singgih B Setiawan

Jeblok. itulah kata yang tepat untuk menggabarkan kinerja program Keluarga Berencana (KB) Nasional selama lima tahun terakhir ini. Betapa tidak! Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan kinerja program KB Nasional selama lima tahun (2007-2012) berjalan stagnan, tidak menunjukkan peningkatan.

Sejumlah indikator krusial yang ditargetkan pada tahun ini gagal tercapai. Akibatnya, target pembangunan milenium (MDGs) pada 2015 nanti hampir mustahil dapat diwujudkan.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) merupakan survei statistik kesehatan/kependudukan yang paling diakui datanya secara internasional.

Survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap lima tahun sekali dan SDKI 2012 ini telah dibeberkan ke publik pada akhir November 2012 lalu.

Padahal sebelumnya, Indonesia sempat mencatat puncak keberhasilan program pengendalian penduduk melalui program KB sejak tahun 1970-an. Kala itu, Indonesia sudah dianggap sebagai negara yang berhasil dalam bidang pengendalian penduduk. Bahkan Indonesia diminta membantu mengajari negara-negara lain yang belum berhasil program kependudukannya.

Namun, setelah reformasi, program KB berantakan. Program KB ini kemudian direvitalisasi pada tahun 2007. Dengan adanya revitalisasi program KB, Indonesia diharapkan dapat terhindar dari ancaman ledakan penduduk. Namun apa yang terjadi, hasil sensus penduduk tahun 2010 mengumumkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 237,6 juta jiwa atau 3 juta lebih tinggi dari angka proyeksi penduduk.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang diberi mandat untuk menekan tingkat pertambahan penduduk kemudian melancarkan program-program mulai dari kampanye media sampai dengan menjalin kerja sama dengan TNI dan lembaga keagamaan hingga membuat program Generasi Berencana (GenRe).

Kerja keras selama 5 tahun yang dilakukan BKKBN ternyata pencapainnya tidak seperti yang diharapkan. Target yang dicanangkan banyak yang tidak tercapai.

Terdapat tiga indikator utama yang menunjukkan perjalanan program KB selama lima tahun belakangan ini gagal total. SDKI 2012 mencatat, rata-rata dari 100 perempuan usia subur yang menjadi peserta KB aktif (contraceptive prevalence rate -CPR) hanya mencapai 61,9 persen.

Kendati hasil ini mencapai peningkatan sekitar 0,04 persen dibanding hasil CPR pada SDKI 2007, namun hasil ini jauh dari target yang dicanangkan pada tahun 2012, yaitu CPR harus mencapai minimal 62-63 persen.

Selain CPR, BKKBN juga gagal memenuhi target penurunan rata-rata wanita usia subur yang melahirkan anak (total fertility rate - TFR). SDKI 2012 mencatat TFR pada tahun ini masih berada di kisaran 2,6 per perempuan usia subur.

Ini artinya rata-rata TFR 2012 masih sama dengan 2007 dan gagal mencapai target 2,4 pada tahun 2012. Dengan TFR 2,6, maka pasangan usia subur di Indonesia rata-rata masih memiliki 3-4 anak.

Dengan kondisi yang dihadapi pada saat ini, hampir mustahil target TFR 2,1 pada 2015 nanti bisa diraih. Pasalnya untuk mencapai TFR 2,1, syaratnya pemerintah harus bisa meningkatkan CPR minimal 68. Untuk menaikan CPR dari 61,9 menjadi 68 dalam jangka waktu sekitar kurang dari tiga tahun sangat berat sekali. Indikator yang paling menunjukkan pelaksanaan KB gagal dijalankan pemerintah, adalah tidak terlayaninya pasangan usia subur yang ingin ber-KB (unmeet need) yang gagal diturunkan sesuai target.

SDKI 2012 menunjukkan unmeet need pada tahun ini mencapai 8,9 persen atau hanya turun 0,02 persen dari SDKI 2007 yaitu 9,1 persen. Dengan raihan seperti ini, lagi-lagi secara teori mustahil untuk mengejar target unmeet need pada 2015 menjadi 5 persen.

Berbagai kegagalan pencapaian target pada tahun ini menunjukkan bahwa metode pelaksanaan KB yang diterapkan pada saat ini tidak tepat. Dia mencontohkan di sejumlah daerah, CPR-nya mengalami kenaikan, tetapi TFR-nya juga ikut naik. Ini aneh, peserta KB bertambah, tetapi tingkat kelahiran juga tinggi.

Dari penelusuran bisa ditarik kesimpulan, pemerintah kabupaten/kota gagal membina peserta KB baru untuk terus bertahan ber-KB, sehingga peserta putus KB di tengah jalan (drop out rate) tinggi.

Ke depan, agar KB bisa kembali bangkit, tidak bisa lain peran pemerintah daerah harus lebih ditingkatkan. Pasalnya, sejak otonomi daerah diberlakukan, sesuai undang-undang, urusan KB mutlak menjadi urusan kabupaten/kota. Saat ini kewenangan pusat untuk mendorong pelaksanaan KB di daerah terbatas. Pusat bisa memberikan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada daerah, namun DAK itu hanya boleh diperuntukan bagi sarana dan prasarana.

Untuk itu diperlukan alokasi dana dari APBD daerah untuk operasional pelaksanaan KB. Misalnya, pusat memberikan bantuan motor pada PLKB untuk bertugas, namun untuk bensin, tranportasi, dan lain-lain anggarannya harus dari daerah.

Sudah saatnya dilakukan sejumlah perubahan strategi dalam pelaksanaan program KB Nasional ke depan. Semoga!