Monday, October 11, 2010

Kekerasan Beragama, Demokrasi, dan Proses Sosial Budaya Oleh: Laode Ida

SUARA PEMBARUAN DAILY

20 September 2010

Kekerasan Beragama, Demokrasi, dan Proses Sosial Budaya

Oleh : Laode Ida

"Kelompok-kelompok sosial, budaya dan agama, tidak boleh dibiarkan terus memelihara jarak (eksklusif) yang berimplikasi adanya saling curiga satu sama lain

Kekerasan fisik yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan memakai simbol-simbol Islam nyaris menelan korban jiwa pihak jemaat HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di kawasan Ciketing, Kota Bekasi, Jawa Barat. Asia Sihombing, seorang jemaat, harus dirawat di rumah sakit akibat mengalami luka tertusuk senjata tajam oleh anggota kelompok itu, dan seorang lainnya mengalami luka di bagian muka sehingga harus dibalut dengan perban.
Peristiwa kekerasan itu sungguh ironis dan keterlaluan. Soalnya dilakukan secara sepihak tanpa perlawanan dari pihak jemaat HKBP oleh sekelompok orang yang terindikasi membawa simbol-simbol Islam, sehingga kembali memberi kesan bahwa agama tersebut “menghalalkan kekerasan”. Prosesnya pun seolah terjadi sekonyong-konyong sehingga mungkin saja komunitas Kristen yang akan menuju lokasi tanah untuk beribadah itu tidak menduga, alias tidak memiliki persiapan untuk mengantisipasinya. Para jemaat HKBP itu akhirnya pasrah saja saat dianiaya.
Menanggapi kejadian itu, pihak kepolisian menyatakan “sebagai kriminal murni”. Benarkah? Saya kira tidak. Meskipun hingga artikel ini ditulis, pihak polisi menyatakan belum memastikan motif penusukan itu, namun kalau mau jujur diakui, pernyataan itu sebenarnya bersifat psiko-politis, untuk sekadar membuat rasa nyaman sementara agar tidak menimbulkan kesan terbuka bahwa telah terjadi benturan antara dua komunitas dengan keyakinan agama yang berbeda. Pihak HKBP pun niscayalah sudah mengetahui semua itu, karena fenomenanya sudah berulang, bahkan sebulan yang lalu pernah terjadi ketegangan yang sudah menjurus pada kekerasan; hanya saja masih beruntung karena aparat keamanan mampu mengatasinya secara baik.

Tidak Sederhana
Tentu saja peristiwa ini sangat memprihatinkan. Betapa tidak. Suatu kelompok penganut agama (HKBP) pastilah tidak akan pernah merasa nyaman dalam menjalankan kewajiban agamanya akibat dari penghalangan oleh sekelompok orang yang belakangan secara tega melakukannya dengan intimidasi fisik itu. Parahnya lagi, pemerintah tampaknya belum menemukan cara jitu untuk menyelesaikan konflik antarkomunitas agama itu.
Konflik seperti ini, memang, sungguh tidak sederhana penyelesaiannya. Mengapa? Pertama, terkait dengan hak dan keyakinan dari masing-masing pihak yang. Pihak HKBP sudah pasti memiliki hak untuk beribadah yang dijamin oleh konstitusi. Dapat dipahami kalau pihak HKBP terus-menerus memaksa untuk mendirikan rumah ibadah, termasuk beribadah di lapangan terbuka seraya menunggu proses keluarnya izin yang tak kunjung diperoleh meski sudah sekian tahun dalam pengurusan.
Sementara pihak komunitas yang menghalangi (dalam wadah Forum Umat Islam/FUI dan atau Front Pembela Islam/FPI) merasa memiliki dukungan sosial lokal yang memperoleh legitimasi dari kebijakan pemerintah – di mana pembangunan rumah ibadat HKBP itu belum memperoleh izin. Bagi pihak komunitas Islam lokal di sekitar lokasi peribadatan jemaat HKBP itu, termasuk pihak FUI/FPI, mungkin juga menganggap bahwa pendirian rumah ibadah itu merupakan bentuk dari syiar budaya Kristen yang harus dicegah.
Kecurigaan pihak komunitas Islam lokal di Bekasi ini juga tak bisa disalahkan, karena menganggap harus menjaga komunitas dan anak-anak (generasi pewaris) mereka dari keterpengaruhan langsung budaya atau agama lain; di mana kalau mau jujur diakui, sikap yang sama juga melekat pada komunitas agama di luar Islam. Mereka kerap tidak menyadari bahwa komunitas agama yang lain itu, meskipun dari segi kuantitas minoritas, memiliki hak untuk menjalani ajaran agamanya.
Kedua, terkait dengan hubungan antar komunitas budaya, di mana antara komunitas HKBP dengan komunitas lokal khususnya di sekitar rencana pembangunan rumah ibadah itu masih memiliki jarak sosial, sehingga menjadikan segala urusan terkait pendirian rumah ibadah terbengkalai akibat tidak memperoleh dukungan dari komunitas lokal. Belum lagi kalau masih melekat pemahaman budaya secara sempit bahwa pihak HKBP adalah kelompok pendatang dengan bawaan misi agamanya, maka bukan mustahil dicurigai akan mempengaruhi komunitas dan generasi sekitarnya dengan keyakinan agama yang berbeda.

