Saturday, January 19, 2013

CHINA Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono

SINDO

20 Januari 2013

CHINA

Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono

Belum lama ini, tepatnya pada 9 Januari 2013, calon presiden Farhat Abbas menulis di Twitter-nya “Ahok sana sini protes plat pribadi B 2 DKI dijual polisi ke orang umum katanya!  Dasar Ahok plat aja diributin!   Apapun platnya tetap C*** ”.

Tulisan di Twitter ini langsung menangguk reaksi keras masyarakat, karena dianggap rasialis. Anton Medan, mantan narapidana yang sekarang jadi mubalig kondang, yang kebetulan juga keturunan China, bahkan akan tetap menuntut capres Farhat, walaupun Farhat sudah meminta maaf (lewat Twitter juga) dan Wagub Basuki (alias Ahok) sendiri tidak mempermasalahkannya. ”Ucapan Farhat Abbas merupakan kebencian terhadap etnis tertentu,” kata Anton di Markas Polda Metro Jaya. ”Karena Farhat tidak ada itikad baik, maka saya laporkan ke Polda Metro Jaya.”

Rasialisme bukan barang baru di Indonesia. Khususnya terhadap etnik China. Pada tahun 1741–1743, sebenarnya pasukan orang China pernah bersatu dengan tentara Jawa dalam memerangi Belanda. Pasukan gabungan China dan Jawa pernah mengepung Semarang dan hampir merebut pusat kekuatan Belanda di Jawa Tengah pada waktu itu, walaupun akhirnya pasukan China-Jawa harus menyerah karena persenjataan Belanda yang lebih canggih, dan juga karena Belanda dibantu oleh tentara Madura.

Sejak itu, Belanda lebih cerdik dalam bermain politik. Mereka menerapkan politik adu domba (devide et empera) yang kondang itu. Para bangsawan kerajaan Jawa di Mataram dibujuk sedemikian rupa, sehingga mereka terpecah menjadi empat kerajaan kecil-kecil (sampai hari ini masih ada dua “kerajaan”, di Yogyakarta dan di Surakarta). Di sisi lain, etnik China diberi konsesi dalam perdagangan dan pemimpin-pemimpin mereka diberi pangkat militer Belanda (letnan, kapten, mayor).

Bahkan sejak tahun 1818, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan UU segregasi yang membedakan tiga kelas warga negara, yaitu orang kulit putih sebagai WN kelas pertama, keturunan Timur asing sebagai WN kelas II, dan terakhir orang pribumi sebagai WN kelas III. Kelas-kelas kewarganegaraan itu membedakan fasilitas dan hak yang diberikan oleh negara, mulai hak atas pendidikan sampai hak untuk menggunakan sarana umum.

Keturunan Timur Asing (China, Arab, dan India) mempunyai hak yang hampir serupa dengan orang Eropa, sementara hak-hak orang pribumi sangat dibatasi. Misalnya keturunan asing boleh membuat sekolah sendiri yang setara dengan sekolah Belanda, bahkan boleh masuk sekolah Belanda, sementara di kalangan pribumi hanya keturunan bangsawan saja yang boleh masuk ke sekolah-sekolah Belanda.

Diskriminasi rasial ini seharusnya lenyap bersamaan dengan Proklamasi RI dan UUD 1945 yang menjamin hak yang sama untuk semua WNI, tanpa membedakan ras, suku, dan golongan. Tetapi UU tidak sama dengan praktik. Walaupun pemerintah Soekarno pernah mempunyai menteri-menteri keturunan China dalam kabinet-kabinetnya, dan Presiden Soeharto banyak bekerja sama dengan pemodal-pemodal keturunan China, diskriminasi tidak pernah berhenti.

Mulai pengurusan KTP sampai paspor dan izin usaha, selalu ada saja yang membuat WNI keturunan China harus lebih repot dari pada WNI asli (lebih banyak dokumen yang harus disiapkan, lebih mahal pungutan liarnya, perlakuan kasar sampai kurang ajar dari petugas). Mau masuk PTN (perguruan tinggi negeri) pun dijatah, tidak boleh lebih dari 10% WNI keturunan China yang bisa diterima di PTN. Jadi tentara atau polisi? Jangan mimpi.

