Monday, February 14, 2011

Lindungi Kebebasan Beragama Oleh: Hendardi

SUARA PEMBARUAN DAILY

22 Desember 2010

Lindungi Kebebasan Beragama

Oleh: HENDARDI

Sepanjang tahun 2010, negara (state) Republik Indonesia bukan saja masih dihadapkan pada persoalan kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), tapi lebih jauh lagi adalah kewajiban untuk melindungi (obligation to protect) terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan (freedom of religion or belief).

Berdasarkan persoalan itulah, kiranya evaluasi terhadap kinerja negara, khususnya pemerintah (pusat dan daerah) serta aparat penegak hukum (law enforcement officials) untuk melindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan, patut dilakukan agar bisa ditemukan jalan untuk memperbaikinya di tahun-tahun mendatang.

Mengapa hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan perlu dilindungi? Dalam kerangka hukum hak asasi manusia (HAM) internasional, semua negara dibebankan kewajiban umum (generic obligation) untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak dan kebebasan setiap orang.

Kewajiban itu sebagai konsekuensi negara-negara yang berjanji terhadap hak-hak dan kebebasan dasar manusia (human rights and fundamental freedom) sebagaimana tertuang dalam deklarasi dan konvensi HAM internasional. Negara Republik Indonesia pun telah meratifikasi konvensi/kovenan menjadi bagian dalam hukum nasional.

Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama atau berkeyakinan, negara hanya menjalankan dua kewajiban, yaitu menghormati dan melindungi. Sementara kewajiban ketiga tak diperlukan, sehingga negara tak perlu pula menggelar program bagi pemenuhan kebebasan itu.

Kewajiban menghormati disebut juga kewajiban negatif (negative obligation) tak memerlukan campur tangan negara, karena sifat kebebasan itu akan terganggu jika ada pihak yang mencampurinya. Kebebasan memerlukan otonomi setiap orang untuk menikmatinya. Hanya kewajiban melindungi (positive obligation) diperlukan intervensi negara secara terbatas hingga keadilan/kesetaraan dipulihkan.

Realitas sosial-budaya selalu ditandai dengan keanekaragaman agama atau keyakinan. Kemajuan ini hanya dapat dicapai jika setiap orang atau golongan bersikap toleran, hidup berdampingan secara damai, lebih jauh lagi saling membantu dalam memajukan diri sebagai satu kebangsaan.

Tapi masalahnya, ruang keanekaragaman (pluralisme) yang bersifat publik itu juga tak selalu diisi sesuai dengan harapan dalam pencapaian kemajuan bersama. Sehingga pandangan eksklusif, intoleran dan diskriminasi mempengaruhi sikap dan perilaku mereka, serta diekspresikan menjadi ancaman bagi kebebasan orang atau golongan agama lain.

Banyak peristiwa intoleransi dan aksi kekerasan bahkan kriminal telah berlangsung dalam beragama. Sejumlah komunitas Kristen, Ahmadiyah dan golongan keyakinan lainnya yang dituduh sesat, telah menjadi sasaran intoleransi dan kekerasan. Lebih parah lagi, para korban ini diperlakukan diskriminatif oleh negara, sehingga merasa seperti hidup di negeri orang.

Negara Wajib Melindungi

Ancaman intoleransi itu juga dialami beberapa kelompok usaha, seiring kerap dilakukan aksi sweeping yang dilakukan golongan yang menyatakan anti maksiat atau menjaga kesucian bulan puasa. Operasi misi suci ini bukan saja menimbulkan gangguan, tapi juga beberapa lama korban kehilangan pekerjaan dan penghasilan.

Karena itulah, negara perlu diingatkan kembali mengenai kewajibannya untuk melindungi kebebasan beragama atau berkeyakinan maupun kebebasan berusaha sejauh tak ada kaitannya dengan pelanggaran hukum atau membahayakan keselamatan, kesehatan, ketertiban dan moral umum.

Pertama, negara berkewajiban melindungi golongan-golongan yang menjadi sasaran intoleransi itu dengan melakukan intervensi untuk mencegah timbulnya gangguan, ancaman atau intimidasi, atau kekerasan dari pihak ketiga yang berwatak intoleran. Dalam kaitan ini, polisi wajib melindungi golongan yang diancam, dengan mencegah ancaman itu.

Jika sesuai dengan hukum HAM, dan hukum yang berlaku pun tak membolehkan diskriminasi sebagaimana prinsip kesetaraan di muka hukum (equality before the law), maka setiap ancaman yang mengintimidasi golongan yang diancam harus dicegah oleh aparat keamanan dan penegak hukum.

Kedua, negara berkewajiban melindungi orang-orang yang telah menjadi korban kekerasan dan kriminal. Aksi-aksi perusakan rumah ibadat atau rumah golongan agama atau keyakinan maupun pemilik tempat usaha, jelas menimbulkan kerugian material. Hak milik mereka hilang, beberapa lainnya kehilangan penghasilan atau pekerjaan.

Dalam peristiwa lainnya, beberapa di antara korban justru menderita luka-luka, bahkan lebih mengenaskan mengalami kematian. Kasus-kasus ini karena tindak penganiayaan atau pengeroyokan secara massal yang dilakukan golongan intoleran dengan agenda anti pemurtadan dan aliran sesat.

Ketika peristiwa kekerasan dan kriminal terjadi, aparat penegak hukum wajib melindungi korban dengan menyeret para pelaku ke muka pengadilan agar korban mendapatkan keadilan. Aparat penegak hukum tak boleh membiarkannya, kecuali akan dituduh sebagai penegak hukum yang gagal, sehingga melanggengkan impunity.

Sudah seyogianya, pemerintah dan parlemen golongan-golongan koalisi di dalamnya tak memainkan isu-isu eksklusif itu demi kepentingan politiknya. Begitu juga, polisi tak perlu ikut-ikutan politik yang justru menodai fungsi dan otoritasnya sebagai aparat keamanan dan penegak hukum.

Negara khususnya pemerintah dan penegak hukum haruslah menegakkan wibawanya. Sangat memalukan jika mereka dituduh disfungsional ketika menghadapi kasus-kasus seperti itu. Lebih malu lagi ketika otoritas mereka terkesan diambil alih oleh golongan swasta, seolah-olah polisi tak berkutik.

Lemahnya perlindungan negara terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan seolah menjadi peluang golongan intoleransi untuk unjuk gigi. Karena itu, komitmen pemerintah dan tugas penegak hukum haruslah diperbaiki.

Penulis adalah KETUA BADAN PENGURUS SETARA INSTITUTE