Monday, December 6, 2010

Negara Harus Bertindak Oleh: Benny Susetyo

SEPUTAR INDONESIA

16 September 2010

Negara Harus Bertindak

Oleh: Benny Susetyo

Kasus penganiayaan terhadap pendeta dan anggota Majelis Gereja HKBP Ciketing, Bekasi, Minggu (12/9), membuktikan negara absen dalam hal kebebasan beragama. Pemerintah selama ini menganggap sepi masalah kehidupan beragama, terutama diskriminasi yang dialami kelompok minoritas. Demikian pendapat yang diungkapkan para tokoh saat menanggapi kasus pemukulan dan penusukan yang mengakibatkan Luspida Simanjuntak luka dan Asia Sihombing Lumbantoruan dirawat di rumah sakit karena mengalami luka tusukan di lambung. Luspida adalah pendeta Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah (PTI) Ciketing, Bekasi, sedangkan Asia Sihombing adalah penatua (anggota majelis) gereja tersebut. Keduanya diserang sekelompok orang tak dikenal. Saat itu Luspida dan Asia sedang berjalan bersama jemaat HKBP untuk beribadah.

Kasus harus dilihat dalam kacamata yang lebih mendalam, bukan sekadar kriminal murni semata-mata. Ada masalah di dalam masyarakat di akar rumput gejala intoleransi yang bisa membahayakan keutuhan Republik Indonesia. Hal ini bisa tercermin dalam hasil penelitian Setara Institute yang menunjukkan sejak memasuki 2010, eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah khususnya terhadap jemaat Kristiani terus meningkat jika dibandingkan pada tahun sebelumnya. Pada 2008 terdapat 17 tindakan, pada 2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran-pelanggaran yang menyasar jemaat Kristiani dalam berbagai bentuk, dan pada 2010 sejak Juni-Juli sebagaimana dalam reviu tematik ini tercatat 28 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

Ini menunjukkan ada masalah di tingkat masyarakat mengenai pemahaman mengenai cita-cita bersama Republik Indonesia yang didirikan bukan berdasarkan kesukuan, keagamaan, kedaerahan. Cita bersama semua berhak tinggal di Bumi Pertiwi ini untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Persoalan saat ini ada yang hilang pada ruh Bhinneka Tunggal Ika yang kian lama redup karena ketidakjelasan visi hidup berbangsa dan bernegara. Ini membuat meningkatnya intoleransi di masyarakat karena visi mengenai keindonesiaan tidak jelas lagi ditegakkan dengan pranata hukum yang tegas. Akibatnya terjadi kekosongan hukum di lapisan masyarakat karena pelaku kekerasan kebal hukum.

Langkah Taktis

Saat ini Presiden, DPR, dan politikus perlu untuk melakukan evaluasi terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006. Presiden Republik Indonesia bisa mengambil langkah dan terobosan dalam rangka memfasilitasi pendirian-pendirian rumah ibadah yang mengalami penolakan baik penolakan oleh masyarakat, penolakan perolehan IMB, dan ketidaktersediaan lahan. Presiden dapat memerintahkan bupati/wali kota untuk memberikan penanganan yang cepat bagi penyediaan rumah ibadah.

DPR RI juga sudah seharusnya memberikan perhatian kepada berbagai pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan mengefektifkan peran pengawasan, khususnya kepada menteri agama, menteri hukum dan HAM, menteri dalam negeri, jaksa agung, dan Polri. Selain mengintegrasikan isu pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam kinerja pengawasan, Dewan juga dapat membentuk Kelompok Kerja Parlemen untuk Kebebasan Beragama/Berkeyakinan untuk mendorong legislasi yang konstruktif bagi jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan. Polri harus melakukan penindakan terhadap pelaku-pelaku kekerasan dan perusakan tempat ibadah. Polri harus memiliki panduan kerja bagi aparat kepolisian di lapangan dalam penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

