Tuesday, August 3, 2010

Bertuhan dan Beragama dengan Nalar Oleh: Daoed Joeosoef

SUARA PEMBARUAN DAILY
26 Juni 2010

Bertuhan dan Beragama dengan Nalar

Oleh : Daoed Joeosoef

Pernyataan Menkominfo, Tifatul Sembiring yang menganalogikan video asusila mirip tokoh selebriti tertentu dengan penyaliban Nabi Isa atau Yesus Kristus, pantas disesalkan. Apalagi berasal dari pikiran seorang beragama yang juga orang sekolahan. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa orang yang bersekolah tidak dengan sendirinya menjadi orang terdidik. Biar bagaimanapun persekolahan (schooling) tidak identik dengan pendidikan (education).
Di harian ini, sudah berkali-kali diberitakan tentang gangguan yang dilakukan oleh orang-orang Muslim terhadap kaum Kristiani dalam membangun rumah ibadahnya. Para pengganggu itu lupa, atau sengaja melupakan bahwa baik Kristiani maupun Islam adalah agama yang sama-sama datang dari Tuhan Yang Maha Esa pada waktu yang berbeda, tetapi secara esensial tetap berkesinambungan, untuk menuntun makhluk manusia menempuh jalan Ilahiah, jalan yang benar.
Di negeri kita yang serbamajemuk, ada Pancasila yang secara formal-politis diakui menjadi pegangan bersama dalam kehidupan nasional yang bertekad berbineka tunggal ika. Di dasar filosofis negara kita itu, “Ketuhanan Yang Maha Esa” ditetapkan menjadi sila yang pertama.
Sila pertama tersebut mengingatkan kita bahwa orang bisa saja menjadi ateis, mungkin pula tidak tahu apakah Tuhan eksis atau tidak, atau mengapa, tetapi toh percaya bahwa manusia tidak hidup dalam keadaan liar, bagai binatang di rimba tetapi dalam sejarah. Sejarah ini, kita semua tahu, dimulai dari Kristus dan sebagai dasarnya adalah ajaran-ajaran religiusnya (gospel).
Apakah sejarah ini? Ia adalah eksplorasi sistematik selama berabad-abad mengenai teka-teki kematian. Rupanya begitu menyadari bahwa dirinya dilahirkan untuk hidup, kesadaran manusia yang kedua langsung mengacu pada lawan kehidupan, yaitu kematian. Maka eksplorasi tersebut tadi sebenarnya bertujuan untuk mengatasi kematian itu. Itulah sebabnya orang menemukan mathematical infinity dan gelombang elektromagnetik, menciptakan simfoni dan terus menyempurnakan means dalam usaha menguasai potensi yang tersembunyi di dalam alam.
Nah, kita tidak akan dapat melangkah maju ke arah itu tanpa suatu keyakinan tertentu. Kita tidak akan mampu membuat penemuan-penemuan tanpa perlengkapan spiritual. Dan unsur-unsur dasar dari perlengkapan itu ada dalam ajaran-ajaran Kristus (gospel).
Apakah ajaran-ajaran itu? Pertama adalah cinta tetangga dan damai di antara sesama manusia, yang dalam dirinya merupakan bentuk suprima dari energi vital. Begitu ia mengisi hati-nurani manusia, ia akan melimpah ruah dengan kekuatannya sendiri. Kedua, berupa dua ideal dasar dari manusia modern, yaitu ide tentang free personality dan ide tentang hidup sebagai suatu pengorbanan. Tujuh abad kemudian kedua ideal dasar itu diperkokoh oleh ide penggunaan nalar (akal) dan buahnya, ilmu pengetahuan, sebagai daya kesinambungan, yang berasal dari ajaran-ajaran Islam. Tanpa ketiga ideal dasar tersebut, modern man is unthinkable.
Semua itu perlu kiranya dikemukakan secara eksplisit karena ia pernah tidak ada. Tidak pernah ada sejarah dalam makna ini di kalangan makhluk manusia purba. Yang ada adalah permusuhan, pertarungan berdarah, saling memangsa, nyaris tidak berbeda dengan kehidupan binatang buas di rimba belantara. Baru setelah kedatangan Kristus waktu dan manusia dapat bernapas bebas. Baru sesudah Dia manusia mulai hidup ke arah masa depan. Berbeda dengan tikus, manusia tidak mati di dalam got, tetapi di rumah dalam sejarah. Sementara usaha mengatasi kematian kian marak, efektif, ekstensif dan intensif, dia mati ketika berpartisipasi dalam usaha tersebut.
Nalar atau ‘aqala atau reason dalam konteks sejarah bukanlah otak, tetapi bekerjanya otak, yaitu daya berpikir dalam diri manusia, daya yang dengan memperhatikan alam sekitar memperoleh pengetahuan. Maka kata-kata yang berasal dari ‘aqala, dalam Al Quran, Kitab Suci Islam, dijumpai dalam lebih dari 30 ayat, yang mengandung perintah Allah agar manusia menggunakan nalar dan daya pikirnya.
Sama halnya dengan nalar, Al Quran memberikan tempat kedudukan yang terhormat pada ilmu pengetahuan. Melalui surat Taha, Allah mengajarkan Rasullah Muhammad SAW untuk mengatakan kepada-Nya: “Wakur rabbi zidni ilman’ – Katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku tambahlah ilmu pengetahuanku.
Sebagai ulasan terhadap bunyi ayat ini, pujangga Al Qurtubi berkomentar: “Bila masih ada lagi sesuatu yang jauh lebih terhormat daripada ilmu pengetahuan, Tuhan pasti akan memerintahkan Rasul-Nya untuk meminta lebih banyak lagi sesuatu tersebut, sama halnya dengan Dia memerintahkan Rasul-Nya untuk meminta lebih banyak lagi ilmu pengetahuan”.

