Wednesday, May 4, 2011

Toleransi yang Tercederai Oleh: Victor Silaen

INVESTOR DAILY

9-10 April 2011

Toleransi yang Tercederai

Oleh Victor Silaen

Dunia mengenal Indonesia sebagai negara pluralis dengan semangat toleransi yang mengagumkan. Namun, eskalasi kekerasan atas nama agama yang terjadi belakangan ini tampaknya mengharuskan kita untuk merevitalisasi semangat toleransi selama ini.

Sebanyak 27 anggota Kongres Amerika Serikat (AS) pada medio Maret lalu mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait masalah yang dihadapi oleh jemaah Ahmadiyah. Mereka menyatakan prihatin melihat eskalasi kekerasan yang dialami jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Keprihatinan ke-27 anggota Kongres AS itu jelas bertolak belakang dengan rasa kagum Presiden AS Barack Obama yang berkunjung ke Indonesia pada November tahun lalu. Dalam pidatonya di kampus UI Depok, Obama memuji semangat toleransi di Indonesia.

Ia kagum bahwa semangat toleransi tidak hanya tertuang dalam konstitusi, tapi terlihat jelas dalam kehidupan nyata. Kita bisa dengan mudah melihat masjid, gereja, dan kuil yang berdiri bersebelahan satu dengan yang lain. Selain itu, Indonesia memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu. Semua ini adalah kekayaan negara Indonesia yang dapat dijadikan contoh untuk dunia.

Hadapi Ujian Berat

Namun, dalam hari-hari belakangan ini, Indonesia seperti sudah tak lagi menghargai pluralisme. Toleransi mulai terusik oleh tindak kekerasan yang dilakukan sekelompok orang yang membawa-bawa label agama. Demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) kini sedang mendapat ujian paling berat. Ancaman dan gangguan terhadap kebebasan beragama dan beribadah begitu kerapnya terjadi. Anehnya, pemerintah dan aparat keamanan seolah tak berdaya menghadapi semua itu.

Mengapa semua jadi begini? Banyak faktor yang menyebabkan toleransi kini nyaris mati. Salah satu faktor adalah penghayatan agama yang terlalu eksklusif dan cenderung ekstrem. Bukankah sejak kecil kita sering diajarkan oleh orangtua, guru, kiai, pendeta, pastor, untuk menghormati ajaran agama-agama lain?

Jelas, agama yang satu dan agama yang lain itu tak sama. Bahkan hampir setiap agama melahirkan beberapa denominasi atau sempalan akibat perbedaan internal. Selebihnya kita hanya harus menghormati kebenaran-kebenaran yang mereka imani. Dengan begitulah kita niscaya mampu bertoleransi, juga berempati kepada sesama yang berbeda. Itulah yang bisa menumbuhkan kearifan di tengah kebersamaan hidup yang dipenuhi pusparagam.

Faktor kedua adalah negara yang selama ini tak pernah tegas terhadap kaum pembunuh pluralisme. Tak adanya sikap tegas dari aparat keamanan membuat para vigilante (kelompok warga sipil yang gemar melakukan kekerasan demi tujuan tertentu dan mengambil alih peran aparat penegak hukum) pun kian menjadi-jadi.

Pasca tewasnya tiga warga Ahmadiyah dalam tragedi berdarah Cikeusik, apakah sudah ada langkah nyata yang dilakukan pemerintah terhadap para pelaku aksi brutal itu? Ternyata tidak juga. Instruksi Presiden SBY dengan mencari jalan legal untuk membubarkan organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) yang sering menimbulkan keresahan pun seperti angin lalu saja.

Setelah lebih dari sebulan, alih-alih ada ormas anarkistis yang dibubarkan, justru Ahmadiyah kian dilucuti. Bukannya semakin dilindungi, Ahmadiyah malah diperlakukan lebih diskriminatif melalui peraturan yang dikeluarkan oleh beberapa pemerintah daerah provinsi (sudah lebih dari 16 provinsi) maupun kabupaten/kota.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah prosesi “penobatan” para pengikut Ahmadiyah melalui sebuah operasi yang disebut Operasi Sajadah. Jadi, bukannya langkah hukum yang perlu diambil untuk menindak para pelaku kekerasan, malah Ahmadiyah dikambinghitamkan sebagai biang keroknya. Inilah yang disebut viktimisasi korban.

Hal yang sama juga terjadi di Bogor. Di kota itu, jemaat GKI Taman Yasmin mengalami ketidakpastian bertahun-tahun lamanya untuk dapat membangun rumah ibadah sampai-sampai harus beribadah di trotoar sebanyak 11 kali. Itu pun sulit dan kerap dihalang-halangi karena dianggap mengganggu ketertiban. Buka tutup gembok gereja juga telah dialami berkali-kali. Pernah segel gereja dicabut, tapi hanya berumur 1x24 jam, karena kemudian disegel kembali akibat tekanan pihak tertentu. Ironis, pemerintah kalah oleh kehendak segelintir orang.

Semua langkah hukum telah dilakukan pihak GKI Taman Yasmin, mulai dari upaya sosialisasi, negosiasi, proses peradilan, pelaporan kepada Komnas HAM, Ombudsman RI, Presiden RI, Komnas HAM Asean hingga PBB, dan upaya mengampanyekannya di media lokal, nasional dan internasional. Namun, hingga kini, mereka masih harus berjuang untuk memperoleh hak beribadah.

Pihak Pemkot Bogor malah terkesan tak peduli terhadap putusan Mahkamah Agung No.127 PK/TUN/2009 yang menyatakan bahwa surat izin mendirikan bangunan (IMB) yang dimiliki pihak GKI Taman Yasmin sah. Menurut pengacara GKI Taman Yasmin, Pemkot Bogor akan membatalkan IMB GKI Taman Yasmin dan akan membayar kerugian pengurusan IMB dan merelokasi dan membeli tanah serta bangunan GKI Taman Yasmin. Hal ini sangat berbeda dengan pernyataan mereka sebelumnya bahwa Pemkot Bogor akan membuka gembok segel gereja dan siap melaksanakan keputusan MA.

Agak mengherankan bahwa Pemkot Bogor sepertinya tidak ikhlas bila warga gereja GKI Taman Yasmin beribadah di sana. Ada apa gerangan?

UU Kebebasan Beragama

Kasus yang menimpa Ahmadiyah dan GKI Taman Yasmin hanyalah contoh betapa semangat toleransi kian memudar di tengah masyarakat yang pluralistis ini. Ini persoalan serius yang tak bisa diselesaikan hanya dengan sebuah instruksi presiden, yang terbukti tak sepenuhnya diikuti oleh aparat di bawahnya.

Ke depan kita tidak memerlukan UU Kerukunan Beragama, sebab kerukunan tak perlu diatur secara kaku. Kita justru lebih membutuhkan UU Kebebasan Beragama. Kebebasan beragama dan menjalankan ibadah keagamaan adalah hak asasi yang harus dilindungi oleh hukum. Tak seorang pun berhak merebut hak asasi ini dari tangannya.

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan