Monday, March 7, 2011

Temanggung Dulu dan Kini Oleh: Tri Agus Susanto

KORAN JAKARTA

11 Februari 2011

Temanggung Dulu dan Kini

Oleh TRI AGUS SUSANTO

Membeku hati dalam perjalanan//tinggalkan kampung halaman//Alam yang sejuk penuh kedamaian//kini harus kutinggalkan//Temanggung//Temanggung//Temanggung sayang.

Tahun lalu, di sebuah akun situs jaringan sosial Facebook yang dimiliki orang Temanggung, terjadi diskusi menarik. Diskusi dimulai sebuah pertanyaan: Apa yang terlintas saat pertama mendengar kata “Temanggung”? Jawaban tentu beragam tergantung siapa yang menjawab. Dari kota yang bersih, indah dan sejuk sampai kekhasan warganya. Namun ada tiga jawaban dominan yaitu: tembakau, Titiek Puspa, dan teroris.

Tembakau merupakan tanaman yang menghidupi kabupaten di lereng gunung Sumbing dan Sindoro tersebut. Titiek Puspa? Tak lain karena artis tiga zaman ini masa kecilnya di kota ini dan turut memopulerkan daerahnya. Namun ada pula yang tanpa ragu-ragu menjawab sarang teroris!

Diskusi di Facebook tadi dilakukan usai Densus 88 berhasil menewaskan Ibrahim, sebelumnya diduga Noordin M Top, di Kedu, Temanggung. Jika kini pertanyaan sama diajukan tentu akan banyak yang menjawab: pembakaran dan perusakan gereja!

Edan tenan, Temanggung menjadi sarang teroris dan warganya anti perbedaan. Benarkah? Kalau dilihat secara geografis, Temanggung memang cocok untuk bersembunyi para teroris karena letaknya cukup terpencil dan terdapat banyak bukit-bukit di bawah lereng tiga gunung, Sumbing, Sindoro, dan Prahu. Namun kalau diamati keberadaan masyarakat Temanggung, tampaknya hampir tak percaya, kok bisa-bisanya mereka bergaul dengan teroris.

Temanggung sejak dulu penuh kedamaian. Tidak ada pertikaian antarpenduduk yang merisaukan. Tidak pernah ada huru-hara yang serius kecuali saat ada rembetan kerusuhan anti China di Solo awal 80-an.

Orang Temanggung terkenal santun. Tidak galak, apalagi terhadap pimpinannya. Mereka orang-orang yang guyub dan patuh. Keguyuban dan kepatuhan itu pernah terbukti dengan disabetnya predikat Temanggung sebagai kota terbersih di Indonesia ketika wilayah itu dipimpin Bupati Masjchun Sofwan dan H Jacob.

Nama Masjchun Sofwan yang kemudian menjadi Gubernur Jambi, sangat melegenda bagi warga Temanggung. Masjchun Sofwan adalah salah satu contoh bagaimana seharusnya bupati memimpin rakyat. Dia memerintah bukan dengan kalimat perintah, tapi dengan teladan.

Di bawah bupati berikutnya yaitu H Jacob, Sri Soebagjo dan HM Sardjono, masyarakat Temanggung tetap santun dan guyub dan tetap me-nyengkuyung para pemimpinnya. Namun ketika bupati dijabat Totok Ary Prabowo, anak muda yang mencuri uang rakyat alias korupsi, maka watak asli orang Temanggung muncul. Warga Temanggung, termasuk di perantauan, bertekad bulat: Totok Harus Titik!

Terjadilah demonstrasi dan pembangkangan sosial yang dilakukan para lurah, camat, dan PNS dan tentu saja didukung warga untuk menekan Totok. Demonstrasi besar menduduki kantor bupati berlangsung sekitar seminggu yang berakhir menendang Totok dari kantor bupati dan mengirimnya ke penjara. Dalam aksi yang masif itu tak ada perusakan fasilitas publik apalagi tempat ibadah.

Demonstrasi besar kedua saat bupati saat ini Hasyim Afandi adalah soal tembakau. Masyarakat menentang RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan (RUU PDPTK). Aksi massa di alun-alun, depan rumah jabatan bupati Temanggung mencapai 30.000 karena juga dihadiri petani dari kabupaten tetangga. Dari bupati, ulama, sampai petani bersatu padu menolak pembatasan produk tembakau. Tak ada satu pun perusakan terhadap fasilitas umum.

Temanggung memang sudah berubah. Tak seramah dulu. Tak seguyub dulu. Kini sekat-sekat yang memisahkan warga yang secara SARA makin kentara. Kini makin banyak warga karena alasan keyakinan berlaku eksklusif dan menganggap paling baik atau paling suci di antara sesama warga. Pendek kata, slogan Temanggung Bersenyum: bersih, sehat, nyaman untuk masyarakat, sudah tak berarti lagi.

Ketika simbol-simbol keyakinan mulai dipertontonkan secara vulgar pada awal 90-an dan makin banyak berdiri lembaga berlatar belakang keyakinan pascareformasi 1998, maka lengkaplah sudah fragmentasi warga dalam masyarakat kita. Dari fasadnya kita bisa melihat seorang berkeyakinan seperti apa, bagaimana ia menjalankan keyakinannya dan sebagainya. Dengan penampilan luar tersebut muncullah jarak. Mereka yang berpenampilan khusus akan bersalam dan bersalaman dengan yang berpenampilan khusus pula. Mereka yang berpakaian khusus akan hangat berjabat, berpelukan hingga berciuman pipi hanya dengan yang berpenampilan khusus.

Sebaliknya, terhadap mereka yang bukan in group, mereka mengambil jarak. Jangankan bersalaman, bersalam saja mereka enggan. Hubungan antargender yang sebelumnya hangat sesuai kultur Jawa, kini berjarak karena tak bersentuhan. Sungguh kehangatan masa lalu yang nJawani sudah luntur bahkan makin punah. Masyarakat kian akrab dengan istilah impor dari Timur Tengah sementara produk budaya sendiri kian ditinggalkan. Tak heran jika saat ada hajatan di kampung-kampung, seperti pernikahan atau sunatan, kita dapat menyaksikan Temanggung tak ubahnya seperti di tanah Arab.

Bisa saja penampilan luar hanya masalah fashion, tak menggambarkan ideologi di kepalanya. Namun kejadian penyerbuan Densus 88 dan penyerangan gereja (8/2) menunjukkan ini bukan sekadar fashion. Teroris akan nyaman berada di tengah masyarakat yang mendukung ideologi teroris tersebut atau pada masyarakat yang cuek terhadap keamanan negara. Jika diibaratkan teroris itu ikan, maka masyarakatlah yang menjadi air atau blumbangnya. Tampaknya makin banyak blumbang di Temanggung.

Secara perlahan namun pasti, Temanggung telah berubah. Temanggung kian tak ramah. Temanggung makin tak nJawani. Temanggung tak lagi ngangeni seperti dulu. Tak terdengar lagi tembang Temanggung Sayang, sebuah lagu tema Temanggung tempo dulu. Temanggung malah makin medeni!

Penulis adalah
alumnus Magister Managemen Komunikasi Politik UI, dan anak daerah Temanggung