Monday, February 20, 2012

DAYAK MENYELAMATKAN PLURALISME INDONESIA Oleh: Aju

SINAR HARAPAN

13 Februari 2012

DAYAK MENYELAMATKAN PLURALISME INDONESIA

Oleh: Aju

Di Kalbar, massa FPI nyaris bentrok dengan suku Dayak karena berencana menyerang gereja. Wajar jika kehadiran FPI di Kalteng ditolak.

Sebuah SMS dari nomor tidak dikenal masuk ke telepon genggam, Jumat (10/2), pukul 09.00 malam. “Sebagai aksi penolakan terhadap FPI di Kalteng, berdasarkan hasil rapat DAD/MADN hari ini, maka Sabtu, 11 Februari 2012, pukul 09.00 WIB di Bundaran Besar akan diadakan pelantikan Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak Kalteng. Semua warga Dayak diundang hadir menggunakan ikat kepala berwarna merah. Tolong sebarluaskan informasi ini. Amun beken itah eweh hindat!”

FPI singkatan dari Front Pembela Islam, DAD singkatan Dewan Adat Dayak dengan level pengurus tingkat provinsi, dan MADN singkatan dari Majelis Adat Dayak Nasional dengan level pengurus mencakup empat provinsi di Kalimantan. Sementara Bundaran Besar salah satu tempat strategis di Palangkaraya, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Amun beken itah eweh hindat adalah bahasa Dayak Ngaju yang artinya, “kalau tidak kita, siapa lagi”.

Awalnya isi sms itu tidak terlalu saya hiraukan, karena sudah terbiasa terjadi menjelang perhelatan politik di Kalimantan yang selalu mengedepankan strategi politik identitas. Apalagi di Provinsi Kalimantan Barat tengah digelar tahapan pelaksanaan pemilihan langsung serentak gubernur dan wakil gubernur, serta wali kota dan wakil wali kota Singkawang periode 2013-2018.

Tapi Sabtu pukul 10.15, Kepala Polisi Daerah Kalimantan Tengah Brigjen (Pol) Damianus Jackie dibuat kalang kabut mendengar massa menduduki bandara, sehingga mesti meluncur ke Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya.

Rusak Tenda

Damianus Jackie, seorang muslim yang taat dari Suku Dayak Kanayatan, Desa Darit, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, Propinsi Kalimantan Barat itu, turun langsung menenangkan ribuan warga suku Dayak dengan ikat kepala warna merah, yang memprotes kedatangan Ketua Umum FPI Habib Rizieq, Wakil Sekretaris Jenderal Habib Muhsin Al Atas, Ketua Bidang Dakwah KH Alwi Masykuri, dan Panglima FPI Ustad Maman.

Massa berhasil dikendalikan. Rombongan FPI yang menumpang pesawat Sriwijaya tidak jadi turun dari pesawat. Mereka dipaksa melanjutkan perjalanan ke Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Gubernur Kalteng Agustinus Teras Narang ikut pula menenangkan massa di Bandara Tjilik Riwut, Sabtu itu sekitar pukul 11.30. kebetulan Agustinus adalah pemangku jabatan Ketua MDAN.

Berhasil menggagalkan kedatangan pentolan FPI, massa warga Dayak lain yang sejak Sabtu pagi mengepung kediaman Habib Muhri di Jalan Meranti, Palangkaraya, merusak dan membakar tenda yang sedianya dijadikan tempat pelantikan Pengurus FPI Provinsi Kalteng. Massa kemudian melanjutkan perjalanan untuk menghadiri pelantikan Pengurus Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak (MPMAD) Provinsi Kalteng di Bundaran Besar, Palangkaraya.

Wakil Ketua DAD Provinsi Kalteng Lukas Tingkes mengatakan, MPMAD bertujuan menjaga dan mengawal tak hanya hak adat masyarakat Dayak, tetapi juga berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan di Provinsi Kalteng.

Virus Kekerasan

Lukas Tingkes mengatakan, DAD Provinsi Kalteng sudah jauh hari sebelumnya mengirim surat kepada Kapolda Kalteng agar menolak keras keberadaan organisasi FPI. FPI dinilai tidak lebih dari virus pembawa budaya kekerasan yang berimplikasi kepada perpecahan segenap komponen masyarakat di Provinsi Kalteng.

Tokoh Masyarakat Dayak Uud Danum Provinsi Kalteng, Napa Irang Awat, mengatakan insiden di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, sebagai peringatan keras bagi pemerintah, agar bersikap lebih tegas terhadap sebuah komonitas masyarakat yang selalu mengedepankan budaya kekerasan dalam menyelesaikan persoalan, dengan berlindung di balik agama tertentu.

“Sesuai undang-undang, FPI sebagai sebuah organisasi massa memang berhak beraktivitas di Provinsi Kalteng. Tapi masyarakat di Provinsi Kalteng lebih mengutamakan terciptanya rasa keamanan dan ketertiban masyarakat,” kata Napa.

Insiden di Kalbar

Menurut Napa Irang Awat, mantan Rektor Universitas Palangkaraya, kalau FPI ingin dibentuk di Kalteng, mesti ada jaminan secara nasional bahwa FPI tidak lagi bertindak sebagai pelaku kekerasan di dalam menyelesaikan berbagai permasalahan.

Berdasarkan catatan SH, di Provinsi Kalimantan Barat, FPI pernah tiga kali nyaris bentrok dengan massa masyarakat suku Dayak, terkait isu penyerangan Gereja Katedral Santo Josep, Pontianak Selatan, karena tersinggung dengan pernyataan Paus Benedictus VI tentang budaya kekerasan tahun 2006, kemudian protes terhadap kehadiran Gereja Katolik Paroki Bunda Maria Jeruju, Pontianak Barat tahun 2006, dan protes keberadaan Patung Naga di tengah Kota Singkawang tahun 2009.

Rencana penyerangan FPI ke tiga tempat itu dibatalkan, karena massa dari suku Dayak sudah terlebih dahulu berada di lokasi yang akan diserang. Di Singkawang, terkait protes terhadap keberadaan Patung Naga, massa FPI lari tunggang langgang, malah ada yang menabrak tembok, lantaran dikepung massa suku Dayak.