Wednesday, November 9, 2011

Lagi-lagi soal Perbatasan Oleh: Hikmahanto Juwana

KOMPAS

12 Oktober 2011

Lagi-lagi soal Perbatasan

Oleh HIKMAHANTO JUWANA

Isu perbatasan Indonesia-Malaysia kembali merebak. Kali ini yang jadi pokok persoalan adalah batas darat yang berada di Provinsi Kalimantan Barat.

Dusun Camar Bulan, satu dari dua dusun di wilayah Desa Temajuk, kini mencuat namanya. Demikian pula Tanjung Datu yang berada di Kabupaten Sambas.

TB Hasanuddin, anggota DPR, mengindikasikan, di dua lokasi tersebut patok bergeser. Indonesia pun diargumentasikan telah kehilangan kedaulatan. Berbagai wacana pun muncul.

Tiga isu pokok

Apabila mencermati berbagai wacana yang berkembang. Ada tiga isu pokok yang dapat dipilah dan bisa jadi tidak berkaitan, tetapi dikait-kaitkan.

Isu pertama menyangkut penentuan titik perbatasan. Meski telah mengadopsi dan mengakui perjanjian perbatasan Inggris dan Belanda di Borneo pada 1891, di sejumlah titik Indonesia-Malaysia masih saling klaim. Saling klaim ini disebut outstanding boundary problems (OBP).

Ada 10 titik OBP di perbatasan Kalimantan, salah satunya disebut sebagai OBP Tanjung Datu. Di sanalah lokasi Dusun Camar Bulan berada.

Permasalahan OBP Tanjung Datu muncul karena Komisi I DPR mempermasalahkan titik yang lebih berpihak ke Malaysia. Titik itu telah disetujui Indonesia dan Malaysia, dituangkan dalam nota kesepahaman (MOU) pada pertemuan di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1978.

MOU 1978 dipermasalahkan karena pengertian batas-batas alam (watershed) dalam Perjanjian 1891 dan identifikasinya di lapangan. Tim Indonesia-Malaysia ketika mencari watershed tak menemukannya. Namun, ketika metode diubah, barulah watershed ditemukan. Sayangnya, watershed yang ditemukan jauh memasuki wilayah Indonesia. Lebih disayangkan lagi ternyata watershed inilah yang kemudian disepakati pada tahun 1978.

Pertanyaannya, apakah MOU 1978 telah mengikat bagi Indonesia? Apakah kesepakatan tersebut tidak dapat dibatalkan?

Secara hukum internasional, titik itu belum mengikat kedua negara. Pertama, karena titik-titik dalam OBP belum dituangkan dalam perjanjian perbatasan Indonesia dan Malaysia. Kedua, berdasarkan Pasal 10 Huruf (b) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, perjanjian yang menyangkut penetapan batas harus disahkan DPR. Ketiga, dalam perundingan perbatasan, apa pun kesepakatan oleh tim teknis sewaktu-waktu dapat dibatalkan jika tak diterima lembaga tinggi setiap negara. Kesepakatan teknis tak dapat mengesampingkan alasan politis kedua negara.

Oleh karena itu, jika MOU 1978 tak bisa diterima pemerintah saat ini, sebaiknya proses lanjutan untuk dituangkan dalam perjanjian internasional tidak diteruskan. Namun, apabila pemerintah bersikukuh menghormati MOU 1978, DPR dapat tidak mengesahkan perjanjian perbatasan yang diajukan.

Isu kedua terkait Camar Bulan dan Tanjung Datu adalah bergesernya patok-patok yang pernah ada. Masalahnya siapa pihak yang memindahkan patok ini? Apakah pemindahan itu oleh pemerintah dan otoritas Malaysia? Sepertinya tak mungkin karena perbatasan antarnegara ditentukan oleh koordinat-koordinat yang dituangkan dalam dokumen tertulis, termasuk perjanjian perbatasan. Selain itu, foto udara dan satelit dengan mudah mengidentifikasi apabila ada pergeseran.

Pergeseran patok diduga dilakukan oknum aparat ataupun warga demi keuntungan finansial. Tujuannya sederhana, yakni untuk mengelabui aparat yang berpatroli di perbatasan. Bagi mereka yang berniat jahat berupa penebangan kayu ilegal, mengelabui aparat jadi penting. Harapan mereka patroli Indonesia akan mengira penebangan hutan dilakukan di wilayah Malaysia, bukan di Indonesia.

Isu ketiga terkait ketakpuasan warga di perbatasan yang merasa diabaikan. Meski tak langsung terkait sengketa tumpang tindih antara Indonesia dan Malaysia di Tanjung Datu, ada warga yang terdorong untuk menggeser patok-patok di desa mereka agar wilayah mereka masuk Malaysia dan, karena itu, mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Untuk masalah ini, pemerintah harus lebih memperhatikan kesejahteraan warga masyarakat yang ada di perbatasan.

Segera direspons

Menghadapi mencuatnya masalah perbatasan, pemerintah seolah tak punya prosedur tetap dalam merespons publik yang sangat kritis, utamanya apabila berhadapan dengan Malaysia. Pemerintah seolah tidak belajar dari pengalaman sebelumnya yang rutin datang setiap tahun.

Pemerintah seharusnya cepat mengidentifikasi yang jadi isu dan secara cepat melakukan verifikasi dan mendapatkan data. Selanjutnya, pemerintah harus segera berbicara kepada publik terkait berbagai segi dari masalah perbatasan yang muncul.

Satu hal yang perlu dihindari oleh pemerintah adalah publik marah kepada pemerintah bahkan kepada Pemerintah Malaysia atas data dan informasi yang kurang akurat. Ini tentu akan merepotkan posisi pemerintah, terutama ketika harus berhadapan dengan Malaysia.

HIKMAHANTO JUWANA
Guru Besar Hukum Internasional UI