Ilmu Pengetahuan
Mengingat di dalam keseluruhan Al Quran, Allah menyuruh Muhammad hanya meminta lebih banyak ilmu pengetahuan dan bukan supaya meminta lebih banyak lagi hal-hal yang lain, dapat dikatakan kiranya bahwa dalam anggapan Tuhan tidak ada yang lebih bernilai daripada ilmu pengetahuan itu. Itulah sebabnya mengapa Rasullah, menurut Ibn ‘Abd a-Barr, menyamakan tinta yang digunakan oleh sarjana dengan darah seorang pahlawan.
Selain untuk mendapatkan pemahaman yang baik mengenai makna dari ajaran-ajaran Ilahiah, ilmu pengetahuan sangat dipujikan dalam Al Quran karena ia melatih orang berpikir abstrak. Sedangkan kemampuan berpikir abstrak ini diperlukan untuk pembinaan kesadaran ber-Tuhan berhubung konsep ketuhanan menurut Islam adalah abstrak. Keabstrakan eksistensi dan kehadiran Tuhan inilah yang kiranya menjadi sebab utama mengapa kita lihat adanya kemunafikan dan kepura-puraan di kalangan para pemeluk Islam. Mereka bersandiwara terhadap Tuhan karena mereka lebih takut kepada sesama manusia yang dapat dilihat sehari-hari daripada kepada Tuhan itu sendiri.
Yang kita puja adalah Tuhan Yang Maha Esa, bukan agama. Agama yang kita anut sebagai petunjuk ke Tuhan yang dipuji itu tidak dengan sendirinya tambah mencerahkan melalui ejekan pada agama orang lain. Tuhan sendiri tidak merendahkan dan mengecilkan manusia. Dia mengingatkan supaya para pemeluk agama bertoleransi terhadap satu sama lain dengan mengatakan; “La ikraha fiddin” – tidak ada paksaan dalam beragama (A.Q, 2:256). Dia akan menimpakan kemurkaan-Nya kepada orang-orang yang tidak menggunakan akal (Surat Yunus, ayat 100).
Suatu perbuatan adalah temporal atau profan bila ia dilakukan dengan semangat yang mengabaikan sama sekali kompleksitas yang tak terhingga dari kehidupan (sejarah) yang merupakan latar belakangnya. Sebaliknya suatu perbuatan adalah spiritual bila ia diilhami oleh kompleksitas tersebut.
Menurut Islamologis dari Hyderabad dan guru besar di Universitas Istambul serta penterjemah Al Quran ke dalam bahasa Perancis, Muhammad Hamidullah, Surat Al Baqarah ayat 285 menunjukkan bahwa Al Quran memerintahkan orang Islam untuk percaya pada semua Kitab yang diturunkan oleh Tuhan kepada semua Rasul sejak Adam sampai Muhammad. Jadi Taurat tidak hanya Kitab dari kaum Yahudi, Al Kitab (Injil) tidak hanya Kitab dari umat Kristiani. Andai ada Kitab dari Adam atau dari Ibrahim, semua ini akan menjadi Kitab-Kitab yang diakui Islam sebagai Kitab Tuhan untuk semua umat manusia.
Dalam bukunya yang mengenai dan berjudul “Sejarah Hidup Muhammad”, Muhammad Husain Haekal, dengan mengutip karya Dermenghem tentang Isra’ dan Mi’raj mengatakan bahwa dalam perjalanan malam itu Rasullah tidak lupa singgah di Gunung Sinai – tempat Tuhan berbicara dengan Musa – dan di Betlehem, tempat Isa dilahirkan. Setibanya di Yerusalem, sebelum naik ke langit menemui Tuhan, dia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan Isa di puing-puing kuil Sulaiman. Di langit inilah, sebelum menghadap Tuhan, dia memberi hormat kepada Adam dan kemudian berturut-turut bertemu dengan Nuh, Harun, Musa, Ibrahim, Daud, Sulaiman, Idris, Yahya dan Isa. Pertemuan Rasulullah dengan para Nabi yang telah mendahuluinya ini kiranya dapat ditafsirkan sebagai perlambang dari kesinambungan dalam kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus dalam toleransi dan kerukunan beragama.
Dalam sejarah tercatat dukungan, bahkan kesediaan membela dari orang-orang yang beragama Kristiani pada Muhammad. Ada perlindungan dari Raja Habsyi (Etiopia) kepada para pengikut Nabi yang pergi menyelamatkan diri ke kerajaan di Afrika itu, sedang sang Raja adalah seorang Kristiani. Kemudian pengungsian Rasullah itu sendiri ke Kota Madinah. Jumlah pemeluk agama Islam yang hijrah dari Makkah ke Madinah kira-kira 500 orang. Penduduk Kota Madinah ketika itu diperhitungkan sejumlah 10.000 orang dan bagian terbesar bukan pemeluk agama Islam. Namun keseluruhan penduduk Madinah menerima kedatangan Rasulullah dan para pengikutnya dengan tangan terbuka.
Sewaktu dulu Islam untuk pertama kalinya masuk Indonesia, tidak ada catatan sejarah yang mengatakan ada perlawanan sengit terhadapnya dari penduduk setempat yang sudah menganut keyakinan religius lain. So, sesudah kini Islam tumbuh menjadi mayoritas mengapa lalu ada penganutnya yang menjadi takabur?

Penulis adalah alumnus Universite’ Pluridisciplinaires Pantheon’-Sorbonne