Malah, agama dan budaya China pun pernah dilarang. Karena alasan-alasan politik, sejak 1966, kelenteng-kelenteng ditutup (sebagian bertransformasi menjadi wihara Buddha), dan koran-koran beraksara China dilarang. Waktu saya masih SD sampai SMA (sebelum G30S), setiap tahun saya menikmati acara Imlek dan Capgomeh di rumah teman-teman ayah saya. Lengkap dengan atraksi barongsai dan liong. Tetapi sejak 1966, semua lenyap bagaikan ditelan bumi.

Baru di masa pemerintahan Gus Dur, kebudayaan China dihidupkan lagi. Imlek dijadikan hari libur nasional. Setiap Imlek, barongsai dan liong beratraksi di mal-mal (sebagian pemainnya pribumi), bahkan sebuah stasiun TV menayangkan pelajaran bahasa Mandarin setiap hari. Walaupun demikian, prasangka dan stereotipe terhadap China tidak juga berhenti. Anehnya hal ini tidak terjadi pada keturunan Arab dan India yang dulu juga termasuk Timur asing.

Sebagian pakar menyatakan bahwa penyebabnya adalah pekerjaan orang China (terutama di Jawa dan Sumatera) yang bersifat pelayanan, khususnya dalam bidang distribusi/pengecer barang-barang kebutuhan pokok. Karena itu, orang China lebih banyak kontak dengan masyarakat pribumi papan menengah ke bawah, ketimbang orang Arab dan India yang bisnisnya lebih berkaitan dengan masyarakat papan menengah ke atas (bisnis properti dan bahan pakaian).

Salah satu stereotipe adalah seperti yang diungkapkan dalam kasus capres Farhat Abbas tersebut di atas. Kata “China”, untuk orang Indonesia tampaknya tetap merupakan ekspresi ketidaksenangan, bahkan kebencian pada etnik itu. Kehadiran Undang-Undang 40 Tahun 2008, khususnya Pasal 4 huruf (b) ayat (1) tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, tampaknya tidak berpengaruh apa-apa terhadap sikap rasialis itu. Sehingga kata C**** pun muncul dalam Twitter-nya capres Farhat.

Sudah barang tentu kata itu langsung memicu kemarahan publik yang antidiskriminasi, termasuk Anton Medan. Tetapi sebetulnya mengapa orang mesti marah? Di mana-mana China selalu dipanggil China. Negaranya bernama Republik Rakyat China. Di kota-kota besar seluruh dunia, selalu ada China Town (yang penuh restoran dan toko-toko yang menjual barang-barang eks atau khas China), dalam bahasa Inggris dipanggil Chinese (dilafalkan “Cainis”), dalam bahasa Belanda juga Chinese (dilafalkan “Shines”), dan orang Malaysia menyebutnya China juga.

Di Indonesia, kita tidak menyebutnya China, karena adanya konotasi (makna tersembunyi) pada kata itu, yaitu prasangka atau stereotipe itu tadi. Orang Indonesia percaya bahwa orang Indonesia keturunan China tidak akan tersinggung kalau dipanggil Tionghoa, atau meniru lafal bahasa Inggris “Cainis” (Chinese). Semasa saya kecil di Jawa Tengah, sebutan China masih netral, tetapi dalam bahasa gaul anak-anak, ada kata “China loleng” yaitu China yang hina, kotor, jijik, dan sebagainya.

Sebutan yang negatif itu tidak bisa diberlakukan pada kata “Tionghoa” atau “Caina”.Tidak ada kata “Tionghoa loleng”, apalagi “Caina loleng”. Karena itu, lebih aman untuk menyebut China dengan Tionghoa atau Caina (negara) atau Cainis (orang) saja. Celakanya, kebiasaan menghindari penggunaan kata “China” itu menurut kaidah psikolinguistik, justru mengakui bahkan memperkukuh makna diskriminatif dari kata “China” itu sendiri, yang seharusnya bermakna netral.

Maka siapa pun yang ingin melecehkan orang lain dengan prasangka rasial seperti Farhat, dengan mudah menemukan ekspresi yang tepat: China.Tambah celaka lagi, lafal “Caina dan Cainis” digunakan oleh para penyiar berita dari stasiun-stasiun TV. Saya kenal dengan salah satu presenter itu dan pernah saya BBM dia, ketika saya melihat dia membaca berita dan melafalkan “Caina”. “Kenapa ngagak kamu bilang CINA saja, sih?”, tanya saya di BBM. Jawabnya, “Instruksi dari pimpinan.”

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.