Memaksakan Kehendak
Pertanyaan yang sedikit mengganggu adalah, mengapa suatu kelompok masyarakat tertentu, selalu berupaya memaksakan kehendak untuk mendirikan suatu rumah ibadah dengan hanya mengedepankan “hak untuk beribadah” dengan “mengabaikan proses” yang seharusnya sebagai awal dari suatu pendekatan sosial untuk saling memberikan pemahaman di antara sesama komunitas yang berbeda keyakinan? Pertanyaan ini penting untuk direnungkan, karena kondisi hubungan antarkomunitas yang berjarak, memang, selalu potensial untuk menimbulkan konflik. Apalagi terkait dengan keyakinan agama. Sikap saling ngotot di antara pihak-pihak penganut agama yang berbeda, justru akan menimbulkan kecurigaan yang lebih besar, sehingga tinggal menunggu saatnya untuk meletup menjadi konflik terbuka, termasuk seperti yang baru saja terjadi di Bekasi itu.
Ketiga, pihak aparat keamanan, termasuk pemerintah, pastilah berada pada posisi yang dilematis. Setidaknya, sangat tidak mudah untuk mengiyakan keinginan salah satu pihak. Rencana pembangunan rumah ibadah HKBP yang kurang memperoleh respons positif oleh komunitas Islam di tingkat lokal, tidak mungkin akan dipaksakan oleh pemerintah atas nama ‘kewenangan negara’. Sebab: (1) akan melanggar aturan proses perizinan yang dibuat sendiri; dan (2) bukan mustahil juga akan menimbulkan instabilitas lantaran pemerintah, oleh komunitas Islam lokal, akan dianggap sebagai “memaksakan kehendaknya” untuk memberi ruang misi budaya kepada kelompok agama tertentu.
Fenomena seperti ini memang memungkinkan untuk selalu terjadi di era demokrasi sekarang ini. Pemerintah sekarang tidak seperti era Orde Baru yang bisa mengambil kebijakan secara sepihak, lalu memaksakannya untuk diterima oleh pihak yang lain. Tetapi bukan berarti pula bahwa elemen-elemen masyarakat bisa secara bebas melakukan intimidasi atau tindakan kekerasan.
Apa yang harus dilakukan adalah membangun peradaban pluralisme melalui proses-proses sosial budaya dalam bingkai dan nilai-nilai demokrasi lokal. Kelompok-kelompok sosial, budaya dan agama, tidak boleh dibiarkan terus memelihara jarak (eksklusif) yang berimplikasi adanya saling curiga satu sama lain, melainkan diupayakan untuk memiliki hubungan-hubungan yang cair (inklusif), yang pada akhirnya akan menjadi modal sosial (social capital) bagi bangsa ini.
Dalam konteks ini, pemerintah sebagai representasi negara menjadi fasilitator untuk membangun rasa saling percaya di antara stakeholders bangsa ini. Proses-proses dimaksud haruslah dimulai dari tingkat akar rumput hingga di aras nasional, termasuk menyelesaikan kasus di Bekasi itu.

Penulis adalah Sosiolog, Wakil Ketua DPD RI