Jika langkah ini dilakukan, kasus seperti ini tidak akan terulang kembali. Dalam hal ini pemerintah agak kurang serius memperhatikan bagaimana kerukunan hidup beragama itu bisa menjadi modal dasar untuk membangun sebuah cara pandang, cara merasa, dan cara perilaku sesuai dengan kemanusiaan dan keadilan. Dengan cara seperti itu, agama dalam masyarakat adalah ruh dan semangat untuk membangun dan bukan agama sebagai tujuan yang dilegalformalkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Agama akan menjadi ruh pembebas masyarakat dari ketakutan akan represi negara maupun ketertindasan eksploitasi ekonomi.

Fungsi Agama

Agama tidak menjadi orientasi hidup, tapi untuk menjadikan hidup ini lebih berorientasi pada kemanusiaan. Itulah sekiranya tujuan terpenting beragama yang sering terselewengkan dalam perjalanan kita sebagai bangsa, yakni ketika agama dijadikan sebagai manifesto simbolik yang harus ditegakkan dengan pedang daripada dijadikan pewarna kehidupan kita untuk memperkuat semangat. Kualitas kerukunan beragama amatlah ditentukan oleh masyarakat sendiri, sejauh politik tidak menggunakan agama sebagai aspirasi. Masalahnya, di Indonesia ini agama sering dijadikan instrument kekuasaan daripada sebagai pewarna dan pengarah. Inilah yang membuat agama sering mandul dalam diri para pengkhotbah dan para pemeluknya sebab ia tidak pernah dibatinkan dalam perilaku, tetapi lebih dijadikan komoditas politik dan ekonomi untuk kepentingan jangka pendek dan amat sempit.

Orientasi beragama justru bukan untuk mengembangkan keadaban public, melainkan lebih pada bentuk lahiriahnya saja. Pada akhirnya umat beragama hanya mencari identitas diri di bawah simbol-simbol perlawanan yang berdarah, bukan perlawanan terhadap kemiskinan dan ketidakadilan. Persoalan identitas yang simbolistik inilah yang membuat kerukunan kita hanya semu. Orientasi beragama sekadar to have religion bukan to be religion. Agama kehilangan jati diri dan nuraninya sebagai entitas pembawa kedamaian dan keadilan. Agama hanya dipahami parsial lewat ketakutan dan dihilangkan unsur rasionalitasnya. Kalau politik seperti ini yang dikembangkan, kerukunan agama tidak akan lestari karena ia akan mudah diledakkan menjadi konflik laten.

Kualitas beragama bisa diukur bila kesalehan tidak sekadar bermakna individual, tapi sosial. Kesalehan sosial akan melahirkan sikap-sikap kemanusiaan dalam berbagai kebijakan politik maupun ekonomi. Seharusnya yang dipentingkan bukan hanya jumlah rumah ibadatnya, melainkan pada orientasi hidup yang bernilai pemekaran pada nilai kebersamaan, solidaritas, dan kesetiakawanan. Nilai-nilai ini hanya bisa ditumbuhkan bila agama menjadi inspirasi batin. Tetapi, tampaknya hal ini belum terwujud secara optimal karena kerukunan agama hanya dalam wacana belaka dan belum menjadi habitus bangsa. Pluralitas yang seharusnya menjadi modal utama untuk pembentukan karakter masih belum terinternalisasi.

Hal ini seharusnya dikembangkan oleh pemerintah dengan mendorong agama menjadi inspirasi batin tegaknya nilai kejujuran, kemanusiaan, kebersamaan, dan keadilan. Hal ini dijadikan politik etis dalam pembangunan karakter masalah intoleransi di masyarakat Indonesia bisa dipersempit ruangan geraknya.

Masalahnya, saat ini kita kehilangan negarawan yang berani memberikan jiwa raga demi cita-cita pendiri bangsa. Semoga lewat kejadian ini kita disadarkan pentingnya negara bertindak untuk mengembalikan keadaban publik.

Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Hak KWI dan Dewan Nasional Setara.